JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur diduga sarat dengan korupsi yang mengalir ke sejumlah pejabat. Selama lima tahun beroperasi hasil penambangan pasir besi ditaksir mencapai Rp11,497 triliun. Untuk menuntaskan kasus ini polisi harus bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan perlu melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri kemana aliran dana tersebut mengalir.

Konflik antara petani dan penambang pasir besi ilegal di Desa Selok Awar-awar berlangsung sejak dua tahun terakhir. Kemarahan warga yang mengendap lalu meledak setelah praktik tambang pasir ilegal itu banyak menenggelamkan sawah warga.

Aksi damai warga untuk menuntut penutupan tambang, justru berakhir tragis dengan hilangnya nyawa seorang warga, sekaligus aktivis penolak tambang pasir ilegal, Salim alias Kancil pada Sabtu 26 September 2015. Satu warga lain, yaitu Tosan kini sedang dirawat di Rumah Sakit dr Saiful Anwar Malang akibat pengeroyokan di hari yang sama.

Namun sayangnya penyidikan oleh Kepolisian masih berkutat soal pembunuhan, penyiksaan dan penambangan ilegal saja. Dari 37 orang yang ditetapkan tersangka kebanyakan pekerja dan bukan otak kasus penambangan ilegal ini.

Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kent Yusriansyah menduga kuat bahwa masalah tambang di Kabupaten Lumajang terakait erat dengan praktik korupsi. Karenanya KPK sebaiknya turun tangan untuk menelusuri siapa pejabat utama yang terindikasi terlibat baik tingkat Kabupaten, Provinsi Jatim maupun pusat yang menjadi mata rantai mafia tambang Lumajang.

Hal itu memastikan keadilan agraria bagi korban konflik tambang yang telah menghilangkan nyawa, rusaknya lingkungan, ketakutan sosial dan terancamnya ruang produksi pertanian rakyat. Penegak hukum harus mempidanakan para pelaku utama dengan tambahan pasal tindak pidana korupsi.

"Disinilah arti penting proses pengusutan, penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi sumber daya alam (SDA) disana. Maka Kepolisian RI juga selayaknya bekerja sama dengan KPK," kata Kent kepada gresnews.com, Sabtu (17/10).

Sebab praktik penambangan pasir besi Lumajang sebenarnya sudah berlangsung lama sejak 2011. Ironisnya baru mencuat ke permukaan setelah tragedi pembunuhan aktivis anti tambang. "Saya melihat bahwa kata kuncinya adalah pembiaran negara dalam proses ini, sebab tidak menutup kemungkinan para pejabat setempat sangat tahu hal itu," kata Kent.

Dengan adanya pembiaran ini, ada dua masalah utama yakni hilangnya nyawa dan Rp11,497 triliun negara dirugikan. Untuk itu KPA polisi menyelidiki siapa perusahaan yang menerima hasil penambangan pasir tersebut selama 5 tahun sehingga teka-teki selama ini terjawab.

"Jika proses penanganan kasus ini hanya diarahkan pada operator lapangan, ya saya yakin aktor utama di balik masalah tambang Kabupaten Lumajang masih berkeliaran," tandas Kent.

KESERIUSAN POLISI -  Kepolisian menegaskan akan mengusut tuntas penambangan ilegal Lumajang tersebut. Meskipun telah menetapkan 37 tersangka, tak menutup kemungkinan tersangka akan bertambah. Termasuk mengusut keterlibatan pejabat daerah.

Kapala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charlyan sebelumnya mengatakan, polisi terus mengembangkan kasus ini untuk mencari aktor utama dan pemodalnya. Karena kasus ini melibatkan banyak pihak.

"Kita sedang kembangkan tapi belum bisa ungkapkan, siapa-siapa saja yang membekingi, pemodalnya atau yang menikmatinya," kata Anton di Mabes Polri, beberapa waktu lalu.

Sementara tiga oknum yang terbukti menerima uang dari Kepala Desa Selok Awar-awar. Mereka adalah Kapolsek Pasirian, Babinkamtibmas dan Kanit Reserse. Setelah melalui sidang etik, ketiganya terbukti menerima gratfisikasi. Mereka dikenakan sanksi mulai dari mutasi demosi dan penundaan naik pangkat.

"Mereka terkena gratifikasi," kata Kadiv Propam Irjen Budi Winarso di Mabes Polri beberapa waktu lalu.

JERAT KORPORASI - PT Indonesia Mining Modern Sejahtera (IMMS) disinyalir perusahaan yang menampung pasir besi lumajang tersebut. Meskipun PT IMMS telah membantah. Namun Pemprov Jawa Timur mengaku telah mencabut izin PT IMMS.

Aktifis Jaringan Akvokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadikusomo mendesak polisi berani mengungkap korupsi korporasinya. Karena akibat korupsi tersebut negara dirugikan miliaran rupiah. "Penyidik harus kejar itu, korupsinya sangat besar," kata Ki Bagus kepada gresnews.com, Selasa (12/10).

Hingga kini penyidikan kasus penambangan ilegal ini terkesan hanya soal pungutan liar dan aliran dananya. Penyidik harus ungkap perusahaan yang menampung hasil penambangan ilegal. Polisi juga harus berani menindaknya.

Menurut Ki Bagus, kasus penambangan ilegal ini pernah disidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 2010 silam. Telah ada tersangka mantan Bupati Lumajang. Namun kasus ini tak berlanjut.

Saat itu telah ada hasil audit dari BPKP terkait kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp5 miliar. Itu baru dari retribusi yang ke luar. Belum lagi pajak dan royaltinya yang ditaksir lebih besar. Apalagi jika dihitunga akumulatif hingga 2015. "Jika serius polisi harus ungkap itu," tandas Ki Bagus.

Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhnur Satyahaprabu juga menyesalkan sikap kepolisian yang belum menindaklanjuti temuan Walhi dan sejumlah pihak atas kasus pembunuhan warga antitambang Lumajang, Salim Kancil dan Tosan.

Menurutnya potensi kerugian negara karena aktivitas pertambangan pasir besi secara liar di Lumajang mencapai Rp11 triliun dalam jangka waktu 5 tahun atau setara 9 tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lumajang.

"Kami sesalkan polisi tidak menelusuri aliran pasir ke perusahaan internasional. Upaya polisi masih setengah hati," ujar Muhnur dalam konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, Jumat, (16/10).

Ia menilai, bila polisi mau menelusuri ke mana aliran pasir, maka akan ditemukan petunjuk bahwa persoalan ini memang melibatkan koorporasi internasional. Sebab dengan belum ditelusurinya lebih dalam atas kasus ini, proses hukumnya belum menyentuh kepada aktor intelektual.

Senada dengan Muhnur, Aktivis Kontras, Ananto, mengatakan ada dugaan perputaran uang besar dalam bisnis tambang dan kasus ini yang ia yakini tidak mungkin berhenti di Kepolisian dan Kepala Desa. Polisi juga harus memeriksa mantan Kapolres Lumajang yang sampai hari ini belum diperiksa. Lalu ada juga dugaan keterlibatan Perhutani. "Fakta-fakta ini yang belum dibongkar" ujar Ananto pada kesempatan yang sama.

Menurutnya, masyarakat sekitar dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat juga telah membeberkan hasil temuan bahwa ada banyak mafia pertambangan, baik dari Polsek Selow Awar-awar bahkan hingga anggota DPR yang harus diperiksa. Permasalahan dari berbagai macam temuan ini, polisi masih belum menindaklanjutinya.

Kepolisian masih saja mengabaikan laporan masyarakat bahkan tim dari komisi III DPR. Sehingga ia mendorong polisi untuk lebih serius ungkap praktek mafia ilegal tambang pasir di Lumajang.

BACA JUGA: