JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mabes Polri mengeluarkan Surat Edaran  (SE) tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang ditandatangani Kapolri Jendral Badrodin Haiti. Beleid yang telah digodok sejak Kapolri Jendral Sutarman diharapkan bisa mengantisipasi dini konflik horizontal akibat kalimat atau kata-kata yang mengandung unsur kebencian dan tidak menjadi alat pemicu konflik di media sosial.

Surat tersebut merupakan konsep usulan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas mengaku telah melakukan kajian dan telaah dari berbagai kasus konflik berlatar belakang kasus Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) selama ini. Diantaranya konflik soal ajaran Syiah di Sampang, Jawa Timur. Konflik tersebut tersulut gara-gara kalimat yang menyatakan halalnya darah anggota Syiah. Banyak kasus lain yang dijadikan dasar Kompolnas menginisiasi agar Mabes Polri memiliki petunjuk kerja penanganan ujaran-ujaran yang bernada kebencian.

Kompolnas mengatakan siap mengawasi penerapan SE yang ditandangani Kapolri pada tanggal 8 Oktober 2015 dan instruksi itu telah disebar ke kesatuan wilayah seluruh Indonesia. Namun dalam implementasinya, Kapolri harus memberikan petunjukan detil teknis pelaksanaannya agar anggota polisi pada tataran tingkat Polda dan Polsek seluruh Indonesia benar-benar memahami instruksi Kapolri tersebut.

Terutama, bagi anggota Polri yang ditugaskan di wilayah konflik seperti halnya di Lampung, dan Jember, Jawa Timur. "Dibutuhkan pedoman detail, biar tidak ada salah paham dan interpretasi lagi Mabes Polri harus mengatur itu," ujar Komisioner Kompolnas  M Nasser kepada gresnews.com, Senin (2/11).

SULIT MENAKAR - Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar khawatir implementasi surat edaran tersebut di lapangan dapat melenceng. Jika tak disertai pemahaman akan dapat disalahtafsirkan oleh aparat Kepolisian sendiri. Dampaknya justru meleset dari tujuan dibuatnya aturan ini yakni antisipasi dini konflik.

Menurut Bambang, ujaran kebencian yang muncul di masyarakat merupakan ekspresi keyakinan masing-masing orang atau kelompok. Karenanya menakar kebencian ukurannya sulit, apalagi ditarik pada ranah hukum.

Sementara ungkapan kritis yang disampaikan kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya merupakan hubungan wajar. Khususnya di era keterbukaan informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat. Bambang berharap karena SE ini telah disebar ke seluruh Indonesia, penerapannya harus hati-hati dan perlu kontrol ketat.

Polisi memiliki diskresi yang besar. Jika tak terkontrol dengan baik, bisa jadi dapat dijadikan kepentingan tertentu untuk menyulut konflik. "Sebelum menindak, polisi harus mendeteksi dini kata-kata yang bisa menyulut konflik dari kelompok tertentu dan mengawasi. Jika ada tindakan yang melanggar hukum baru ditindak, jangan main tangkap," kata Bambang kepada gresnews.com, Senin (2/11).

Dengan adanya surat edaran ujaran kebencian, polisi dapat melakukan tindakan pencegahan dan tindakan tegas terhadap seseorang yang mengeluarkan ucapan kebencian yang menimbulkan konflik horizontal. Dalam surat edaran itu, apabila penebar kebencian tidak mengindahkan teguran polisi, maka bisa dikenakan pidana.

Surat edaran itu berisi rincian bentuk-bentuk ujaran yang dinilai melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya, antara lain; penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,  memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong. Semua tindakan itu bertujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Sementara aspek ujaran kebencian dimaksud ditujukan kepada; suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan,  ras, antargolongan, warna kulit,  etnis,  gender,  kaum difabel, orientasi seksual. Sedangkan media yang digunakan meliputi; orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner,  jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan,  media massa cetak atau elektronik dan pamflet.

Sebagian panduan kepada polisi dalam menangani perkara hate speech, Surat Edaran itu juga memberikan panduan prosedur penanganan perkara. Penanganan itu dimaksudkan agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas. Adapun prosedurnya, adalah; Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.

Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.  Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian. Sedang keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain; memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, melakukan pendekatan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

Jika tindakan preventif sudah dilakukan, namun masalah tidak terselesaikan, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai ketentuan KUHP,  UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

TIDAK BUNGKAM SUARA KRITIS - Muncul kekhawatiran SE tersebut bakal menjadi alat Kepolisian untuk membungkap suara kritis masyarakat terhadap pemerintahan. Apalagi belakangan muncul isi akan dibentuknya polisi internet.

Sebelumnya Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Komjen Anang Iskandar membantah Surat Edaran Kapolri nomor SE/06/X/2015 untuk membungkam suara kritis publik. Dia menegaskan, suara kritis di era sekarang ini termasuk ramainya media sosial sudah tidak bisa dibungkam.

"Mana bisa dibungkam. Orang media sosial kayak begitu. Coba, sampean bisa tidak dibungkam?" Kata Anang usai menghadiri pelantikan sejumlah Jaksa Agung Muda Kejagung, Jumat (30/10).

Bareskrim sebagai ujung tombak pelaksana itu bersama satuan kewilayahan siap untuk menjalankan SE tersebut. "Kami punya Subdit Cyber yang bisa menjangkau seluruh Indonesia," kata Anang.

BACA JUGA: