JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemidanaan masyarakat adat akibat eksistensi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) dianggap telah melanggar konstitusi. Munculnya kasus pemidanaan justru membuat UU ini berpihak pada pemodal atau pelaku usaha perkebunan.

Anggota Sekretariat Public Interest Lawyer Network (PIL Net) Andi Muttaqien mengatakan pasal kriminalisasi yang ada dalam UU Perkebunan pada 2004 sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 55/PPU-VIII/2010. Tapi saat UU ini direvisi dan disahkan pada 2014, pasal-pasal pemidanaan tersebut malah dimasukkan lagi dalam UU ini.

"Ini bukti DPR dan pemerintah tidak paham dan tidak patuhi apa yang diputuskan MK. Bukannya justru memperbaiki soal kesejahteraan masyarakat. Tapi malah dimasukkan lagi dalam UU Perkebunan," ujar Andi dalam diskusi di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (30/8).

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan menuturkan paradigma UU Perkebunan yang disahkan Tahun 2014 maupun 2004 sebenarnya belum berubah. Keduanya sama-sama masih melihat masyarakat sebagai gangguan dan ancaman investasi atau ‘hama’. Padahal saat perumusan ini sudah diketahui begitu banyak konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Tapi UU ini bukannya membuat aturan soal penyelesaian konfliknya tapi malah memberangus penyelesaian konflik lahan yang terjadi.

"Konflik-konflik perkebunan naik terus tapi penyelesaian konflik tidak ada. Untuk 2013 saja terdapat 180 konflik yang dari jumlah tersebut belum tentu konfliknya bisa diselesaikan. Ini pun hanya data pemantauan dari masyarakat sipil. Kalau diperbaiki statistiknya mungkin jumlahnya tidak karuan," ujat Abetnego pada kesempatan yang sama.

Contoh konkrit dengan pemidanaan masyarakat sipil akibat UU Perkebunan secara nyata terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum Medan Pos Aceh Timur. Konflik ini terjadi sejak 1980-an hingga kini. Disebutkan PT Parasawita memperoleh penguasaan objek tanah yang ternyata merupakan tanah sengketa pada awal 1980-an. Tanah tersebut ternyata sejak 1943 telah dikuasai dan dimanfaatkan masyarakat Gampong Paya Rahat, Tanjung Lipat I, Tanjung Lipat II dan Teuku Tinggi.

Meski telah dimanfaatkan masyarakat, nyatanya perusahaan tersebut mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) pada 20 Desember 1973 dan diperpanjang lagi pada 24 Desember 1990. Sejak 1983, perusahaan ini telah melakukan penggarapan tanah milik masyarakat dan melakukan penanaman sawit pada 1986. Akibat hal ini, masyarakat Gampong Paya Rahat pun mengadukan masalah ini pada Bupati Aceh Timur. Sejak 1983 hingga 1986 ternyata Pemerintah daerah Aceh Timur telah menerbitkan surat teguran pada perusahaan tersebut untuk menghentikan penanaman kelapa sawit.

Selanjutnya, bukannya menghentikan operasi perkebunan, perusahaan tersebut malah mengambil tanah dengan paksa karena melibatkan militer dari Koramil. Pada 1986 permasalahan ini memuncak yang mengakibatkan penculikan beberapa warga yang berusaha mempertahankan lahan. Warga yang diculik kemudian dipenjara tanpa proses hukum. Jumlah yang diculik yaitu sembilan warga dan yang ditahan sebanyak 8 warga di penjara Gaperta Kodam Bukit Barisan, Medan.

AJUKAN UJI MATERI - Andi menjelaskan karena pasal tersebut dimasukkan lagi, tiga orang masyarakat sipil mengajukan uji materi ke MK terkait poin pasal yang dihidupkan kembali para pembuat UU. Mereka yang mengajukan uji materi tersebut diantaranya M. Nur bin Abdul Razak, Aj. Dahlan, dan Theresia Yes. M. Nur merupakan salah seorang masyarakat Aceh yang dikriminalisasi di Aceh terkait konflik dengan perusahaan. Sementara dua orang lainnya berpotensi untuk dipidanakan seperti M. Nur.

Pasal-pasal yang digugat diantaranya Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 55 huruf a, huruf c dan huruf d, dan Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d. Pasal-pasal ini secara menurutnya menimbulkan ketidaksetaraan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat. Misalnya pada Pasal 12 ayat (1) disebutkan dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha perkebunan harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

Kata imbalan dalam pasal yang disebutkan di atas dianggap sebagai bentuk ketidaksetaraan antara masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha. Para pemohon ini pun dalam uji materinya akan meminta MK untuk menafsirkan adanya kesetaraan antara dua pihak ini dalam pasal tersebut. Masyarakat adat harus diberikan pilihan ketika tidak setuju ketika ada pelaku usaha perkebunan yang ingin menggunakan lahannya. Lalu pasal 55 UU Perkebunan juga telah memakan korban. Misalnya di Aceh Tamiang sudah ada 6 orang yang menjadi korban pasal ini.

PROSES PEMBUATAN - Wakil Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman menuturkan dalam proses pembuatan UU ini memang dibuat secara cepat ketika masa akhir tugas DPR pada 2014. Pembahasannya pun tidak lebih dari tiga bulan. Tujuan pembentukan UU ini yang semula dimaksudkan untuk kesejahteraan petani malah justru menguntungkan kelompok perusahaan besar.

"Pembahasannya cenderung tertutup dan konsultasinya hanya melibatkan gabungan perusahaan kelapa sawit dan segelintir masyarakat sipil yang tidak secara langsung terkena dampak dari UU ini," ujar Wahyu pada kesempatan yang sama.

Pasal-pasal dalam UU ini justru malah memberikan kemudahan akses dan fasilitasi pengusaha perkebunan skala besar untuk mengambil alih lahan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. UU ini juga sama sekali tidak mengatur soal perlunya pembinaan pada masyarakat untuk mengelola lahannya.

Lalu UU ini juga sama sekali tidak mengatur mekanisme musyawarah dan tercapainya kesepakatan antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan soal penyerahan lahan. UU ini malah lebih condong mengatur berapapun indikasi berapapun yang diberikan perusahaan, masyarakat harus bisa menerima untuk alih fungsi tanah dengan perusahaan. Hal ini kerap terjadi pada periode pemerintahan Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu pada proses pembahasan dan pembuatan UU ini, hanya satu fraksi yang menolak poin pemidanaan dalam RUU ini yaitu PDIP.

Pada masa pemerintahan Jokowi yang diusung dari PDIP, Wahyu ingin melihat sejauh mana partai ini konsisten memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebab dengan diundangkannya UU ini pada 2014, tentu potensi pemidanaan masyarakat yang menolak pengambilalihan lahan oleh perusahaan sangat besar terjadi.

Dalam pandangan mini fraksi PDIP yang dibacakan Arif Wibowo semakin menjelaskan sikap PDIP. Dalam pandangan tersebut dijelaskan bahwa penjajahan terhadap bangsa ditandai dengan penguasaan sumber daya lahan di tangan korporasi modal dan penyingkiran akses rakyat terhadap lahan. Padahal sila kelima Pancasila maupun UUD 1945 secara umum menjamin kesejahteraan umum bagi warga negaranya.

Menurut Arif saat itu, telah ada Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang menjadi prinsip dasar pemenuhan konsumsi nasional dengan memberikan petani lahan yang cukup untuk berproduksi bagi kebutuhan konsumsi pangan nasional. Namun faktanya terjadi alih fungsi lahan hutan yang mengakibatkan munculnya konflik agraria di sektor perkebunan.

Berdasarkan data dari Konsorisum Pembaruan Agraria, sejak 2004 hingga 2013 pada periode Susilo Bambang Yudhoyono telah terjadi konflik agraria mencapai 1.011.090 kepala keluarga. Lalu sepanjang 2012 hingga 2013 tercatat kenaikan luas wilayah konflik sebesar 33,03 persen. Lalu luas wilayah konflik pada tahun tersebut mencapai 1.281.660.09 Ha dengan 527.939,27 Ha merupakan konflik perkebunan.

Masih dari sumber yang sama, kepemilikan lahan yang dikuasai masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,02 persen. Atas fakta tersebut, maka RUU Perkebunan ini harus diubah dan disinkronisasi dengan sejumalh UU diantaranya UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, UU Pengelolaan Lingkungan HIdup, UU Penataan Ruang, dan sejumlah UU lainnya.

Menurut Arif dalam pandangan fraksinya, RUU Perkebunan malah malah mencerminkan sikap yang sangat terbuka pada pemodal asing sehingga mengabaikan Pasal 33 UUD 1945 soal peruntukkan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Misalnya dalam bab XI yang mengatur soal penanaman modal. Keseluruhan bab tersebut mulai Pasal 70 hungga Pasal 74 mengatur modal asing saja.

RUU perkebunan menurut PDIP dalam pembahasannya juga dianggap belum mengakomodasi sejumlah prinsip dasar yang melindungi petani kecil. Tapi malah memberi jalan bagi perkebunan skala besar yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Singkatnya, saat itu PDIP menolak RUU Perkebunan dibahas lebih lanjut.

Menyambung hal ini, Abetnego mengatakan kini pemerintahan dipegang oleh rezim PDIP dan koalisinya. Sebenarnya substansi ini menjadi momen penting bagi PDIP sebagai rezim yang berkuasa untuk menunjukkan konsistensinya.

PUTUSAN MK - MK sebenarnya sudah pernah memberikan putusan atas substansi persoalan ini pada putusan MK Nomor 55/PUU-VIII/2010 atas Pasal 21 dan Pasal 47 UU Nomor 18 Tahun 2004 yang saat itu masih diketuai Mahfud MD. Uji materi ini diajukan para petani oleh Japin seorang petani di Dusun Silat Hulu, Kalimantan Barat, Vitalis Andi, Sakri dari Blitar Jawa Timur dan Ngatimin dari Serdang Begadai, Sumatera Utara yang diajukan pada 5 Agustus 2010.

Pasal 21 UU Perkebunan mengatur setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan tindakan yang mengakibatkan kerusakan kebun misalnya penebangan pohon, panen paksa atau pembakaran yang membuat kebun tidak berfungsi. Lalu penggunaan tanah perkebunan tanpa izin merupakan tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik sesuai aturan UU.

Selanjutnya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan mengatur tiap orang yang melanggar larangan melakukan dengan sengaja tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan diancam pidana lima tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Lalu poin selanjutnya, tiap orang yang karena lalai melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun atau aset lainnya diancam pidana paling lama dua tahun enam bulan dan denda paling banyak Rp2,5 miliar.

Dalam pertimbangan hakim konstitusi disebutkan unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau asset lainnya merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. Sebab tidak jelas soal siapa yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun. MK mempertanyakan bagaimana ketika kebun justru dirusak oleh pemilik kebun sendiri karena lalai.

Lalu soal tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik merupakan kasus yang sudah terjadi sejak zaman Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda telah banyak memberikan konsesi tanah pada pemilik moda dalam bentuk erfpacht tanpa batas yang jelas dan seringkali melanggar hak tanah yang dikuasai ulayat atau rakyat berdasarkan hukum adat. Sehingga hal ini menimbulkan konflik antara rakyat dengan pemodal. Lalu pemodal yang kuat selalu dimungkinkan untuk mengusir rakyat dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi.

Selanjutnya, majelis hakim MK berpandangan sudah seharusnya terdapat perlindungan hak masyarakat hukum adat sebagai hak tradisional yang masih hidup dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Lalu adanya ancaman pidana dengan denda dalam Pasal 21 dianggap berlebihan. Sebab konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang harus diselesaikan secara perdata dengan mengutamakan musyawarah. Atas pertimbangan ini, MK pun mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan pasal-pasal yang digugat bertentangan dengan konstitusi.

BACA JUGA: