JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aksi Singapura yang menjadikan wilayah udara Indonesia khususnya di atas wilayah Bintan, Kepulauan Natuna-Anambas sebagai area latihan militer memang sudah keterlaluan. Bayangkan saja, pesawat-pesawat tempur milik Singapura, kerap kali dengan seenaknya terbang di atas wilayah kedaulatan udara RI.

Hal ini tentunya merupakan pelanggaran serius atas wilayah RI. Sebelumnya, pesawat-pesawat sipil dan pesawat latih Singapura juga kerap melakukan pelanggaran serupa. Bahkan akhir Oktober 2014 lalu, pesawat tempur TNI jenis Sukhoi SU-27/30 MKI Flankers, dari Skuadron Udara 11 terpaksa bersikap tegas dengan melakukan force down alias memaksa turun sebuah pesawat latih jenis Beechcraft 9L yang melanggar wilayah udara RI di Kalimantan Barat.

Terkait dijadikannya wilayah udara Indonesia sebagai area latihan pesawat tempur AU Singapura, pemerintah telah melayangkan nota protes kepada pemerintah Singapura.

RI menilai Singapura melanggar batas udara dengan membawa pesawat tempurnya di wilayah Indonesia tanpa prosedur yang tepat. "Indonesia sudah menyampaikan keberatannya. Sudah beres. Kemenkopolhukam sudah kirim surat (protes) ke Singapura," kata Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna di Gedung DPR di sela-sela Rapat Kerja Panglima TNI dengan Komisi I DPR, di Jakarta, Senin (7/9).

Hanya saja, langkah tersebut dinilai Dewan Perwakilan Rakyat, belum cukup. Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya meminta pemerintah untuk mengambil sikap lebih tegas terhadap pesawat Singapura yang masuk di wilayah udara Indonesia di ruang udara Provinsi Kepulauan Riau.

"Memang sudah saatnya pemerintah harus tegas kepada Singapura yang telah melewati batas dan memasuki wilayah Indonesia, karena tanpa ketegasan, wibawa Indonesia di mata negara tetangga menjadi rendah, " ujar Tantowi, Kamis (10/9) seperti dikutip dpr.go.id.

Tantowi menuturkan, apabila pemerintah tidak tegas terhadap negara sahabat tentu kedaulatan bangsa akan terancam. "Jika pemerintah tidak tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara sahabat, kedaulatan bangsa bisa terancam," tandas politisi partai Golkar ini.

Dia menilai pemerintah perlu segera membicarakan terkait batas ruang udara dengan Singapura. "Memang hal ini (batas udara) harus duduk bersama antara kita (pemerintah) dan singapura," ujar Tantowi.

Menurut Tantowi, terkait permasalahan Flight information region (FIR) harus secepatnya diselesaikan. Dia menilai wibawa Indonesia akan semakin jatuh apabila pesawat tempur Singapura terus dibiarkan terbang di wilayah udara Indonesia.

"Wibawa kita akan semakin melorot di mata negara sahabat, kedaulatan kita juga akan terancam, maka kita perlu tegas. Selama ini seolah kita nggak tahu, padahal persoalan ini cepat atau lambat akan muncul, gak cuma soal bisnis tapi juga soal kedaulatan," terangnya.

"Kalau selama ini kita disebut nggak punya SDM yang memadai, saya kira ini pelecehan," sambungnya.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan akan mengambil langkah dengan mengusir pesawat tempur Singapura apabila kembali kedapatan terbang di ruang udara Indonesia. "Kita ingatkan dan kita usir," tegas Gatot.

KESEPAKATAN DCA SUDAH TAK BERLAKU - Terkait pelanggaran wilayah udara ini, sebelumnya antara Indonesia dan Singapura memang sempat ada kerjasama soal pemanfataan ruang udara ini. Namun perjanjian mengenai peminjaman bagian wilayah RI karena Singapura tak memiliki ruang udara untuk latihan adalah military training areas (MTA) itu habis pada tahun 2001.

Setelah itu, ada upaya kerjasama lain dengan penyusunan draft Defence Cooperation Agreement (DCA) pada tahun 2007, namun kemudian batal disepakati karena Singapura terlalu menuntut banyak. Karena itulah Indonesia tak menggubris komplain Singapura atas nota protes itu.

KSAU Marsekal Agus Supriatna, menegaskan perjanjian yang sebelumnya mengizinkan Singapura untuk berlatih pesawat tempur kini sudah tidak berlaku lagi "Dia (Singapura) masuk wilayah kita dan kita usir. Dia komplain, kita jelaskan kalau dia yang salah karena perjanjiannya (sudah) tidak ada," jelas Agus

KSAU yang sempat bertugas sebagai atase di Singapura pun menyebut telah mengantisipasi agar Singapura Airforce tidak lagi nyelonong masuk ke wilayah kedaulatan NKRI. Agus juga telah menyiapkan kekuatan udara di wilayah Kepri dan kini Singapura sudah tidak lagi berani masuk wilayah udara RI.

"Sekarang kita simpan pesawat kita di sana. Kita pantau terus. Nggak ada (pelanggaran) lagi di sana," kata KSAU.

Pendapat senada juga disampaikan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Panglima menegaskan, dalam menggunakan ruang udara Indonesia di daerah Kepri di utara Pulau Bintan, untuk latihan pesawat tempur mereka, Singapura masih merujuk pada perjanjian antar negara.

Namun Gatot menegaskan, Perjanjian DCA sudah habis, yang baru batal disepakati sehingga jika Singapura ingin latihan di wilayah Indonesia, maka mereka harus mengajukan izin. "Negara Singapura ingin melakukan latihan tempur harus izin. Karena kita dulu punya MTA dan (sudah) berakhir," ujar Gatot

Untuk draft DCA sendiri awalnya disebut Gatot disepakati dengan pembagian 3 wilayah area latihan Singapura di RI. Namun meski sudah ditandatangani oleh Menhan yang kala itu dijabat oleh Juwono Sudarsano, akhirnya batal karena tidak mendapat persetujuan dari Komisi I DPR.

"Ada DCA itu (area) alpha 1, alpha 2, dan bravo. Karena ada pasal 10 mengatakan bahwa setiap perjanjian internasional harus diratifikasi DPR dalam hal ini Komisi I dan Komisi I belum meratifikasi, jadi DCA alpha 1, alpha 2 maupun bravo masih wilayah NKRI," jelasnya

Meski perjanjian batal, Singapura masih kerap menggelar latihan di wilayah Kepri yang ada di dalam draft perjanjian.

Bahkan Singapura pernah protes saat pesawat tempur Indonesia melintas di ruang udara tersebut saat sedang melakukan pengamanan. Padahal pesawat tempur TNI AU itu terbang di wilayah negaranya sendiri.

"Singapura tidak bisa melarang kita lewat sana, itu wilayah udara kita dan kita usir," tegas Panglima TNI.

DIKUASAI SEJAK 1946 - Penguasaan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau memang telah lama terjadi. Pengelolaan navigasi udara, khususnya di wilayah barat, ternyata tidak 100% dikuasai Indonesia.

Pengelolaan wilayah udara sektor ABC atau di area Kepulauan Riau, yakni Natuna, masih dikendalikan oleh otoritas Singapura. Pasalnya sistem Flight Information Region (FIR) masih dipegang oleh menara Air Traffic Control Singapura sehingga pesawat Indonesia yang terbang di area tersebut harus izin kepada Singapura meskipun terbang di atas wilayah Indonesia.

Ternyata pengawasan dan pengaturan FIR untuk wilayah Natuna atau sektor ABC telah dipegang oleh Singapura sejak 1946 atau setahun setelah Indonesia merdeka.

Saat itu, International Civil Aviation Organization (ICAO) menggelar pertemuan untuk membahas pembagian dan pengelolaan FIR. Namun perwakilan Indonesia tidak hadir. Alhasil, FIR untuk area Natuna diberikan kepada Singapura.

Menurut mantan KSAU yang menjadi pengamat penerbangan Marsekal (Purnawirawan) Chappy Hakim, sejarah "dikuasainya" ruang udara di atas Natuna oleh Singapura terjadi karena ketika itu ada peningkatan traffic lalu lintas udara di Malaka.

Karena itulah kemudian ICAO menunjuk pihak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan traffic di wilayah itu, seperti diantaranya memberikan pelayanan navigasi. Nah kemudian diadakanlah pertemuan antara negara-negara terkait di tahun 1946.

Sayangnya, Indonesia saat itu tidak bisa hadir karena baru saja merdeka. Karena itulah, kemudian pengelolaan wilayah di atas Malaka diserahkan kepada Singapura. "Sebetulnya bukan Singapura karena itu diserahkan ke koloni Inggris," urai Chappy, beberpa waktu silam.

Berjalan waktu, FIR yang dikontrol Singapura menjadi wilayah strategis. Kemudian, Indonesia pada 1991 mengajukan pengambilalihan FIR dari Singapura. "Namun Singapura enggan melepas. Malah memperkuat," ujarnya.

Chappy memandang FIR yang masih dikelola otoritas Singapura harus diambil karena merujuk pada konteks kedaulatan udara. Wilayah udara RI harus 100% dikontrol oleh otoritas Indonesia "Itu kedaulatan udara. Itu ekslusif," tegasnya.

Wilayah FIR tersebut, kata Chappy, sangat riskan kalau tidak dikuasai oleh Indonesia. Sebab wilayah yang dikelola merupakan area perbatasan strategis. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, area perbatasan sangat rentan sebagai pemicu konflik.

"FIR Singapura merupakan critical boarder. Di sana angkatan perang harus familiar. Makanya Korea latihan perang di perbatasan. Kalau Indonesia mau hidupkan mesin jet tempur di Batam harus izin Singapura. Ini memalukan," jelasnya.

Sesuai undang-undang, FIR memang harus diambil alih oleh Indonesia paling lambat 2024. Untuk mengambil FIR, harus dilakukan negosiasi antar pemerintah, bukan diwakili oleh satu kementerian atau badan usaha.

Setelah diambil alih oleh pemerintah, barulah pengelolaan FIr diserahkan kepada Perum Navigasi yang merupakan operator tunggal navigasi udara di Indonesia. Perum Navigasi sendiri telah siap mengelola FIR di wilayah itu.

INDONESIA SUDAH EKSIS DI NATUNA - Pengelolaan sektor udara di atas area Kepulauan Riau masih dikendalikan Singapura. Namun ternyata Indonesia sudah bereaksi dengan tepat sebagai langkah untuk bisa merebut kembali kedaulatan ruang udaranya.

Salah satunya adalah dengan menggabungkan radar di sebagian wilayah Natuna ke dalam sistem Jakarta Air Traffic Service Center (JATSC) bersama radar di Pontianak dan Tanjung Pinang.

Kepala Komunikasi Publik Kemenhub JA Barata menjelaskan, radar wilayah Natuna yang bergabung ke JATSC memang bukan wilayah yang sebagiannya masih dikuasai Singapura.

"Yang itu (wilayah Natuna yang sistem radarnya dikuasai Singapura-red) belum karena masih harus melalui ICAO (International Civil Aviation Organization). Tapi ini untuk pertama kali setelah selama ini radar di ketiga wilayah itu berhasil diintegrasikan," jelas Barata beberapa waktu lalu.

Radar wilayah Natuna, Pontianak dan Tanjung Pinang yang berhasil diintegrasikan adalah radar berjenis Monopulse Secondary Surveilance Radar (MSSR) Mode-S. Yang melakukan pengintegrasian radar adalah tim Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Direktorat Navigasi Penerbangan bersama Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia.

Barata menjelaskan upaya pengintegrasian radar MSSR Mode-S bisa juga dilihat sebagai langkah persiapan sebelum radar wilayah Natuna benar-benar diserahkan ke Indonesia dari Singapura nantinya. Upaya mengintegrasikan ketiga radar tersebut dipacu oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk semakin meningkatkan kemampuan pengawasan (surveillance) dalam pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia.

"Pengintegrasian ketiga radar itu dilakukan sebagai pengganti radar lama yang sudah melampaui usia teknis. Dengan radar baru ini, semua pesawat terbang yang melintas di wilayah barat bisa terpantau oleh JATSC yang menjadi pusat kontrol lalu lintas penerbangan di wilayah barat Indonesia. Jadi ATC bisa lebih jelas melihat di wilayah itu," imbuh Barata.

JATSC saat ini terintegrasi 14 radar, 9 Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS), Makassar Air Traffic Service Senter (MATSC) terintegrasi 17 radar dan 21 ADSB dan 3 ADSB Australia (sharing data).

Saat ini Indonesia memiliki dua wilayah kontrol udara (Flight Information Region/FIR) yang terbagi di wilayah barat dan timur. Pertama, Flight Information Region (FIR) Jakarta, yang didukung fasilitas radar meliputi wilayah Banda Aceh, Medan Kualanamu, Medan Padang Bulan, Pekanbaru, Palembang, Tanjung Pinang, Pontianak, Jakarta I, Jakarta II, Natuna, Yogyakarta dan Semarang. Jumlah radar yang dimiliki di wilayah barat sebanyak 16 unit.

Sedangkan yang kedua yaitu Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang sebagai pusat kontrol radar di wilayah timur yang didukung fasilitas radar meliputi wilayah Makassar, Kendari, Palu, Manado, Banjarmasin, Balikpapan, Surabaya, Bali, Ambon, Sentani, Sorong, Biak, Merauke, Waingapu, Yogyakarta, Semarang dan Kupang. Jumlah radar yang dimiliki di wilayah timur sebanyak 23 unit. (dtc)

BACA JUGA: