JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para anggota Koalisi Anti Mafia Hutan yang mengajukan gugatan uji materi atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terpaksa gigit jari. Pasalnya majelis hakim Mahkamah Konsitusi hanya mengabulkan sebagian permohonan mereka.

Dalam persidangan yang berlangsung Kamis (10/12), majelis hakim konstitusi hanya mengabulkan gugatan terkait Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan f UU Kehutanan. "Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dalil permohonan para Pemohon mengenai Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-Undang Kehutanan beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Wakil Ketua MK Anwar Usman yang bertindak selaku pimpinan sidang.

Sebelumnya, para pemohon mengajukan uji materi atas beberapa pasal. Diantaranya adalah Pasal 1 angka 3, Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf k, huruf l, huruf m, Pasal 16, Pasal 17 Ayat (1), dan Ayat (2), Pasal 19 huruf a, dan huruf b, Pasal 26, Pasal 46 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 52 Ayat (1), Pasal 82 Ayat (1), dan Ayat (2), Pasal 98 Ayat (1), dan Ayat (2), Pasal 110 huruf b UU P3H.

Pemohon juga mengajukan uji materi atas Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf e, huruf i, huruf k UU Kehutanan. Para pemohon menilai, pasal-pasal tersebut menegasikan hak-hak masyarakat hukum adat karena melanggar prinsip kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Para Pemohon juga menguji ketentuan penataan, pengaturan, dan pengelolaan hutan oleh negara atau pemerintah dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf d, Pasal 11 Ayat (4) UU P3H, dan Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 Ayat (1) huruf d, Pasal 81 UU Kehutanan. Ketentuan tersebut dianggap melanggar prinsip kepastian hukum, bersifat diskriminatif, dan bertentangan dengan UUD 1945

Sayangnya dalam dalam Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014 ini, Mahkamah hanya mengabulkan permohonan pengujian Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan. Sedangkan untuk pengujian ketentuan-ketentuan lainnya, Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur dan tidak beralasan menurut huku m.

Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan menyatakan: "Setiap orang dilarang:... e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”.

Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan menyatakan: "Setiap orang dilarang:... i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang".

Menurut Mahkamah, seharusnya larangan dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan tidak termasuk kepada masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon serta bukan untuk tujuan komersial.

Dengan demikian tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Sebab, akan terjadi paradoks apabila di satu pihak negara mengakui masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan membutuhkan hasil hutan, namun di lain pihak masyarakat tersebut diancam dengan hukuman. Menurut Mahkamah, justru negara harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat tersebut.

"Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengecualian terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, beralasan menurut hukum untuk sebagian sepanjang yang berkaitan dengan dan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, bukan yang berada di sekitar kawasan hutan sebab pemaknaan di sekitar kawasan hutan sangatlah berbeda dengan masyarakat yang hidup di dalam hutan," ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pendapat Mahkamah.

MASYARAKAT ADAT TAK BISA DIPIDANA - Terkait dengan pengujian Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut senafas dengan Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan. Untuk itu, pertimbangan hukum terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf e juga berlaku terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan.

"Pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan dimaksud berlaku pula terhadap Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan, dengan ketentuan bahwa ternak tersebut adalah untuk kebutuhan sehari-hari dari masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan. Oleh karenanya permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan beralasan menurut hukum," terang hakim konstitusi Manahan Sitompul.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menyatakan Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial".

Dengan kata lain, Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan berlaku inkonstitusional bersyarat. Dengan adanya putusan ini, maka masyarakat adat yang mengambil hasil hutan atau menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan tak dapat dipidana dengan pasal tersebut.

Mereka dapat menggunakan seluruh kekayaan alam di dalam hutan tersebut selama tidak dipergunakan untuk kepentingan komersil. "Majelis berpendapat bahwa masyarakat yang telah turun temurun hidup di dalam kawasan hutan tersebut tidak dapat dipidana. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (4) tentang pengakuan eksistensi hukum dan aturan hidup dalam masyarakat hukum adat, di mana objek hak masyarakat hukum adat yang hidup di kawasan hutan meliputi air, tumbuhan, binatang, bebatuan, selama tidak digunakan untuk kepentingan komersil," jelas Anwar Usman.

Gugatan atas pasal-pasal ini dilayangkan Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantasa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch) serta Rosidi dan Mursyid Sarka selaku petani yang pernah dijerat ketentuan pidana kedua UU tersebut.

Mawardi yang merupakan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo mengatakan dirinya cukup puas karena majelis mengabulkan permohonan mereka supaya masyarakat yang hidup di kawasan hutan tak dipidana karena menebang pohon yang mereka anggap berada di kebun yang mereka buat.

"Atas keputusan MK ini kami agak merasa sedikit terlindungi dengan pengecualian dari putusan tadi. Jadi ancaman pidana terhadap masyarakat yang turun temurun hidup di dalam lingkungan hutan menjadi hilang," jelas Mawardi.

INKONSISTEN - Terkait putusan ini, kuasa hukum para pemohin Andi Muttaqien menyatakan, putusan MK ini mengandung inkonsistensi dan ketidaksesuaian dengan putusan-putusan MK sebelumnya. Diantaranya adalah Putusan MK perkara Nomor 35/PUU-X/2012.

Putusan MK perkara nomor 35/PUU-X/2012 tidak hanya menegaskan bahwa Hutan Adat sudah otonom, tetapi ada keharusan bagi pemerintah untuk memperbaiki penataan sistem hutan di Indonesia, termasuk merumuskan mekanisme klaim atau pengakuan hutan adat, karena ketidakjelasan tata batas kawasan hutan inilah yang menjadi pokok permasalahan.

"Karena itu keberadaan UU P3H justru makin meningkatkan represifnya negara terhadap hak-hak masyarakat atas akses dan sumber penghidupan," kata Andi kepada gresnews.com, Jumat (11/12).

Andi mengatakan, putusan MK untuk masyarakat adat ini merupakan putusan setengah hati karena tidak didasari dengan alasan-alasan rasionalitas dan konstitusionalitas yang cukup kuat, karena tidak dilandaskan pada fakta-fakta dan keterangan yang muncul di persidangan Mahkamah Konstitusi. Khususnya keterangan para ahli dan saksi.

Alih-alih menggali dan mempertimbangkan alasan-alasan rasionalitas dan konstitusionalitas permohonan, MK malah menjadikan hal formil dalam permohonan sebagai "tameng" untuk tidak mengelaborasi dan mempertimbangkan argumentasi rasional dan konstitusional yang diajukan para pemohon.

Majelis hakim, kata Andi, malah menjadikan ketidaksesuaian antara posita dan petitum sebagai alasan menolak permohonan atas pasal-pasal lainnya. "Padahal, sebagai ahli, sebagai negarawan yang bertugas untuk menjaga semangat konstitusi (guardians of constitution), Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat melihat dan menggali secara lebih dalam, jernih dan elaboratif substansi, dasar-dasar dan argumentasi permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon, yakni keadilan substansial yang secara rasional dan konstitusional dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia," ujarnya.

Dia menilai, UU P3H secara jelas mempersamakan status kawasan hutan yang baru ditunjuk dengan kawasan hutan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU P3H. Karena itu, apabila rumusan Pasal 1 angka 3 UU P3H ini dipertahankan, justru akan menciptakan ketidakpastian hukum.

Terlebih dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf d UU P3H disebutkan bahwa peta penunjukkan kawasan hutan merupakan dasar yuridis batas kawasan hutan. Padahal dalam putusan MK perkara No. 45/PUU-IX/2011 jelas dinyatakan penetapan kawasan hutan merupakan status final dari kawasan hutan.

"Putusan MK atas perkara UU P3H ini secara jelas dan nyata akan mempengaruhi situasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. Putusan MK ini akan meningkatkan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Akan terjadi kontestasi yang terbuka antara korporasi dengan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sumber daya kehutanan Indonesia," pungkas Andi. (dtc)

BACA JUGA: