JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian sudah mulai memakan "korban". Dia adalah Imelda Syahrul, seorang office boy (OB) sebuah bank di Ponorogo, Jawa Timur, terpaksa berurusan dengan polisi karena memposting meme dengan mencatut foto polisi.

Syahrul dicokok polisi pada hari Jumat 30 Oktober setelah dia mengunggah foto milik seorang anggota kepolisian yaitu Brigadir Polisi Dua Aris Kurniawan yang direkayasa sedemikian rupa dan dinilai melecehkan korps polisi lalu lintas. Kebetulan Aris adalah salah satu anggota Satuan Lalu Lintas Polres Ponorogo.

Aris kemudian melaporkan kelakuan Syahrul itu ke Polres Ponorogo. Dia sendiri mengaku tahu soal adanya postingan itu dari kawannya sesama polisi. "Saya tahu dari teman polisi yang menunjukkan foto saya dilecehkan di Facebook. Setelah melihat saya langsung lapor ke SPK," kata Aris, Kamis (5/11).

Aris mengaku selama ini tidak memiliki hubungan kerabat ataupun mengenal pelaku. "Saya tahu ya baru pas ditangkap setelah saya lapor. Sebelumnya saya tidak mengenal pelaku sama sekali. Di FB pun saya juga tidak berteman dengan pelaku," ujar Aris.

Wakapolres Ponorogo Kompol Suharnoto membenarkan adanya pengaduan itu. Dia mengatakan, saat ini, pihaknya masih melakukan pendalaman dan memeriksa motif pelaku karena diduga menghina polisi baik secara perorangan maupun instansi.

Apalagi foto yang diunggah merupakan anggota polisi yang berseragam lengkap dan tengah mengatur lalu lintas. "Pelaku sampai sekarang masih diperiksa, tapi tidak ditahan hanya wajib lapor. Kalau pasal dan alat bukti saya rasa sudah cukup," kata Wakapolres.

Syahrul terancam dijerat dengan Pasal 32 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana penjara 8 tahun dan atau denda Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

Surat edaran terkait ujaran kebencian ini memang saat ini tengah menjadi topik perdebatan hangat. Ada yang menganggap aturan ini perlu agar polisi memiliki panduan untuk penganan perkara semacam ini. Ada juga yang anti karena takut beleid ini dijadikan alasan polisi atau penguasa memasung demokrasi atau kebebasan berpendapat.

Terkait masalah ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang Surat Edaran ini adalah suatu tindakan administratif dari suatu pejabat negeri yang hanya diberlakukan secara internal dan berlaku sebagai pedoman dari para staf untuk melakukan tindakan tertentu.

Peneliti ICJR Anggara Suwahju menilai, dalam konteks hukum pidana Indonesia, penyebaran pernyataan kebencian dibagi menjadi dua kelompok aturan. Pertama, penyebaran pernyataan kebencian terhadap pemerintah yang diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kedua, penyebaran pernyataan kebencian yang berbasis Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA) yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP.

"ICJR menyetujui, bahwa penyebaran pernyataan kebencian berbasis SARA memang harus dilarang karena ia menjadi pangkal dan sebab musabab terjadinya genosida yang sudah terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Rwanda dan bekas Yugoslavia," kata Anggara dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (5/11).

Karena itu, kata dia, upaya yang dilakukan oleh Kapolri tetap perlu untuk diapresiasi. Sebagai suatu pedoman, SE ini memuat berbagai penegasan terhadap penanganan ujaran kebencian.

"Sayangnya pada saat yang sama SE ini mencampuradukkan ketentuan penyebaran pernyataan kebencian dengan berbagai tindakan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan penyebaran pernyataan kebencian," ujarnya.

Beleid itu ternyata juga memuat masalah seperti Penghinaan (Bab XVI KUHP tentang Penghinaan), Pencemaran Nama Baik (Pasal 27 Ayat (3) UU ITE), dan Penistaan (Pasal 310 KUHP). SE itu juga memuat soal penanganan Perbuatan Tidak Menyenangkan (Pasal 335 Ayat (1) KUHP), Menghasut (Pasal 160 KUHP), dan Penyebaran berita bohong (Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946).

TERANCAM BIAS - Dengan mencampuradukkan berbagai perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan ujaran kebencian, SE ini dikhawatirkan justru bias dan gagal menangani kasus penyebaran kebencian yang sesungguhnya.

Alasannya, kata Anggara, selain soal mencampur aduk, SE ini juga tidak memperhatikan dua ketentuan sudah diubah sifatnya oleh Mahkamah Konstitusi. Misalnya dalam ketentuan Pasal 335 Ayat (1) dimana frasa perbuatan tidak menyenangkan sudah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.

Selain itu Pasal Penghasutan dalam Pasal 160 KUHP yang tadinya delik formil juga sudah diubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi delik materil yang mensyaratkan adanya akibat dari penghasutan tersebut.

ICJR memandang SE ini, secara implisit, memperkenalkan model mediasi penal yang memang dikenal dalam sistem hukum pidana di berbagai Negara. "Persoalannya mediasi penal justru tidak bisa dilakukan untuk menangani persoalan-persoalan penyebaran pernyataan kebencian," kata Anggara.

ICJR khawatir justru nantinya kasus-kasus seperti Florence Sihombing yang justru akan ditangani dengan menggunakan model yang diharapkan dalam SE Kapolri ini. Sementara, kasus penyebaran pernyataan kebencian yang sesungguhnya justru tidak ditangani karena umumnya kasus-kasus seperti ini terjadi terhadap kelompok minoritas baik berbasis agama/keyakinan atau pun ras.

"ICJR juga mengingatkan ada sejumlah kasus yang masih menjadi pekerjaan rumah Kepolisian seperti kasus Arif Kusnandar yang menyatakan kebencian terhadap etnis tertentu melalui laman facebook," katanya.

Karena itu, kata Anggara, ICJR meminta agar Kapolri segera melakukan revisi terhadap SE tersebut dengan tetap berfokus pada penanganan penyebaran pernyataan kebencian. Polri diminta untuk tidak lagi mengambil banyak ketentuan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan penyebaran pernyataan kebencian.

KRITIK BUKAN UJARAN KEBENCIAN - Terkait masalah ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan kesetujuannya pihak Polri menindak tegas segala ujaran kebencian terhadap agama, suku, dan ras, serta mempidanakan segala anjuran kekerasan atas dasar perbedaan agama, suku, dan ras. Sebaliknya, AJI menolak upaya kriminalisasi kritik kepada pejabat dan lembaga publik sebagai ujaran kebencian.

Ketua Umum AJI Suwarjono mengatakan, memasukkan kritik ke unsur pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan ke ujaran kebencian berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Tafsir pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan itu bersifat karet, bila tidak dipahami aparat kepolisian, berpotensi menjadi pintu masuk memidanakan sikap kritis masyarakat, termasuk memidanakan jurnalis atau media.

"Ini bahaya. Bila kebebasan berpendapat terbelenggu, ini ancaman serius bagi kebebasan pers," kata Suwarjono dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (5/11).

Kekhawatiran AJI ini muncul lantaran SE itu memuat tujuh poin yang dikaitkan dengan ujaran kebencian yang beberapa diantaranya tidak terkait. Dalam surat edaran tersebut tercantum tujuh bentuk ujaran kebencian, yaitu penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong yang bertujuan menyulut kebencian di kalangan individu atau kelompok masyarakat.

AJI menilai, surat edaran penanganan ujaran kebencian telah mengaburkan batasan universal tentang ujaran kebencian. Seharusnya, penindakan hukum terhadap para penyebar ujaran kebencian dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.

Suwarjono menegaskan, penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan karena perbedaan agama atau ras yang harus dilarang oleh hukum. "Jangan dibalik atau campur-aduk dengan perbedaan pendapat, sikap kritis masyarakat," katanya.

JANGAN LANGGAR HAK WARGA - Mengatur ujaran kebencian harus dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.

"Kami menunggu konsistensi Polri dalam menindak penyebar ujaran kebencian yang marak dilakukan kelompok intoleran. Kami menyayangkan Polri justru abai terhadap berbagai ujaran kebencian bahkan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal. Kami melihat, Surat Edaran Kepala Polri justru lebih didasari kepentingan politik, untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara," tegas Suwarjono.

Hal senada disampaikan Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Iman D Nugroho. Dia meminta Polri menerapkan batasan pengertian universal tentang tindakan ujaran kebencian, demi memastikan tidak terjadinya kriminalisasi kritik terhadap penyelenggara dan lembaga negara.

Batasan pengertian yang paling obyektif adalah batasan penggunaan hak berekspresi yang telah diatur rinci oleh Konvenan Hak Sipil dan Politik. Ujaran kebencian, kata Iman, adalah ujaran yang menistakan atau merendahkan martabat seseorang karena latar belakang agama, suku, dan ras.

Ancaman dan anjuran kekerasan berlatar belakang agama, suku, dan ras juga harus ditindak tegas, karena kebebasan berekpresi tidak boleh disalahgunakan untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang yang lain.

"Kami menuntut Polri hanya menggunakan ukuran baku Konvenan Hak Sipil dan Politik sebagai ukuran ujaran kebencian, karena ukuran yang sumir membahayakan kebebasan berekspresi," kata Iman Nugroho.

Iman juga merujuk kepada Pernyataan Bersama Perserikatan Bangsa-bangsa, Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) pada 2001, yang merumuskan batasan penindakan atas ujaran kebencian. Penindakan itu harus memastikan bahwa tindakan hukum tidak boleh dilakukan bagi pernyataan yang sahih kebenarannya.

"Pemidanaan juga tidak boleh dilakukan kecuali jika terdapat bukti kuat bahwa sebuah ujaran kebencian diniatkan untuk menghasut kebencian, diskriminasi, dan kekerasan. Ekspresi kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran kebencian," kata Iman Nugroho. (dtc)

BACA JUGA: