JAKARTA, GRESNEWS.COM – Seperti anomali jika dibandingkan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta yang nyaris tak pernah membebaskan tersangka korupsi, sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah justru banyak membebaskan terdakwa kasus korupsi.   

Selama kurun waktu lima tahun terakhir, gejala tersebut kian kentara dengan banyaknya Pengadilan Tipikor daerah yang cenderung lebih banyak memberikan vonis bebas terhadap terdakwa atau tersangka korupsi. Vonis bebas tersebut menimbulkan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi pada Pengadilan Tipikor di daerah?.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada November 2011, terdapat 40 terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor di daerah. Diantaranya Pengadilan Tipikor Bandung sebanyak 4 terdakwa, Semarang 1 terdakwa, Samarinda 14 terdakwa, dan Surabaya 21 terdakwa.

Pada Maret 2012 tercatat 50 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor di daerah. Daerah-daerah tersebut diantaranya Pengadilan Tipikor Surabaya yang telah membebaskan 25 terdakwa, Makassar 4 terdakwa, Bandung 4 terdakwa, Samarinda 15 terdakwa, Semarang 2 terdakwa, dan Palembang 1 terdakwa. Lalu pada November 2012 vonis putusan bebas di Pengadilan Tipikor daerah bertambah menjadi 71 kasus korupsi merambah ke daerah Manado, Padang, Jambi, Bengkulu, Yogyakarta dan Medan.

Berdasarkan pemberitaan yang dihimpun Gresnews.com dari berbagai sumber, pada Juni 2015 vonis bebas juga kerap terjadi. Misalnya vonis bebas Pengadilan Tipikor Jayapura atas kasus korupsi Bupati Waropen yang banyak disorot publik. Lalu pada 25 Juni 2014, Pengadilan Tipikor Makasar juga membebaskan Sekretaris Daerah Kabupaten Toraja Utara dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan.

Selanjutnya pada 1 Juni 2015, Pengadilan Tipikor Bandung memvonis bebas mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin (Yance) atas dugaan korupsi proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap Batubara Sumuradem Jawa Barat. Lalu pada 19 Juni 2015, Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis bebas tiga terdakwa kasus dugaan korupsi dana hibah dari pemerintah Aceh untuk Yayasan Cakradonya.

TAK BISA LANGSUNG INTERVENSI - Menanggapi fenomena ini, Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan KY tidak menginvestigasi secara umum terhadap putusan kasus korupsi. KY hanya memeriksa secara parsial terhadap kasus-kasus yang memang dilaporkan masyarakat atau kasus yang menjadi perhatian publik. Begitu pun ketika ada indikasi, KY tentu akan memanggil hakim bersangkutan.

"Faktanya memang begitu jika kita memantau media massa. Tapi KY tidak bisa juga, (memeriksa) ketika ada vonis bebas tapi tidak ada masalah, lalu KY melakukan pemeriksaan,” ujar Imam saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (4/7).

Ia menambahkan vonis bebas terdakwa kasus korupsi juga tidak bisa disimpulkan bahwa hakim di pengadilan daerah bersangkutan bermasalah. Terbuka kemungkinan sejak awal, misalnya, di kepolisian atau kejaksaan sengaja dibuat dakwaan yang lemah dan tidak bisa dibuktikan. Sehingga hakim tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali hakim yang memiliki kemampuan progresif maka hakim tersebut harus menggali fakta.

"Karena kita juga mendapatkan laporan dari masyarakat ternyata sudah "diatur" di awal. Hakimnya juga pernah diskusi dengan para hakim. Para hakim menyampaikan tidak bisa apa-apa kalau dakwaannya lemah sekali dan sudah jadi rekayasa agar hukuman rendah. Sehingga ketika pembuktian tidak terbukti atau ada kelemahan dalam dakwaan," lanjutnya.

Menurut Imam, KY juga agak kesulitan memantau Pengadilan Tipikor di daerah. Sehingga KY memang lebih cenderung mengandalkan laporan dari masyarakat terkait adanya kemungkinan hakim "bermain" dalam kasus korupsi di pengadilan.

Ketika masyarakat atau ada lembaga tertentu melaporkan dugaan pelanggaran etik, KY tentu akan memantau persidangan sebagai pencegahan terjadinya pelanggaran etik. "Selama ini ketika ada "nama-nama" itu kita langsung meminta orang untuk memantau, paling tidak mereka tidak lagi mengulangi pelanggaran etik. Sejauh yang bisa kita endus, selalu kita pantau. Kami juga sudah kerjasama dengan Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional)  agar ikut memantau dari awal," tutur Imam.

BANYAK FAKTOR - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester mengatakan  sebenarnya soal putusan bebas agak debatable. Sebab kalau memang yang bersangkutan "berhak" mendapatkan putusan bebas maka kenapa tidak. Menurutnya, bisa jadi jaksa tidak cermat menyusun tuntutan atau dakwaan dan bisa jadi kuasa hukumnya jeli untuk bisa membela hak tersangka bersangkutan.

"Tapi terlepas dari itu yang perlu dicermati adalah putusan bebas ini belum pernah ada yang mengkaji. Premisnya tidak semua putusan bebas salah. Tapi perlu diketahui kenapa seseorang bisa sampai bebas," ujar Lola saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (4/7).

Ia menambahkan secara normatif bisa jadi banyaknya putusan bebas di Pengadilan Tipikor daerah disebabkan kontrol publik memang belum sebesar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sehingga sebenarnya ada banyak hal yang mempengaruhi kenapa Pengadilan Tipikor di daerah cenderung lebih banyak memutus bebas dibandingkan dengan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Sementara itu pengamat peradilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil juga menyatakan tidak bisa mengambil kesimpulan atas banyaknya putusan bebas yang cenderung terjadi di Pengadilan Tipikor daerah. Sebab tidak bisa disimpulkan misalnya jika vonis bebas bagi koruptor lebih tinggi dari tahun lalu, maka pengadilan tipikor bersangkutan lebih buruk kinerjanya.

"Atau apakah pembebasan itu artinya pengadilan main-main dengan perkara atau tidak kita belum bisa dibuat kesimpulan ke situ," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (4/7).

Menurutnya, bisa jadi mayoritas perkara korupsi yang terjadi di daerah memang bukan perkara korupsi. Kemungkinan lainnya jaksa bisa jadi tidak mampu membuktikan perbuatan yang dituduhkan pada tersangka. Sehingga belum tentu semua terdakwa di pengadilan bersalah.

Ia mencontohkan misalnya seseorang menjadi calon terdakwa korupsi. Lalu kalau kasusnya masuk ke pengadilan dan diputus bebas maka pengadilan akan dipandang ICW putusannya tidak tepat. Padahal definisi koruptor adalah orang yang sudah terbukti melakukan korupsi. Sementara saat ini ketika seseorang menjadi terdakwa atau tersangka, istilah koruptor telah melekat pada dirinya.

Arsil menilai kalau definisi koruptor didegradasi maknanya untuk tersangka atau terdakwa sebenarnya berbahaya. Sebab istilah tersebut telah melabel tersangka atau terdakwa yang  belum terbukti bersalah. Lalu, dengan tidak menghiraukan praduga tak bersalah, sama saja bahwa masyarakat terlalu memberikan kepercayaan yang besar pada penegak hukum. Kepercayaan yang terlalu besar sebenarnya juga tidak baik karena membuat penegak hukum memiliki kekuasaan yang sangat besar. Sehingga sangat berpotensi kekuasaan tersebut disalahgunakan untuk kriminalisasi.

Ia menambahkan ketika vonis bebas pada pengadilan tipikor cenderung lebih tinggi memunculkan dua dugaan. Pertama, pengadilannya yang bermasalah. Kedua, penegak hukumnya atau penyidik dan penuntut yang semakin lemah atau bermasalah.

Tapi intinya putusan-putusan bebas tersebut harus diteliti lebih dulu apakah secara substansi memang sudah tepat atau belum dari putusan bebas tersebut. Kalau setelah diteliti banyak masalah, maka bisa diambil kesimpulan kalau ada penurunan kualitas dari Pengadilan Tipikor Daerah. Tapi kalau hanya melihat dari data kuantitatif bahwa banyak putusan bebas dan menyimpulkan pengadilan bermasalah maka kesimpulan tersebut prematur.

PERLU PERAN MA - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani mengatakan statistik putusan di pengadilan daerah perlu dilihat terlebih dulu apakah memang kecenderungannya lebih banyak membebaskan  terdakwa korupsi. Kalau statistik yang ada menunjukkan Pengadilan Tipikor di daerah cenderung lebih banyak membebaskan terdakwa korupsi maka tentu Mahkamah Agung (MA) sebagai Pembina teknis peradilan yang harus mengumpulkan hakim tipikor dari berbagai daerah. Lalu perlu dilakukan diskusi internal dan dipertanyakan apa yang menyebabkan Pengadilan Tipikor di daerah cenderung membebaskan tersangka korupsi.

"Apakah karena tidak ada fakta-fakta persidangan yang mendukung dakwaannya atau memang kasusnya ringan? Jadi kita jangan terburu-buru menyimpulkan ada mafia peradilan. Tapi harusnya hakim di daerah belajar dari vonis MA yang cenderung untuk memperberat hukuman," tutur Arsul kepada gresnews.com.

BACA JUGA: