JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi VII DPR RI menolak rencana pemerintah melakukan divestasi atau pelepasan sebagian saham PT Freeport Indonesia melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Rencana pemerintah dianggap telah melanggar UU Minerba No 4 Tahun 2009.

Sebagai informasi, kewajiban divestasi bagi pemegang Kontrak Karya (KK) diatur dalam PP No 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP tersebut pun tercantum tegas jika Freeport wajib melakukan divestasi hingga sebesar 30 persen dan dilakukan secara bertahap. Pada tahun ini Freeport akan melakukan divestasi sebesar 10,64 persen. Sementara kepemilikan pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen di Freeport.

Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, mekanisme IPO bukanlah bentuk divestasi seperti yang tercantum dalam kontrak. Sebab, divestasi yang tercantum dalam kontrak adalah penawaran langsung antara perusahaan kepada pemerintah.

"Pemerintah jangan kalah sama Freeport. IPO itu bukan divestasi yang diatur dalam kontrak," kata Kardaya, Jakarta, Senin (19/10).

Soal itu, kata Kardaya, sudah ada diatur dalam UU Minerba. "UU diciptakan untuk mengatur dan wajib dipenuhi oleh seluruh pihak," katanya. Karena itu, dia meminta agar pemerintah Indonesia bersikap tegas kepada Freeport. "Sebab UU tidak dapat dilanggar oleh siapapun," tegasnya.

Kardaya bilang, jika mekanisme IPO diambil oleh pemerintah, maka bisa saja saham Freeport Indonesia justru dibeli oleh pihak asing. Berbeda jika pemerintah melakukan mekanisme divestasi, dimana kepemilikan nasional akan semakin dominan. Dia menegaskan, jika Freeport tetap ingin melangsungkan operasionalnya di Indonesia, maka perusahaan harus mengikuti UU.

Peringatan serupa juga diberikan oleh pengamat dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean. Dia meminta kepada pemerintah untuk waspada dengan rencana divestasi saham Freeport. Menurutnya dalam KK Freeport tahap II mewajibkan adanya divestasi saham 51 persen kepada pihak nasional. Namun, baru-baru ini Freeport hanya menawarkan sahamnya sebesar 10 persen kepada negara, dimana belum diputuskan akan diambil atau tidak oleh negara.

Artinya, jika divestasi yang ditawarkan hanya 10 persen maka mayoritas saham Freeport masih tetap dimiliki oleh induknya yaitu Freeport McMoran. "Akibatnya dengan mayoritas saham tersebut, maka manajemen masih dipegang penuh oleh McMoran dan keputusan tetang pembagian hak masih menjadi hak McMoran," katanya kepada gresnews.com, Senin (19/10).

Dia menambahkan Freeport sendiri tidak memberikan dividen atas 9 persen saham pemerintah selama 4 tahun ini, dengan alasan akan investasi kembali. Hal itu menurutnya menjadi pelajaran bagi pemerintah, jangan sampai agar setelah divestasi dilaksanakan dengan pemerintah membeli saham tetapi setiap tahun dividen tidak diberikan oleh Freeport.

Menurutnya jika hal itu terjadi malah justru memperkaya Freeport karena tidak perlu mengeluarkan investasi besar tetapi menggunakan dana hasil divestasi dan dividen tidak diberikan. Maka dari itu, pemerintah jika ingin divestasi berjalan baik sebaiknya divestasi langsung dilakukan atas 51 persen saham Freeport Indonesia sehingga menjadi mayoritas dan bisa mengatur management dan tidak membuang uang negara.

"Pemerintah harus waspada terhadap cara-cara licik Freeport dalam divestasi ini," kata Ferdinand.

AGAR TRANSPARAN - Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, terkait masalah divestasi, Freeport punya opsi menawarkan sahamnya ke swasta dengan melakukan penjualan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui mekanisme IPO. "Dengan cara ini  masyarakat Indonesia berkesempatan membeli saham Freeport di pasar modal," kata Sudirman di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/10).

Sebelum itu, kata dia, Freeport pertama-tama akan menawarkan saham tersebut ke pemerintah pusat dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jika tidak berminat, maka sahamnya akan ditawarkan pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Jika tidak berminat juga, maka diberikan ke pihak swasta. Nah, opsi IPO dilakukan jika swasta juga tak berminat.

"Pemerintah yang punya domain Menkeu (Menteri Keuangan) dan Menteri BUMN. Karena yang punya uang Menkeu, yang punya saham BUMN. Kita perlu komunikasikan," ujar Sudirman.

Pemerintah pusat sendiri sudah mengakui tidak ada anggaran untuk membeli saham Freeport. Namun demikian, ada BUMN yang siap menampung sahamnya yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

"Nah, pemda juga ingin ikut partisipasi. Akan diskusi dengan pak gubernur. Ini nanti pilihannya lewat pasar modal atau strategic. Memang ada berbagai pandangan tapi saya cenderung orang yang ingin pasar modal kita ini berkembang," kata Sudirman.

"Kalau masuk perusahaan-perusahaan besar ke pasar modal saya kira dinamikanya akan berbeda dan bagaimana pun pasar modal itu lebih jauh transparan dan bisa dilihat masyarakat dan harga saham kita pun kemungkinan punya market (pasar)," tambahnya.

Freeport akan melepas sahamnya secara bertahap sampai mencapai 30% dalam beberapa tahun. Sebanyak 9,36% saham Freeport saat ini sudah dipegang pemerintah pusat. Sudirman juga memastikan saham Freeport yang dijual di pasar modal nanti bisa dibeli oleh seluruh perusahaan dan masyarakat Indonesia.

"Ya majority (mayoritas) harus supaya tetap dipegang oleh Indonesia kan. Kan caranya banyak. Jadi tidak hitam-putih. Tapi bisa ini-itu, bisa masuk pasar modal tapi caranya diyakinkan. Kita pemerintah bisa mengatur dan meyakinkan bagaimana pemegang saham majority Indonesia," ujarnya.

Terkait mekanisme IPO, Sudirman menilai,  jika divestasi dilakukan melalui mekanisme IPO, maka akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pasar modal di Indonesia. "Juga jauh lebih terbuka dan dapat dipantau oleh masyarakat," ujarnya.

Dia pun menjamin agar divestasi Freeport melalui IPO dapat diperuntukkan untuk investor lokal. Menurutnya pemerintah bisa mengatur dan meyakinkan agar saham mayoritas tetap dipegang oleh pengusaha Indonesia. "Nanti pilihannya tetap lewat pasar modal. Mekanisme pasar modal itu jauh lebih transparan. Ya mayoritas harus supaya tetap dipegang oleh pengusaha Indonesia," kata Sudirman.

Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono hingga saat ini belum ada aturan terkait divestasi saham KK melalui IPO di pasar modal. Saat ini pemerintah mempunyai waktu selama 90 hari untuk menegosiasikan harga saham yang akan ditawarkan kepada Freeport, terhitung sejak 14 Oktober 2015.

Kemudian setelah pemerintah menetapkan harga, maka akan diserahkan kepada Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti. Lalu, Menteri ESDM berwenang menunjuk pihak untuk membeli saham Freeport, apakah pemerintah membeli sendiri atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Jika tidak ada, maka akan diserahkan kepada swasta," kata Bambang.

ANTAM-INALUM SIAP - Sementara itu, terkait permintaan Menteri BUMN Rini Soemarno kepada dua BUMN yaitu PT Aneka Tambang Tbk dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk menyerap 10,64% saham Freeport Indonesia, kedua perusahaan tambang pelat merah itu mengaku siap.

Direktur Utama Inalum Winardi Sunoto menilai, saat ini sebagai momentum yang tepat untuk mengambil alih 10,64% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Alasannya, saat ini harga komoditas yang dihasilkan Freeport seperti emas dan tembaga sedang turun. Turunnya harga komoditas, kata Winardi, mempengaruhi nilai perusahaan.

"Sekarang waktu yang tepat untuk beli karena harga komoditas turun maka valuasi (nilai Freeport) murah dan turun, disitulah kesempatan kita beli," kata Winardi, Senin (19/10).

Bila menunggu harga komoditas dunia membaik, Winardi menilai harga saham atau value Freeport Indonesia bisa naik kembali. "Momentum ada time frame," sebutnya.

Antam juga menyatakan siap mengoperasikan tambang bawah tanah Grasberg jika diberi kesempatan oleh pemerintah. "Kami juga punya tambang bawah tanah di Cikopo, Pongkor, dan Cibaliung. Yang berbeda dengan Grasberg hanya tekonologinya saja, kalau ilmunya (untuk menambang emas dan tembaga di bawah tanah) sama saja kok, orang-orang kita juga bisa," tegas Direktur Utama Antam Teddy Badrujaman, di Jakarta, Minggu (18/10).

Teddy mengakui bahwa Antam memang belum pernah mengoperasikan tambang yang skalanya sebesar Grasberg. Tetapi bukan berarti Antam tidak mampu. Dia mengumpamakan pencalonan presiden, tentu calon presiden tidak harus punya pengalaman pernah menjadi presiden, belum tentu juga kapabilitasnya kalah dari presiden yang sedang berkuasa. Sama halnya dengan pengelolaan wilayah pertambangan.

"Kalau yang jadi presiden harus punya pengalaman jadi presiden, lalu siapa yang bisa menggantikan presiden yang berkuasa? Ibarat calon presiden, kami sudah pernah jadi gubernur dulu karena pernah mengelola tambang yang lebih kecil skalanya," paparnya.

Soal kesiapan dua BUMN ini, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, bila ada BUMN yang bisa menyerap saham Freeport, diharapkan memiliki neraca keuangan yang sehat dan kuat. Alasannya karena nilai saham yang ditawarkan juga cukup besar.

"BUMN cari unit yang secara balance sheet bisa serap itu. Tapi nilainya kan tergantung appraisal. Siapa BUMN-nya, itu tergantung kebijakan pemegang saham (Kementerian BUMN)," kata Sudirman ditemui di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (19/10).

Mampukah BUMN membeli saham 10,64% tersebut? "Mulai saja belum masa sudah dibilang nggak mampu. Yang penting ada kesiapan institusi dulu, baru nyari uangnya. Kan waktunya 90 hari sejak ditawarkan ke BUMN," tutup Sudirman. (dtc)

BACA JUGA: