JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah mengamanatkan pembentukan sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). Lembaga yang terdiri dari tiga lembaga negara yaitu Bawaslu RI, Polri, dan Kejaksaan Agung ini khusus menangani pelanggaran pidana selama proses pemilu berlangsung.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2014 lalu, penanganan pelanggaran pidana saat Pilkada Serentak 9 Desember mendatang akan menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya, peraturan yang mengatur tentang penanganan tindak pidana pemilu itu masih tergolong lemah. Terlebih lagi pada penindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan kejaksaan masih jauh dari harapan publik.

Data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan jumlah pelanggaran pidana pada Pileg dan Pilpres 2014 lalu yang masuk sampai tahap persidangan hanya sekitar 203 kasus. Sebagian besar kasus terjadi pada masa pemilu legislatif. Jumlahnya mencapai 195 kasus, dan 8 kasus lainnya terjadi pada masa pemilu presiden dan wakil presiden.

"Kasus tindak pidana pemilu 2014 terjadi di hampir seluruh daerah provinsi di Indonesia," kata Direktur Perludem Titi Anggraini kepada gresnews.com, Jum’at (13/11).

Kasus paling banyak adalah menjanjikan atau memberikan sesuatu berupa materi/barang atau uang (money politic) baik pada masa kampanye, hari tenang maupun pada saat pemilihan, sebanyak 53 kasus. Berikutnya adalah kasus mengubah hasil suara pemilu yang dilakukan saat penghitungan maupun pada sertifikat hasil penghitungan suara, jumlahnya 43 kasus. Kasus yang juga banyak terjadi adalah mencoblos lebih dari sekali atau mengaku dirinya orang lain sebanyak 38 kasus.

Kasus-kasus tindak pidana pemilu lainnya, berupa penggunaan dokumen palsu ada 6 kasus, kampanye di luar jadwal 7 kasus, mengganggu atau menghambat jalannya kampanye ada 6 kasus, melanggar larangan kampanye dengan melibatkan PNS/TNI/Polri sekitar 13 kasus, kampanye di tempat terlarang ada 5 kasus, menggunakan fasilitas negara 2 kasus, menghilangkan hak pilih seseorang 6 kasus, merusak fasilitas (surat suara, kotak suara, sistem IT) pemilu sebanyak 6 kasus, dan penyelenggara lalai atau tidak menjalankan kewajibannya sebanyak 20 kasus.

Ironisnya dari sekian banyak kasus pelanggaran pemilu yang masuk ke ranah pengadilan, mayoritas pengadilan menjatuhi hukuman percobaan atau ringan terhadap para pelaku tindak pidana pemilu. Menurut Titi, vonis ringan yang diganjarkan oleh pengadilan kepada pelanggar pidana hanya berkisar hingga tiga bulan penjara dengan denda maksimal Rp3 juta. Dari 203 kasus itu terdapat sekitar 100 hingga 113 kasus yang mendapatkan hukuman percobaan (ringan) atau 57,88 persen dari jumlah pelanggaran yang masuk ke ranah pengadilan.

Sementara, pelanggar yang memperoleh vonis sedang dengan hukuman berkisar empat hingga delapan bulan penjara dan denda Rp 4 – 10 juta tercatat sekitar 62 hingga 74 kasus atau 36,96 persen, untuk pelanggar yang memperoleh vonis berat dengan hukuman pidana 9 – 12 bulan dan denda diatas 10 juta hanya sebanyak 9 sampai 10 kasus, atau 5,16 persen dari total jumlah kasus.

"Khusus vonis bebas atau lepas dari tuntutan, banyak dijatuhkan pada kasus pidana politik uang dan penyelenggara yang melalaikan kewajiban. Masing-masing sebanyak 4 kasus. Vonis bebas lainnya dijatuhkan terhadap pidana kampanye di tempat terlarang, kampanye di luar jadwal, menggunakan fasilitas negara dan manipulasi hasil suara pemilu, dengan masing-masing sebanyak 1 kasus," ungkapnya.

PENANGANAN POLRI KURANG EFEKTIF - Peneliti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Jojo Rohi mengatakan pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember mendatang menjadi proses uji coba demokrasi yang diselenggarakan secara serentak di 269 daerah. Pertama kali dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pelaksanaan pilkada serentak menjadi barometer untuk pelaksanaan pilkada tahun 2017 dan selanjutnya.

Sayangnya, pelaksanaan pilkada serentak pertama kali dalam sejarah politik di Indonesia ini tidak diikuti dengan Peraturan Perundang-undangan serta infrastruktur yang matang dalam menangani kemungkinan pelanggaran pidana dalam pelaksanaannya nanti.

Ia memprediksi, tingkat pelanggaran pidana pada pelaksanaan pilkada serentak akan semakin tinggi dibandingkan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu. Kecenderungan meningkatnya jumlah pelanggaran pidana dalam pelaksanaan pilkada serentak dikarenakan undang-undang atau regulasi pilkada serentak yang belum sepenuhnya siap.

"Kecenderungan pelanggaran akan semakin tinggi bukan hanya jenis pelanggaran pidana, tapi juga yang lain," kata Jojo Rohi kepada gresnews.com, Jum´at (13/11).

Ia menambahkan, problematika di seputar penganggaran Pilkada untuk petugas yang bertanggungjawab dalam Sentra Gakumdu juga disinyalir sebagai alasan lemahnya penegakan hukum terkait dengan adanya praktik pelanggaran pidana sepanjang proses pilkada serentak berlangsung.

Terlepas adanya kelemahan dalam proses pelaksanaan pilkada yang dijadikan barometer pada pemilu mendatang, Jojo berharap Polri dapat membuktikan profesionalisme dalam menjalankan kinerjanya khususnya, penegakan hukum terpadu dalam pilkada serentak nanti.

"Kepolisian menangani pelanggaran jenis tindak pidana seringkali memang dirasa agak kurang efektif dalam penanganannya. Terutama bila menyangkut money politik, atau kasus black campaign," ucapnya.

Belajar dari proses pileg dan pilpres 2014, lanjut Jojo, pelanggaran pidana money politik dan black campaign telah mendominasi dalam pelaksanaan pemilu. Pada pilkada serentak nanti, tercatat dari 269 daerah, 173 daerah calon incumbent ikut serta dalam kontestasi politik yang dilakukan secara serentak.

Dengan demikian, calon incumbent memiliki peluang yang sangat besar untuk melakukan pelanggaran dalam pilkada nanti. Misalkan dengan menggelontorkan uang (money politik), memanfaatkan fasilitas Negara untuk suksesi Pilkada, bahkan tidak menutup kemungkinan juga melakukan black campaign terhadap lawan politiknya guna mempertahankan singgasananya.

Oleh karenanya ia menegaskan, Polri harus dapat menjaga semangat demokrasi pada pelaksanaan pilkada serentak pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia ini, dengan menjaga netralitas serta melakukan kinerja penegakan hukum dengan tegas dan tidak pandang bulu terhadap pasangan calon atau tim sukses pasangan calon yang terlibat dalam aksi tindak pidana selama pilkada berlangsung.

"Ketegasan kepolisian dalam kasus-kasus pelanggaran pidana tersebut sangat dibutuhkan agar ada efek jera bagi semua pihak. Ini merupakan proses pembelajaran publik agar tidak melakukannya di kemudian hari," tegasnya.

‘HATE SPEECH’ UNTUK KEAMANAN - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal.Pol. Badrodin Haiti menegaskan, pihaknya siap menjalankan amanat undang-undang guna menjaga ketertiban keamanan selama proses pilkada serentak berlangsung.

Menurut Badrodin, salah satu tugas Korps Bhayangkara adalah menindak pelanggaran pidana selama proses pelaksanaan pilkada. Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan perangkat atau lembaga lain yang tergabung dalam Sentra Gakumdu.

Ia pun menyadari, black campaign atau kampanye hitam merupakan salah satu tindak pidana yang kerap kali terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum. "Berbagai bentuk penyebaran atau ujaran kebencian yang menjatuhkan lawan kampanye akan ditindak Polri," ujar Badroddin Haiti di Gedung Ecopark, Ancol, Kamis (12/11).

Badrodin menambahkan, salah satu tujuan diberlakukannya Surat Edaran tentang hate speach atau menebarkan kebencian adalah guna menertibkan pelaksanaan pilkada serentak. Bahkan, sejak Agustus 2015, pihaknya telah mendapatkan informasi dari seluruh daerah yang melangsungkan Pilkada 9 Desember mendatang. "Telah terjadi sekitar 689 kasus terkait pilkada," katanya.

Jika merujuk pada data Perludem, jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan penanganan perkara pidana ketika Pileg dan Pilpres 2014 yang ditangani oleh Polri lalu.

Menurut Badroddin, laporan pelanggaran yang sudah masuk ke orang nomer satu di Korps Bhayangkara itu cukup beragam, mulai dari penganiayaan terhadap panitia penyelenggara, terhadap calon, penganiayaan antar pendukung, perusakan kantor, perusakan alat peraga, hingga penghasutan terhadap pemilih.

"Salah satu kasus, sudah ada laporan di Depok, terkait masalah SARA. Ini bisa dikenakan pasal hate speech, karena menyangkut masalah suku, agama dan ras," ujarnya.

Menjelang pilkada, warga Depok dikejutkan dengan adanya spanduk dukungan bikin gereja per satu kelurahan foto pasangan calon walikota-wakil walikota Depok Dimas Oky Nugroho-Babai Suhaimi. Padahal pihak Dimas-Babai mengaku tidak memasang spanduk tersebut.

Ditempat yang sama unsur Gakumdu lainnya Jaksa Agung RI M. Prasetyo menyatakan salah satu fokus antisipasi terjadinya pelanggaran Pilkada kali ini adalah mewaspadai di daerah-daerah yang memiliki calon kandidat petahana atau incumbent. Menurutnya, pihaknya akan fokus pada pengawasan calon petahana agar tidak menyalahi wewenang dengan menggunakan fasilitas yang dimiliki dalam rangka pemenangannya pada pelaksanaan Pilkada mendatang.

"Pasal 69 UU Pilkada secara tegas melarang petahana menggunakan wewenangnya," kata Politisi Partai NasDem itu.

Prasetyo menambahkan, selain mewaspadai penyalahgunaan fasilitas yang dimiliki calon petahana, pihaknya juga mewaspadai adanya praktek politik uang (money politik). Meskipun politik uang tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana dalam UU Pilkada, kata dia, politik uang adalah salah satu bentuk kejahatan yang memiliki dampak negatif. Ia menilai, politik uang dapat berpotensi pada kejahatan yang lebih besar, yaitu kejahatan korupsi bagi yang berkuasa mendatang. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: