JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta menyelesaikan satu persatu perkara korupsi dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi. Kali ini, majelis yang diketuai Supriyono telah memutus perkara dengan terdakwa Bupati Morotai nonaktif Rusli Sibua.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan bahwa Rusli secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sesuai surat dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dakwaan yang dimaksud adalah pemberian suap kepada hakim yang melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. "Menjatuhkan pidana selama 4 tahun dan denda Rp150 juta. Jika tidak bisa membayar, maka terdakwa harus menggantinya dengan hukuman pidana selama 2 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Supriyono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (26/11).

Setelah membacakan putusan, Supriyono memberikan kesempatan kepada Rusli untuk mengajukan tanggapanya. Apakah ia akan melakukan langkah hukum berupa upaya banding di Pengadilan Tinggi, Jakarta, pikir-pikir atau menerima putusan.

"Setelah kami berdiskusi, kami akan berfikir-fikir walaupun dalam putusan ini dinilai menurut terdakwa tidak sesuai keadilan," kata pengacara Rusli, Ahmad Rifai.

Hal senada dikatakan tim jaksa KPK yang diwakili Eva Yustiana. "Kami menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari untuk menyatakan sikap," ujar Jaksa Eva.

NIAT BANDING - Namun meskipun kedua belah menyatakan pikir-pikir, tetapi memang ada ketidakpuasan yang disampaikan Jaksa KPK atas putusan hakim maupun pihak Rusli. Saat berbincang dengan gresnews.com, Jaksa Eva mengaku bahwa meskipun putusan sudah 2/3 dari tuntutan Jaksa, tetapi masih ada yang tidak disetujui hakim, yaitu perihal pencabutan hak politik kepada Rusli.

"Kan ada juga yang tidak disetujui (pencabutan hak politik), makanya kami akan berdiskusi dulu," ujar Jaksa Eva.

Sama halnya dengan pihak Rusli. Rifai menyatakan bahwa putusan hakim ini tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Sebab menurutnya tidak ada keterlibatan kliennya dalam perkara ini sama sekali.

Rusli, menurut Rifai, tidak pernah tahu adanya penyuapan yang dilakukan terhadap Akil Mochtar yang menjadi Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi saat itu. "Yang mengirim uang itu kan si Sahrin, bukan Pak Rusli, Pak Rusli malah gak tahu apa-apa," pungkas Rifai.

Nama yang dimaksud adalah Sahrin Hamid. Ia merupakan penasehat hukum yang ditunjuk Rusli mendampinginya dalam sengketa pilkada di MK pada 2011 lalu.

Hakim Supriyono menolak permintaan jaksa agar Rusli dicabut hak politiknya yang tidak diperbolehkan memilih dan dipilih dalam kurun waktu 10 tahun. Sebab menurutnya, tujuan pemidanaan bukanlah menghukum terdakwa atas perbuatan yang dilakukan, melainkan untuk pembelajaran.

"Menurut majelis, karena tujuan pemidanaan bukan untuk balas dendam tetapi semata-mata untuk memberi pelajaran kepada terdakwa," terang Supriyono.

Menurut Supriyono, hak untuk dipilih merupakan hak yang melekat dan tidak bisa dicabut. Kecuali yang bersangkutan melakukan tindakan makar dan melakukan kejahatan yang mengancam negara, dan dengan demikian hukuman yang dijatuhkan dirasa adil.

TERSISA EMPAT TERDAKWA - Rusli, merupakan satu dari sederet nama kepala daerah yang terjerat kasus ini. Selain dirinya, ada juga nama mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardhana, Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya Masyito.

Kemudian ada nama dua perantara suap yaitu Susi Tur Handayani dan orang yang disebut sebagai makelar kasus yaitu Muhtar Efendy. Dan tentu saja, ada nama mantan Ketua MK Akil Mochtar.

Kesemuanya telah divonis dengan hukuman yang berbeda. Ratu Atut misalnya, divonis 7 tahun penjara dan adiknya Tubagus Chaeri Wardhana yang biasa disapa Wawan, diputus bersalah dan dihukum pidana 5 tahun.

Kemudian, Romi Herton dan istrinya Masyito masing-masing divonis 6 tahun dan 4 tahun penjara. Sedangkan Susi Tur, di pengadilan tingkat pertama divonis 5 tahun dan diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 7 tahun. Sedangkan Muhtar Efendy divonis 5 tahun.

Saat ini, kasus sengketa pilkada di MK menyisakan empat terdakwa lagi, yaitu mantan calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah dan Kasmin. Kemudian, Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya Suzana.

Sebenarnya, ada satu nama lagi yang disebut yaitu Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Akil disebut sempat meminta dana untuk pengamanan Pilkada Jawa Timur sebesar Rp10 miliar.

Permintaan itu disampaikan melalui Ketua DPD Golkar, Jawa Timur, Zainudin Amali. Namun hingga kini, Soekarwo masih melenggang bebas dan tidak tampak ada niat KPK untuk menjerat dirinya.

BACA JUGA: