JAKARTA, GRESNEWS.COM - Permintaan agar Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menghentikan atau melakukan deponeering terhadap kasus dugaan mengarahkan kesaksian palsu yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW) kembali mengemuka. Desakan itu datang dari sejumlah akademisi lintas perguruan tinggi. Mereka menilai, kasus BW tak layak masuk ke pengadilan.

Para akademisi tersebut diantaranya adalah Guru Besar Fakultas Hukum Andalas Saldi Isra, Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Komariah Emong Sapardjaja, Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed Hibnu Nugroho, Dosen Fisipol UI Bambang Widodo Umar dan Dosen Fakultas Hukum UI Gandjar Laksmana. Ada tiga alasan yang disampaikan para guru besar itu.

Pertama, saat kasus disangkakan pada BW, dia sedang berprofesi sebagai advokat. Kedua, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai lembaga yang menaungi profesi advokat telah dua kali memberikan surat rekomendasi yang menyebutkan kasus BW adalah pelanggaran kode etik bukan pidana. Ketiga, Ombudsman RI menemukan perkara BW tidak didahului serangkaian proses penyelidikan.

Desakan dihentikannya kasus ini bukan kali ini saja. Sejak dalam proses penyidikan, tim kuasa hukum BW juga telah mendesak Mabes Polri untuk menghentikannya. Namun desakan menghentikan perkara BW tak diindahkan.

Saat itu Kapala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri adalah Komisaris Jendral Budi Waseso. Bahkan, Polri seolah sengaja "menggantung" kasus BW dengan menunda pelimpahan berkas penyidikan tahap II ke Kejaksaan Agung hingga ada putusan atas tersangka lain dalam kasus yang sama, Zulfahmi Arsyad, yang lebih dulu dimajukan ke pengadilan.

Padahal jaksa telah menyatakan lengkap penyidikan kasus BW (P-21) sejak tanggal 25 Mei silam. Namun polisi baru melakukan pelimpahan tahap dua yaitu pelimpahan tersangka ke Kejaksaan pada tanggal 18 September 2015.

Kasus BW sendiri mengemuka ketika hubungan KPK dan Bareskrim Polri mamanas pasca penetapan status tersangka terhadap calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, yang sudah disetujui DPR. Tak lama berselang, Mabes Polri mendadak melakukan pergantian Kabareskrim dari Komjen Suhardi Alius ke Budi Waseso.

Saat Bareskrim dipimpin Buwas itulah, penyidik Bareskrim menangkap BW dan menahannya. Penangkapan didasari atas laporan politisi PDIP Sugianto Sabran saat itu yang melaporkan ulah BW yang diduga telah mengarahkan saksi memberikan kesaksian palsu di persidangan di Mahkamah Konstutusi.

Atas desakan para profesor hukum itu, Presiden Joko Widodo sendiri langsung menyatakan akan mempertimbangkan masukan akademisi tersebut. Jika saja Presiden Jokowi setuju, maka bola panas kasus BW akan beralih ke Kejaksaan Agung.

BOLA PANAS DI KEJAGUNG - Ada dua mekanisme untuk menghentikan kasus BW yang telah ada di Kejaksaan. Pertama menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP). Itu telah diatur pada Pasal 140 Ayat (1) KUHAP. SKPP bisa dilakukan dengan alasan tidak cukup bukti, dan kasus yang dituntut bukan pidana dan demi kepentingan hukum.

Pakar hukum pidana Chairul Huda mengatakan, penghentian kasus BW yang telah dinyatakan lengkap merupakan kewenangan kejaksaan. Jaksa bisa menghentikan dengan mengacu pada tiga alasan dalam Pasal 140 Ayat (1) KUHAP itu. "Jika mau dihentikan, jaksa harus membuktikan kasus BW dengan alasan di KUHAP, jika tidak bisa digugat praperadilan," kata Chairul Huda kepada gresnews.com, Senin (5/10).

Namun Kejaksaan Agung belum memberikan sikap atas kasus BW. Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan saat ini berkas BW tengah diteliti oleh penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Prasetyo mengatakan pihaknya akan memberikan pertimbangan jika ada masukan untuk menghentikan kasus BW. "Nanti kami akan memberikan pertimbangan, tapi saat ini belum ada pembicaraan," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung.

Menurut mantan Jampidum ini, jaksa masih meneliti sebelum menyusun dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, batas waktu untuk melimpahkan kasus yang telah dilimpahkan barang bukti dan tersangka minimal 15 hari dan maksimal 30 hari sejak tanggal dilimpahkan. Namun hingga kini berkas BW masih diteliti jaksa sebelum dilimpahkan ke pengadilan.

Komisi Kejaksaan (Komjak) ikut menanggapi desakan menghentikan kasus BW untuk masuk ke pengadilan. Sebab sejak awal kasus BW diduga tak tidak murni hukum. Ada upaya membangun logika hukum kasus BW masuk ranah pidana. Padahal, saat itu BW tengah berprofesi sebagai advokat.

Komisioner Komjak Indro Sugianto mengatakan, dalam kasus BW harusnya dalam perlindungan profesi karena BW tersangka saat menjalani advokat. Sementara Peradi menyatakan jika kasus BW bukan pidana tapi pelanggaran kode etik.

"Kasus BW bukan murni hukum. Ada instrumentasi kepentingan tertentu yang masuk," jelas Indro kepada gresnews.com.

Karena sejak awal kasus BW tidak murni hukum, maka kasus BW harus diselesaikan di luar hukum. Sebab dalam kasus BW ada kepentingan yang membelokkan. Apalagi dalam kasus yang mempidana Zulfahmi, tak disebut peran BW.

Kalaupun kasus BW dihentikan oleh Kejaksaan, Indro menilai bukan intervensi hukum. Tetapi itu untuk mengembalikan proses hukum yang benar. "Karena ada proses yang membelokkan, maka harus dipotong," kata Indro.

BERTENTANGAN DENGAN ASAS PERSAMAAN DI MUKA HUKUM - Berbeda dengan pandangan para pihak yang mendukung penghentian kasus BW, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita punya pendapat sendiri atas masalah ini. Lewat cuitannya pada akun pribadi di situs jejaring sosial twitter, Minggu (4/10), Romli mengatakan permohonan yang diajukan para guru besar hukum itu merupakan pertanda kemunduran dalam penegakan hukum.

"Permintaan akademisi hk tsb memalukan dn memprihatinkan krn dugaan kriminalisasiaa hanya bisa dibuktikan di pengadilan saja," demikian cuitan akun @romliatma.

Menurut dia, surat keputusan penghentian penyidikan hanya bisa dilakukan jaksa agung ketika dalam kasus yang disidik tidak ditemukan unsur pidana atau daluwarsa atau ne bis in idem alias jika BW dituntut dengan perkara yang sama yang pernah diputus hakim sebelumnya.

"SKPP oleh jaksa agung jika tdk ada unsur pidana atau daluwarsa atau ne bis in idem.akademisi hk yg gurubesar hk pidana paham soal itu. Aneh," demikian cuit @romliatma.

Dia menilai permohonan seperti itu sangat memalukan jika diajukan para pakar hukum yang mengerti hukum. "Gimana gurubesar hk tsb ngajaron hk pd mhsnya. Bgm  asas persamaan di muka.hukum dn asas praduga tak bersalah yg kpk jilid III sdh.lakukan??" cuit @romliatma.

Karena itu, dia meminta agar Presiden Joko Widodo menolak permitaan para akademisi tersebut karena melanggar KUHAP dan KUHP. Permintaan itu juga dinilai Romli melanggar UU Polri dan UU Kejaksaan. Selain itu, jika kasus itu dihentikan, menurut Romli akan terjadi diskriminasi hukum.

"Jika pres acc permintaan 64 akademisi hk u JA hentikam kasus BW jelas pimp kpk warga yg imun terhdp GAKKUM dn jadi Warga Negara kelas SATU. Kasihan presiden dpt masukkan menyesatkan secr hukum justru dr mrk yg paham hukum," cuit @romliatma.

Menurut Romli biarlah hakim yang menentukan apakah BW bersalah atau tidak dan bukan Kejaksaan Agung. Dia meminta BW bersikap ksatria dan menghadapi masalah ini dengan jiwa besar sebagai ahli hukum dan doktor ilmu hukum. "tunjukkan kemampuan mu di sidang nanti buktikan anda tdk bersalah," cuit @romliatma

Pendapat senada disampaikan anggota Komisi III DPR RI Akbar Faisal. Akbar menilai, usulan pemberian SP3 kepada Bambang Widjojanto terlalu berlebihan dan masih diperdebatkan. Alasannya, masih bisa dipertanyakan apakah usulan itu mewakili mayoritas masyarakat atau hanya mewakili kepentingan segelintir orang yang tidak suka dengan institusi Polri.

"Anda bisa membayangkan kalau kemudian setiap kasus, atau setiap masalah, katakanlah mendapat perhatian besar dari masyarakat, kemudian semuanya kita hentikan kasus karena suara seperti itu. Terus dimana supremasi hukum kita,‎" ujar Akbar di DPR, Jakarta, Senin (5/10).

Akbar menegaskan, jika Presiden Joko Widodo menghentikan atau Kejaksaan Agung melakukan deponeering atas kasus BW, maka akan menimbulkan rasa iri di masyarkat dan akan mencederai asas persamaan di muka hukum. "Kita mengaku menjunjung supremasi hukum, tapi kok kita jadinya seakan-akan memberikan sebuah keistimewaan untuk satu kasus sementara yang lain tidak?" pungkasnya.

BACA JUGA: