JAKARTA, GRESNEWS.COM - Awalnya, baik penggugat maupun tergugat dalam kasus gugatan perdata Jakarta Intercultural School (JIS) berdebar-debar menanti putusan majelis hakim yang diketuai Hakim Haswandi yang dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Baru membuka sidang Haswandi tiba-tiba meminta maaf kepada para pihak tidak bisa membacakan putusan hari ini, Kamis (30/7).

"Kami sudah berusaha maksimal, tapi kami belum bisa ambil keputusan. Kita tunda pada hari Senin tanggal 10 Agustus," kata Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Semua pihak pun menarik nafas lega, meski harus kembali menunggu waktu untuk mendengar apa putusan majelis hakim PN Jaksel atas gugatan yang dilayangkan orang tua siswa JIS senilai Rp1,6 triliun terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan dua guru JIS dan beberapa pekerja kebersihan JIS terhadap beberapa siswa.

Pihak penggugat dengan segala dalilnya tentu berharap majelis hakim menerima gugatan mereka. Sementara JIS selaku pihak tergugat tentu juga punya dalil yang membuat mereka berharap majelis hakim menolak.

Dalam persidangan hari ini, hadir dari penggugat Nadia Saphira Ganie. Sementara dari pihak tergugat hadir Harry Ponto, Judiwati dari JIS dan kuasa hukum PT Indonesia Servant Service (ISS) tempat para pekerja kebersihan JIS itu berasal.

Gugatan perdata JIS sedari awal memang sangat kontroversial. Gugatan ini didaftarkan di PN Jaksel bersamaan dengan akan disidangnya kasus pidana kekerasan seksual yang dilakukan para pekerja kebersihan JIS. Awalnya nilai gugatan yang dilayangkan hanya senilai US$12 juta. Namun gugatan tersebut bertambah drastis ketika Polda Metro Jaya menetapkan dua guru JIS sebagai tersangka. Nilai gugatannya melonjak menjadi US$125 juta.

Dalam gugatannya, ibu korban MAK menyewa pengacara dari kantor hukum OC Kaligis & Associates. Salah satu kuasa hukum penggugat Cinta Trisulo mengatakan, gugatan tersebut wajar sebagai ganti kerugian akibat dampak kekerasan tersebut, baik materil maupun immateril. Khususnya untuk memulihkan trauma si anak.

Tergugat bukan hanya JIS. Tetapi juga PT ISS, perusahaan yang mempekerjakan pekerja kebersihan JIS serta pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

ADA PUTUSAN LAIN DI SINGAPURA - Di tengah proses gugatan perdata yang diajukan para orang tua murid JIS berjalan dan akan segera putusan, ternyata ada putusan lain yang terkait dengan kasus ini yang dilayangkan di Singapura. Putusan itu ternyata memenangkan pihak JIS.

Kedua guru JIS yang sudah divonis bersalah sebagai pelaku kekerasan seksual ternyata melayangkan pengaduan pidana pencemaran nama baik kepada DR salah seorang ibu korban berinisial AL ke Pengadilan Singapura. Gugatan diajukan pada September 2014 silam, setelah Polda Metro Menetapkan keduanya tersangka dan ditahan.

Pada pada Juli 2015, Pengadilan Singapura memutuskan menerima gugatan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh Neil Bantleman (Neil) dan Ferdinant Tjiong (Ferdi). Dalam putusan dengan nomor perkara 779 tahun 2014 yang diputus pada 16 Juli 2015 itu, Pengadilan Singapura menyatakan bahwa semua tuduhan DR terkait tindak kekerasan seksual terhadap AL yang dilakukan oleh Neil dan Ferdi tidak terbukti.

Pengadilan Singapura juga mengharuskan DR membayar ganti rugi total sebesar Sin$230 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar. Dari jumlah itu, DR harus membayar kepada Neil dan Ferdi sebesar Sin$130 ribu. Kemudian ganti rugi kepada JIS sebesar Sin$100 ribu, karena DR dinilai telah merugikan nama baik sekolah tersebut.

Sisca Tjiong, istri Ferdi menyatakan telah membaca hasil putusan pengadilan Singapura tersebut melalui pemberitaan di harian The Straits Times Singapura tanggal 21 Juli lalu. "Saya bersyukur bahwa kebenaran itu akhirnya ada yang terungkap dengan hasil putusan Pengadilan Singapura. Doa-doa anak-anak saya yang semakin menderita sejak Ferdi ditahan lebih dari 12 bulan lalu mulai terjawab," ujar Sisca kepada media, Rabu (29/7) kemarin.

Pengadilan Singapura memberikan beberapa pertimbangan dalam memutuskan perkara itu. Pertama, berdasarkan bukti-bukti yang ada si anak (AL) tidak mengalami kekerasan seksual. Hal itu didukung oleh fakta persidangan berupa hasil pemeriksaan media dari RS KK Women´s and Children´s Hospital yang tidak menemukan luka atau bekas luka di daerah lubang pelepasan si anak.

Bukti lainnya, DR dan suaminya berulang-ulang menanyakan kepada si anak apakah ia mengalami kekerasan seksual, namun si anak tetap mengatakan tidak pernah. Hasil pemeriksaan medis RS KK Women´s and Children´s Hospital tersebut dilakukan oleh tim dokter yang meliputi ahli bedah, ahli anastesi dan ahli psikologi.

Agar hasilnya akurat, pemeriksaan dilakukan melalui proses anuskopi lengkap dimana anak harus dibius total (anastesi) dulu, sehingga bagian dalam anus dapat terlihat jelas. Pemeriksaan inilah yang tidak dilakukan di Indonesia. Karena si anak hanya diperiksa di Unit Gawat Darurat dan proses anuskopi tidak dilakukan.

Kedua, pengadilan menemukan bukti pesan tertulis yang dikirimkan DR (ibu dari AL) kepada seorang temannya yang mengomentari pemberitaan media massa mengenai kasus ini. Dalam pesan itu DR menyatakan bahwa berita-berita di media berlebihan dan ia tidak pernah mengatakan (di media) kalau anaknya mengalami kekerasan seksual lebih dari 20 kali.

Ketiga, terkait tuduhan kepada JIS, pengadilan tidak menemukan bukti atas tuduhan sekolah menutup-nutupi kasus yang terjadi. Sekolah dinilai justru terbukti berinisiatif melakukan investigasi mengenai kejadian ini secara sukarela.

Tracy Bantleman (isteri dari guru Neil Bantleman) mengaku menghormati putusan Pengadilan Singapura tersebut. "Saya percaya putusan tersebut adil dan kuat karena didasari oleh bukti-bukti yang sahih. Keputusan Pengadilan Singapura juga membuktikan bahwa sesuai bukti-bukti persidangan dan uji medis yang komprehensif, si anak tidak pernah mengalami kekerasan seksual. Semoga keputusan ini dapat menjadi jalan bagi Neil dan Ferdi meraih keadilan dan kebenaran atas tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan," katanya.

SEJUMLAH KEJANGGALAN KASUS JIS - Banyak fakta baru yang terungkap dalam persidangan gugatan perdata di PN Jaksel. Fakta tersebut berupa keterangan dokter dari Rumah Sakit Amanda Bekasi yang ternyata bodong.

"Keterangan dokter Tony dari RS Amanda dalam suratnya yang menyatakan MAK (korban) mengidakp HSV-2 akut, ternyata dibuat tanpa sepengetahuan pimpinan rumah sakit tersebut," kata Harry.

Terungkapnya surat bodong tersebut bermula ketika tim pengacara JIS melihat kejanggalan surat dari dokter Tony tanpa disertai tanggal, nomor surat keluar serta tidak dibubuhi cap resmi RS Amanda. Surat tersebut juga tidak mencantumkan Nomor Izin Praktik (NIP) dokter Tony.

Tim pengacara JIS menyinggung motif penggugat kepada majelis hakim yang harus jauh-jauh ke rumah sakit di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Padahal penggugat tinggal di Pondok Indah, Jakarta Selatan, untuk sekadar mendapatkan sebuah surat keterangan dari seorang dokter umum.

Pernyataan dokter Tony bahwa MAK mengidap herpes genitalis akut tersebut disimpulkan oleh yang bersangkutan setelah membaca hasil laboratorium dari SOS Medika Klinik, RS Bhayangkara dan RS Pondok Indah. "Dengan kejanggalan surat dokter Tony yang diajukan pihak penggugat sebagai bukti, kami melakukan korespondensi dengan pimpinan RS Amanda Bekasi," jelas Harry.

Surat balasan dari pimpinan RS Amanda ini telah dimasukkan sebagai bukti tambahan saat sidang tanggal 28 April 2015 lalu. Dalam surat balasannya, RS Amanda membantah bahwa surat dari dokter Tony tersebut merupakan surat resmi.

Mereka menjelaskan bahwa prosedur di RS Amanda, para dokter tidak dibenarkan membuat pernyataan atau kesimpulan dari hasil laboratorium selain dari RS Amanda. "Surat tersebut tidak ada dalam data surat masuk dan keluar RS Amanda. Jadi tidak ada dalam arsip kami," kata Harry Ponto, membacakan surat yang ditulis Dirut RS Amanda tersebut.

Dalam kesempatan lain di sidang kasus gugatan kepada JIS oleh orang tua MAK dengan tuntutan ganti rugi sebesar US$125 juta atau setara dengan Rp1,6 triliun, surat yang diduga bodong dari dokter Tony diperlihatkan kepada ahli dokter spesialis forensik Ferryal Basbeth. Tujuannya, agar dapat diberikan analisa atas hasil laboratorium yang dirujuk dalam surat tersebut. Saat membaca surat tersebut dokter Ferryal secara spontan justru mempertanyakan mengapa surat tersebut tidak mencantumkan tanggal dan NIK (Nomor Induk Kepegawaian) dokter Tony.

"Dokter ini terlalu berani, karena tidak mencantumkan nomor induk pegawai RS Amanda. Padahal kalau menilai hasil visum, maka harus sebagai dokter tetap di RS tersebut. Bila tidak maka melanggar kode etik," katanya, dalam persidangan tanggal 14 April 2015.

Padahal, ibu MAK yaitu TPW, mengajukan gugatan senilai US$125 juta mengunakan surat tersebut, yang menyatakan anaknya terkena herpes genitalis setelah menjadi korban sodomi beramai-ramai. Selain itu, tidak ada satupun bukti medis yang kuat membuktikan anaknya mengalami kerusakan pada lubang pelepas.

Meskipun saat diperiksa dokter Lutfi dari RS Pondok Indah ditemukan nanah di bagian dalam anus MAK, tetapi, menurut dokter Ferryal, terlihat jelas bahwa pemeriksaan visum terhadap MAK tersebut belum tuntas, sehingga hasil dari temuannya belum dapat disimpulkan secara mendalam.

Berdasarkan keterangan dokter Lutfi dalam persidangan, terkait nanah yang ada di anus bagian dalam atau rectum MAK, disampaikan bahwa penyebabkan bukan virus Herpes Genitalis (HSV-2) melainkan bakteri. Karena virus tidak menyebankan timbulnya nanah.

BISA PENGARUHI PUTUSAN HUKUM DI INDONESIA? - Putusan dari Pengadilan Singapura ini disambut baik kuasa hukum JIS Harry Ponto. Dia berharap putusan itu bisa dijadikan landasan untuk membatalkan vonis atas Neil dan Ferdi.

Pasalnya kasus ini ada karena adanya laporan dari DR (ibu dari AL) terkait adanya kekerasan seksual terhadap AL. Karena laporan itulah Neil dan Ferdi telah ditetapkan sebagai terdakwa. Di persidangan sendiri, Harry berkeyakinan tidak ada satupun alat bukti yang membuktikan adanya kekerasan seksual terhadap anak-anak itu.

Harry juga berkeyakinan putusan ini bisa dijadikan dasar bagi hakim di PN Jaksel menolak gugatan perdata atas JIS. Pasalnya, dia menilai ada kejanggalan dimana setelah Neil dan Ferdi ditahan dan menjadi pesakitan, JIS digugat senilai US$125 juta atau lebih dari Rp1,6 triliun oleh orangtua yang melaporkan kasus ini ke polisi.

Putusan Pengadilan Singapura itu, kata Harry, membuktikan jika kasus sodomi yang dilakukan pekerja kebersihan dan dua guru JIS tidak pernah terjadi. "Dengan putusan itu (pencemaran nama baik) membuktikan tidak ada kejadian sodomi, no case," jelas Harry kepada gresnews.com ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/7).

Putusan di Pengadilan Singapura, kata Harry, memang berbeda kasus dengan gugatan perdata JIS di PN Jaksel. Namun Harry berharap putusan Pengadilan Singapura juga menjadi pertimbangan majelis hakim yang dipimpin Haswandi dengan anggota Suprapto dan Lendiarty Janis tersebut. Reputasi Pengadilan Singapura dinilai lebih baik dari di Indonesia.

DUA PIHAK BERHARAP DAPAT KEADILAN - Kini dengan segala bukti yang sudah didapatkan pihaknya, Harry berharap majelis hakim memutus kasus gugatan tersebut dengan seadil-adilnya berdasar fakta bukan opini. Harry mengatakan pihaknya sudah berupaya keras mengajukan bukti-bukti kuat kasus sodomi itu tak pernah terjadi.

Dia menilai putusan Pengadilan Singapura dan bukti-bukti yang dihadirkan di sidang perdata di PN Jaksel sudah membuktikan bahwa kasus sodomi yang dituduhkan tidak ada. "Kita tinggal berdoa saja (gugatan ditolak)," kata Harry.

Sementara Nadia, kuasa hukum penggugat tak banyak komentar. Dia menilai kasus di Singapura tidak ada kaitannya dengan gugatan perdata di PN Jaksel.

Nadia berpegang pada fakta adanya putusan pidana dari PN Jaksel bahwa kedua guru JIS terbukti bersalah. Majelis hakim dalam perkara pidana ini berkeyakinan Neil dan Ferdi bersalah dan divonis 10 tahun penjara.

Karena itu Nadia berkeyakinan putusan di Singapura tak berdampak dengan kasus di Indonesia. "Kasus berbeda, dan ini (perdata JIS) belum ada putusan," kata Nadia di PN Jaksel usai sidang.

BACA JUGA: