JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lama tak terdengar, kasus perbudakan dan perdagangan manusia oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Kepulauan Aru, Maluku, ternyata sudah masuk ke proses penuntutan. Pihak Kejaksaan Tinggi Maluku sendiri sudah menyiapkan proses penuntutan dengan meneliti ulang berkas perkara yang telah dilimpahkan oleh penyidik Polres Kepulauan Aru.

Kepala Seksi Penerengan Hukum Kejaksaan Tinggi Maluku Bobby Palapia mengatakan, pihak Kejati Maluku dan Kejaksaan Negeri Dobo, bersama penyidik dari Polres Kepulauan Aru juga sudah beberapa kali melakukan gelar perkara di hadapan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku.

Hal tersebut secara simultan dilakukan dengan menjalin koordinasi dan kerjasama lintas instansi serta lintas negara. "Hal ini dilakukan karena kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru di Maluku melibatkan warga negara asing sebagai tersangka, saksi serta korbannya," ungkap Bobby dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (26/10).

Selain itu, kata Bobby, pihak Kejati Maluku giat berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk menghadirkan para saksi dan korban yang sudah dikembalikan ke negara asalnya seperti Myanmar, Thailand dan Kamboja.

Tak hanya itu, Kejati Maluku juga melakukan komunikasi intensif dengan Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Negara Thailand, Myanmar dan Kamboja. Diskusi terkait penanganan perkara ini juga telah dilakukan di Bali pada tanggal 21 September 2015.

"Dalam hal ini, Kejati Maluku mendesak pihak penegak hukum Thailand untuk memulai proses penegakan hukum atas perusahaan dan pihak pihak yang merekrut dan menjanjikan upah serta memalsukan dokumen terhadap para korban, sebab bila hanya Indonesia yang melakukan penegakan hukumnya jelas sangat merugikan negeri ini," urai Bobby.

Apabila penegakan hukum hanya dilakukan oleh pihak Kejati Maluku, pihak Kejati Maluku khawatir, di kemudian hari ikan dan hasil laut dari Indonesia menjadi tidak laku karena dihasilkan dari perbudakan.

"Masyarakat dunia perlu tahu, Maluku hanya menjadi tempat di mana terjadinya dugaan perkara perbudakan tersebut dilakukan. Dan dari delapan orang tersangkanya, hanya dua orang yang Warga Negara Indonesia," ujarnya.

Kejati Maluku dalam kesempatan itu juga memohon dukungan masyarakat agar proses penegakan hukum dapat berjalan dengan apa adanya. "Jangan sampai ada tekanan politik, karena hukum harus ditegakkan secara adil dan manusiawi," pungkasnya.

SEMPAT TAK JELAS - Sebelumnya, pihak LPSK memang meragukan keseriusan aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus Benjina ini. Pasalnya, meski berkas penyidikan sudah dinyatakan lengkap (P21) namun berkas itu belum juga dilimpahkan untuk dilakukan penuntutan.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengaku, LPSK belum memperoleh kepastian waktu persidangan. "Dapat info, katanya persidangannya Oktober, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan," kata Semendawai di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kepastian jadwal sidang memang sangat diperlukan LPSK untuk bisa mendatangkan saksi yang diperlukan. "Saksi-saksi dan korban kasus itu, saat ini berada di negaranya yaitu Myanmar, kepastian jadwal penting agar mendatangkan ke Indonesia tidak memakan waktu terlalu lama," kata Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar.

Lili mengatakan, saat ini LPSK juga masih berupaya memfasilitasi restitusi atau ganti rugi yang akan diberikan kepada korban perbudakan Benjina. Permohonan restitusi pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, masalah lokasi persidangan juga menjadi perhatian penting LPSK. Dalam kaitan ini, Semendawai mengatakan, melihat tempat kejadian perkara, seharusnya persidangan di lakukan di Ambon.

Meski demikian, jika dalam persidangan itu ada ketidakpastian jaminan soal keamanan dan keselamatan saksi, maka persidangan bisa digelar di Jakarta.

Selain soal keamanan, persidangan di Jakarta, kata dia, juga akan memudahkan dari sisi waktu dan meringankan biaya akomodasi. Sebab jika sidang di gelar di Ambon, maka LPSK harus mendatangkan korban dari Myanmar ke Ambon yang jaraknya sangat jauh.

Meski demikian, Semendawai mengaku akan mengikuti prosedur yang berlaku. "Kami ikuti saja nanti prosesnya," katanya.

LARANG PELABUHAN PERIKANAN SWASTA - Sementara itu, terkait upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terulang, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah meminta kepada Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, untuk melarang penerbitan izin pelabuhan perikanan baru milik swasta.

Alasannya, pelabuhan perikanan swasta berpotensi dipakai untuk aktivitas perikanan ilegal, atau Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing, seperti kasus di Benjina.

"Saya minta Pak Jonan untuk tidak memberi izin pelabuhan khusus perikanan kecuali pemakaian pemerintah dan bersama. Kejadian Wanam, Benjina, Wanbiru," kata Susi, di kantor Kementerian Kelautan Perikanan, Jakarta, Kamis (15/10).

Pelabuhan khusus juga rawan dipakai para penyelundup untuk memasukkan produk ilegal dari luar negeri, seperti sembako, senjata, narkoba. Atau sebaliknya, membawa ikan hasil tangkapan ilegal, binatang dilindungi, hingga penyelundupan manusia.

"IUU Fishing itu alat transportasi penyelundupan barang, narkoba, makanan, pakaian bekas, minuman beralkohol, senjata. Dibawa dari sini, ikan, satwa langka dilindungi kayak di Papua Burung Kakaktua, kura-kura, kulit buaya, dan tanduk rusa," jelasnya.

Aktivitas ini, kata Susi, menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang meminta aktivitas penyelundupan dari atau masuk Indonesia melalui aktivitas IUU Fishing agar diberantas. "Pak presiden minta aktivitas selundupan barang impor ilegal ditindak," ujarnya.

Susi sendiri sudah menindak tegas perusahaan yang terlibat kasus IUU Fishing, termasuk kasus perbudakan dengan mencabut izin usaha mereka. Susi sudah mencabut izin 5 perusahaan besar yang terlibat kasus tersebut.

Seluruh proses perizinan yang dicabut adalah Surat izin Kapal Penangkap Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP). Kelima perusahaan ini terlibat melakukan praktik illegal fishing.

Kelima perusahaan tersebut adalah PT Maritim Timur Jaya (MTJ) di Tual Maluku, PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam (Papua), PT Indojurong Fishing Industry di Penambulai (Maluku), PT Pusaka Benjina Resources (Maluku), dan PT Mabiru Industry (Maluku). Dari kelima perusahaan itu, baru PT Pusaka Benjina Resources (Maluku) yang seluruh perizinannya sudah dibekukan.

Sementara itu, Ketua Tim Satgas Anti Mafia Illegal Fishing Mas Achmad Sentosa mengungkapkan kelima perusahaan tersebut memiliki jumlah armada kapal tangkap dan angkut yang cukup besar. Dari beberapa temuan tim satgas, kelima perusahaan itu melakukan pelanggaran berat sehingga dimungkinkan pencabutan atas seluruh izin usaha.

"Ada 5 grup perusahaan yang memiliki kapal yang cukup besar. Contohnya Pusaka Benjina Group karena proses pidana dan tindak pidana umum soal human trafficking sudah ditangani, KKP sendiri menangani proses pidana di illegal fishing," tuturnya beberapa waktu lalu. (dtc)

BACA JUGA: