JAKARTA, GRESNEWS.COM – Munculnya pasal larangan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP memicu pro-kontra. Usulan pasal itu dinilai sia-sia sebab Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutuskan norma tersebut sebelumnya. Terlebih lagi, sejumlah pihak menilai, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan harus siap menerima risiko untuk dikritik oleh rakyatnya.

Perlindungan presiden juga tidak harus dengan mempidanakan rakyatnya, tapi bisa dengan menggunakan instrumen kekuasaan yang dimilikinya untuk menjelaskan kebijakan yang sedang ditentang rakyat. Sehingga menjadi pertanyaan, nalar pikir apakah yang digunakan pemerintah untuk mengusulkan kembali norma yang telah ditolak MK tersebut?

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi menjelaskan MK memang sudah pernah membatalkan pasal itu. Namun, menurutnya, RUU tersebut sudah diajukan sejak lama ke DPR, saat periode mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sehingga tidak hanya diajukan pada masa Presiden Joko Widodo saja.

"Pertimbangannya orang biasa saja dihina kan ada pasal penghinaan. Lah ini presiden sebagai kepala negara yang menyandang simbol-simbol negara dihina masa tidak dilindungi?" ujar Wicipto usai sidang uji materi Undang-Undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin (4/8).

Ia menambahkan, kalau soal mengkritik dipersilakan. Tapi yang menjadi catatan jangan sampai menghina yang disiarkan ke publik. Terkait putusan MK yang menolak poin yang sama dalam RUU KUHP soal penghinaan presiden, menurutnya, saat ini memang kalau ada penghinaan terhadap presiden tetap diproses tapi presiden harus mengadu langsung pada kepolisian. "Masak mesti presiden mengadu dulu. Jadi putusan MK sudah kita bahas dan diskusikan," lanjutnya.

Wicipto mencontohkan saat berdemonstrasi, misalnya, foto presiden diinjak-injak dan kepala presiden diganti dengan kepala kerbau. Menurutnya, tindakan tersebut menghina kepala negara dan bukan menghina personalnya. Sehingga harus dilepaskan antara kapasitas sebagai pribadi dengan presiden.

Ia menjelaskan prinsip kesetaraan di muka hukum (equality before the law) sifatnya tidak untuk semuanya. Sebab untuk presiden harus ada perlakuan khusus untuk menghormati presiden. Penghormatan tersebut harus dilakukan bukan karena personalnya melainkan karena status presiden sebagai simbol negara.

ALASAN PENOLAKAN - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi PKS Nasir Jamil mengatakan pasal larangan penghinaan terhadap presiden itu masih sebatas wacana dalam perubahan RUU KUHP. Menurutnya, pasal tersebut memang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah apakah layak atau tidak untuk dihidupkan kembali. Sebab pasal tersebut secara hukum sudah dibatalkan oleh MK. Sehingga tak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Pasal tersebut, dinilai Nasir, juga cenderung menjadi pasal ‘karet’. Maksudnya, pasal itu bisa disalahgunakan. Kalau nanti kritik bisa disalahgunakan dianggap menghina. Pasal ‘karet’ itu cenderung siapa yang menafsirkan. "Mungkin itu yang menjadi salah satu alasan kenapa MK membatalkan norma tersebut,  bisa digunakan pada orang yang anti terhadap kritik," ujarnya saat dihubungi gresnews.com, Rabu (5/8).

Ia menambahkan, pasal tersebut seolah ingin membungkam yang akan mengkritik pemerintah atau presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Lalu pasal ini juga kurang sejalan dengan semangat demokratisasi. Menurutnya, presiden harus siap menerima risiko yaitu dikritik. Barangkali pula kritiknya cenderung untuk menghina presiden. Sehingga presiden harus siap menerima hal ini.

Nasir mengaku khawatir upaya untuk menghidupkan kembali pasal ini dilakukan oleh orang yang ingin ‘mencari muka’ terhadap Presiden Jokowi. Sehingga ketika pasal ini sukses diundangkan, orang-orang ini bisa mendapat tempat ‘di sisi’ presiden atau mendapatkan imbalan.  Karena itu presiden perlu mempertimbangkan kembali. Pasal larangan penghinaan presiden ini juga bisa dinilai rakyat sebagai bentuk ketidaksiapan presiden Jokowi menjadi presiden.

Senada dengan Nasir, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan sebenarnya sudah ada lima pasal RUU KUHP yang dibatalkan MK yaitu Pasal 134, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 154, dan Pasal 155 KUHP. Tapi oleh tim perumus KUHP, sejak 2006, norma tersebut dimasukkan ulang. Hingga kini pasal-pasal tersebut tidak diubah. Menurutnya, pemerintah harus ‘menarik’ pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi.

"Buat apa dibahas kalau sudah ada putusan MK yang mengikat bahwa tidak boleh lagi ada ketentuan seperti itu," ujar Anggara pada gresnews.com, Rabu (5/8).

Ia menambahkan presiden sebagai warga negara tetap dilindungi. Sehingga sebagai pribadi, presiden bisa melaporkan adanya penghinaan. Persoalannya posisi presiden unik karena sebagai pribadi sekaligus pejabat negara. Sebagai pejabat negara harusnya jauh lebih toleran terhadap kritik.

Lalu kalau niat dari RUU KUHP untuk melindungi presiden dari penghinaan maka sebenarnya ada banyak cara selain hukum pidana. Misalnya pemerintah bisa menggunakan sumber dayanya yang tidak terbatas untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan presiden yang mungkin menimbulkan kritik dari masyarakat. Hal tersebut tidak perlu menggunakan hukum pidana.

Selanjutnya, terkait perbedaaan substansi kritik dan penghinaan, menurutnya kritik sekeras apapun pada pejabat pemerintah atau negara, mereka harus toleran. Karena mereka adalah pejabat negara yang tugasnya mendengarkan ‘suara’ rakyat.

Rakyat yang sedang marah kadang bisa menjadi tak rasional dalam melontarkan pendapatnya. Pemerintah dinilai harus tetap mendengarkan ‘suara’ tersebut. Berdasarkan hukum HAM internasional, pejabat negara tidak boleh dilindungi hukum pidana terhadap pernyataan-pernyataan keras pada negara.

TIMBUL POLEMIK - Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir menjelaskan dalam konteks negara lain biasanya terdapat dua jabatan negara yaitu sebagai presiden dan sebagai kepala negara. Dalam hal ini perlindungan tindak pidana penghinaan lebih ditujukan kepada kepala negara sebagai simbol negara dan bukan presiden. Misalnya, di Belanda, tindak pidana penghinaan terhadap ratu diancam hukum berat karena ratu sebagai simbol negara Belanda.  

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, terdapat dua sisi polemik terhadap tindak pidana penghinaan presiden. Lantaran jabatan presiden tidak dapat dipisahkan dengan jabatan kepala negara karena dijabat oleh satu orang yang sama. Di satu sisi, secara politik, menghina presiden harus dibedakan dengan menghina kepala negara. Sebab presiden merupakan jabatan politik yang berpotensi disalahgunakan untuk menghabisi lawan-lawan politik dari partai yang berkuasa.

"Penentangan terhadap tindak pidana penghinaan presiden dalam konteks ini bisa dimaklumi untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Maksudnya hukum sebagai alat politik atau kekuasaan," ujar Mudzakkir pada gresnews.com, Rabu (5/8).

Di sisi lain, terdapat putusan MK yang membatalkan larangan penghinaan terhadap presiden. Ia pun mengajukan pertanyaan hukum, Pasal 134 KUHP ditujukan pada presiden atau kepala negara? Mudzakkir mengakui sulit untuk menjawab secara filosofi dan politik hukum pidananya. Sebab dua jabatan tersebut tidak bisa dipisahkan dalam konteks Indonesia.

Mudzakkir malah mempersoalkan posisi presiden sebagai kepala negara dibandingkan dengan simbol negara lainnya seperti bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan diatur mengenai tindak pidana atas simbol negara tersebut.

Kalau mau dibandingkan antara simbol negara berupa bendera dan lainnya dengan presiden sebagai kepala negara di Indonesia, maka bisa dikatakan Indonesia lebih menghormati simbol benda fisik daripada manusia sebagai pemimpin negara yang dipilih rakyat Indonesia. Ketika dibandingkan dengan hal ini, menurutnya, kehormatan presiden yang juga sebagai kepala negara harus dilindungi. Ia tidak menafikan kritik terhadap presiden dan kepala negara merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia, tapi kritik, menurutnya, berbeda dengan penghinaan terhadap presiden.

PERTIMBANGAN MK - Putusan MK atas pembatalan norma larangan penghinaan terhadap presiden berawal dari uji materi yang dimohonkan oleh Eggi Sudjana dalam perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Pandapotan Lubis dalam perkara Nomor 022/PUU-IV/2006.

Eggi menggugat Pasal 134 dan 136 KUHP. Pasal itu berbunyi penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah. Lalu Pasal 136 disebutkan dalam pengertian penghinaan dalam Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya.

Pandapotan juga menggugat Pasal 134 dan Pasal 135 KUHP serta Pasal 137 KUHP. Bunyi Pasal 137 ayat (1) KUHP, barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina presiden atau wakil presiden dengan niat supaya isinya yang menghina diketahui orang banyak dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.

Lalu Pasal 137 ayat (2) KUHP disebutkan jika tersalah melakukan kejahatan dalam jabatannya, dan pada waktu melakukan kejahatan belum lagi  dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya.

Atas gugatan ini, kedua pemohon meminta agar MK menyatakan pasal-pasal yang digugat bertentangan dengan konstitusi. MK pun akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Dalam pertimbangan MK disebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga bertanggung jawab pada rakyat.

Martabat presiden dan wakil presiden dinilai MK berhak dihormati secara protokoler. Tapi kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia yang secara substantive berbeda martabatnya di hadapan hukum dan warga negara lainnya.

MK menilai presiden dan wakil presiden tidak boleh mendapatkan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Kecuali secara prosedural dalam hal mendukung fungsi yang diberikan pada presiden dan wakilnya.

Pasal-pasal yang digugat juga dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan presiden dan wakilnya. Sehingga pasal ini juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi, ketika pasal pidana itu digunakan aparat hukum terhadap momentum unjuk rasa di lapangan.

Selanjutnya, majelis hakim MK berpandangan keberadaan pasal tersebut bisa menjadi ganjalan atau hambatan bagi kemungkinan mengklarifikasi apakah presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran seperti dimaksud Pasal 7A UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 berbunyi presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atau usul DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden. MK menilai upaya klarifikasi bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap presiden.

BACA JUGA: