JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kisruh kasus megakorupsi penjualan kondensat bagian negara oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi alias SKK Migas (dahulu BP Migas) kepada PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) terancam berakhir antiklimaks. Pasalnya, atas kasus yang menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpotensi merugikan negara sebesar Rp8,5 triliun ini, telah ada legal opinion dari Kejaksaan Agung yang menegaskan apa yang terjadi antara SKK Migas dan PT TPPI adalah peristiwa keperdataan.

Bahkan pihak Kejaksaan Agung dalam legal opinion-nya menegaskan dalam kasus ini tidak terjadi kerugian negara. Hal itu terungkap dari dokumen yang diperoleh Gresnews.com, yang berisi pendapat hukum Kejagung terkait restrukturisasi TPPI oleh BP Migas. Surat bernomor B-121/G/Gph.1/03/2012 bertanggal 8 Maret 2012 itu, ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (ketika itu) Burhanuddin. Surat itu sendiri ditembuskan kepada Jaksa Agung (ketika itu) Basrief Arief.

Legal opinion tersebut dibuat pihak Kejaksaan Agung berdasarkan permintaan dari pihak Kepala SKK Migas (ketika itu) Raden Priyono. Priyono dari dokumen itu diketahui mengirimkan sepucuk surat bernomor 0603/BP00000/2011/52 tertanggal 7 Oktober 2011. Raden Priyono dalam surat itu meminta pendampingan dan pendapat hukum sehubungan dengan restrukturisasi TPPI kepada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Burhanuddin.

Oleh Burhanuddin, surat itu kemudian diproses dan kemudian Burhanuddin mengeluarkan Surat Perintah Jamdatun Nomor Prin-210/G/Gph.1/10/2001 tertanggal 21 Oktober 2011. Dalam surat itu, Jamdatun memerintahkan jaksa pengacara negara pada Jamdatun untuk membuat kajian dan legal opinion terhadap kasus ini.

KASUS PERDATA BUKAN KORUPSI - Ada beberapa poin penting dalam legal opinion Kejaksaan Agung tersebut yang membuat kasus ini terancam antiklimaks. Pertama, kasus penjualan kondensat bagian pemerintah oleh BP Migas kepada PT TPPI sendiri dinilai pihak Kejaksaan Agung sebagai penunjukan yang sah.

Diuraikan dalam dokumen itu, masalah ini bermula dari adanya perjanjian induk restrukturisasi (MRA) antara PT Pertamina, PT Perusahaan Pengelola Aset, BP Migas, PT Silakencana Tirtalestasi, PT Tuban Petrochemical Industries, PT TPPI, Honggo Wendratno, dan pihak-pihak lain pada tanggal 28 Desember 2011. Hasilnya PT TPPI menerima dukungan dari Pertamina dengan memasok kondensat Senipah yang dibeli Pertamina dari BP Migas khusus untuk kebutuhan pasokan kilang petrokimia TPPI.

Dukungan ini tertuang dalam Seller Appointment Agreement (SAA) alias surat persetujuan penunjukan penjual antara BP Migas dan Pertamina tanggal 27 Januari 2006 dan 16 Februari 2007 beserta perubahannya. BP Migas menjual kondensat ke TPPI berdasarkan Perjanjian Penunjukan Penjual tanggal 23 April 2010 dengan dasar dukungan Dirjen MIgas melalui surat Nomor 22631/13/DJM.E/2008 tanggal 18 Desember 2008 dan surat Menteri Keuangan nomor S-85/MK.02/2009 tanggal 12 Februari 2009.

Atas kronologi ini, Kejaksaan Agung berpendapat, berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas dan PP Nomor 42 tahun 2002 tentang BP Migas, penunjukan BP Migas terhadap TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara itu sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Kedua, hubungan antara BP Migas dan TPPI yang merupakan hubungan hukum itu ternyata tidak mulus. TPPI sebagai debitur mempunyai kewajiban yang harus dibayar kepada BP Migas sebagai kreditur yang belum dipenuhi seluruhnya. Atas masalah ini, Kejagung berpendapat, masalah tersebut adalah masalah hubungan keperdataan.

Ketiga, BP Migas dalam menandatangani MRA dinilai Kejagung termasuk dalam menjalankan tugas kewenangannya. BP Migas merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. "Sehingga BP Migas tidak menyalahgunakan kewenangannya yang berakibat akan menimbulkan perbuatan hukum yang merugikan negara," demikian kutipan isi legal opinion tersebut yang diterima Gresnews.com, Senin (22/6).

KRONOLOGI RESTRUKTURISASI TPPI - Dari sebuah dokumen lain yang diperoleh Gresnews.com, restrukturisasi TPPI yang berujung pada kasus penjualan kondensat ini sendiri bermula dari inisiatif Wakil Presiden (ketika itu) Jusuf Kalla. Dalam surat bernomor B.1172/Seswpres/05/2008 tertanggal 15 Mei 2008, Wapres Jusuf Kalla melalui sekretaris wapres mengundang sejumlah pihak dalam rapat tentang Pengembangan Pusat Industri Petrokimia Tuban yang dipimpinnya pada Rabu, 21 Mei 2008.

Rapat yang dihadiri Menko Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Anggaran dan Dirjen Kekayaan Negara, Kepala BPH Migas, Direktur Pertamina dan Komisaris Utama dan Wakil Direktur TPPI. Wapres Jusuf Kalla berinisiatif mengadakan rapat ini dengan tujuan membahas pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran dari PT TPPI dalam penyediaan suplai bahan bakar minyak (BBM) jenis premium RON 88 untuk kawasan Jawa Timur. Dalam awal rapat disebutkan kondisi TPPI saat ini dalam kondisi berhenti berproduksi karena harga outputnya (produk jadi) lebih murah dari harga inputnya (bahan baku).

Dari dokumen risalah rapat yang diperoleh Gresnews.com disebutkan Jusuf Kalla saat itu memberikan empat arahan. Yakni, pertama, PT TPPI sebagai perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai pemerintah (kurang lebih 60%) perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur. Oleh karena itu kapasitas yang idle ini harus dapat dioperasikan.

Kedua, Pertamina menyediakan kebutuhan kondensat bagi TPPI dengan harga yang menguntungkan Pertamina maupun PT TPPI. Ketiga, Pertamina membeli output mogas TPPI tetapi harga beli Pertamina tidak boleh lebih mahal dari harga impor yang selama ini dibayar Pertamina. Yakni landed price di Surabaya: MOPS plus 1,5% sampai dengan 2%.

Arahan Jusuf Kalla yang terakhir meminta BPH Migas, Pertamina, dan PT TPPI menyelesaikan pembahasan mengenai skema bisnis yang saling menguntungkan bagi PT TPPI dan Pertamina, termasuk harga jual kondensat Pertamina kepada PT TPPI dan harga jual output PT TPPI ke pada Pertamina, serta skema penyelesaian hutang-hutang PT TPPI. Pembahasan harus diselesaikan dalam waktu paling lama 1 (satu) minggu terhitung sejak rapat ini.

Nama wapres Jusuf Kala muncul setelah Direktorat Badan Reserse Kriminal Polri memeriksa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan. "Ada rapat yang dilakukan wakil presiden waktu itu, Pak JK, yang secara jelas membahas menyelamatkan TPPI dengan menunjuk Pertamina memberikan kondensat ke TPPI," ujarnya Senin malam (8/6).

Sri Mulyani mengatakan adanya penerbitan surat nomor 011/BPC0000/2009/S2 tertanggal 12 Januari 2009 mengenai penunjukkan langsung TPPI sebagai pelaksana penjualan kondesat dengan beberapa persyaratan terkait tata kelola pembiayaan.

Atas dasar itu, Sri Mulyani menandatangani persetujuan tata cara pembayaran kondensat yang telah diserahkan ke TPPI melalui BP Migas (saat ini berubah menjadi SKK Migas). Kendati saat itu sudah diketahui TPPI memiliki persoalan finansial.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri menyatakan kasus dugaan korupsi kondensat PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) sebenarnya sudah jelas terkait dengan jerat hukum pidananya. "Masalah itu, sudah jelas," kata Wapres Jusuf Kalla di Solo, Kamis (11/6). Wapres menjelaskan, rapat itu telah diadakan agar PT Pertamina dan TPPI bekerja sama, serta memang ada pengaturan dan keputusan yang diambilnya dalam rapat tersebut.

Ia mempermasalahkan, uang pengganti gagal "lifting" kondensat yang dikerjakan oleh pihak TPPI, namun tidak dibayarkan atau dikembalikan kepada Pertamina. "Soalnya adalah kenapa tidak dikembalikan atau dibeli Pertamina, ini masalah sebenarnya. Bukan masalah diperlakukannya, bukan. Masalahnya kenapa tidak dijual kembali ke Pertamina atau dibayar," katanya.

TIDAK ADA KERUGIAN NEGARA? - Kembali ke legal opinion Kejaksaan Agung, persoalan ini dinilai kejaksaan sebagai masalah perdata dan kejaksaan menilai tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Terkait perjanjian MRA itu sendiri, Kejagung berpendapat, untuk lebih melegitimasi perjanjian MRA itu, unsur sistem pelaporan pertanggungjawaban juga harus dipenuhi dalam kegiatan restrukturisasi. Karena itu, BP Migas diwajibkan melakukan tiga langkah berikut.

Pertama, memberitahukan secara tertulis kepada DPR sesuai Pasal 11 Ayat (2) UU 22/2001 tentang Migas. Kedua, melaporkan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dan harus ada persetujuan tertulis Menkeu beradasarkan Pasal 6 Ayat (3) PP 42 tahun 2002 tentang Migas. Ketiga, melaporkan kegiatan restrukturisasi kepada Presiden sesuai Pasal 15 huruf e PP 42. tahun 2002.

Kejaksaan berpendapat secara sistem hukum, perikatan atau kontrak kesepakatan MRA ini telah sah dan dapat dijalankan. Adanya cedera janji dari salah satu pihak atas kesepakatan itu berarti telah wanprestasi dan berhak menuntut prestasi.

Terkait biaya restrukturisasi TPPI itu sendiri, Kejaksaan Agung berpendapat bukanlah berasal dari uang negara. Sumber pendanaan restrukturisasi dan penyelesaian utang TPPI berasal dari pinjaman berjangka sebesar US$500 juta dari Deutsch Bank berdasarkan Term Loan Facility Agreement melalui PT Petroina PTe Ltd. Dana itulah yang digunakan untuk merstrukturisasi dan menyelesaikan utang TPPI dan Tuban Petrochemical kepada Pertamina, PPA dan BP Migas. Dengan demikian, menurut Kejaksaan Agung, uang itu bukan termasuk kategori keuangan negara.

PERAN HONGGO WENDRATNO PENTING DIUNGKAP - Meski menyebut kasus ini sebagai kasus perdata dan tidak ada uang negara yang digunakan, Kejagung dalam legal opinion-nya menyatakan memberi pengecualian atas masalah ini yaitu, jika dikemudian hari diketahui bahwa dana yang digunakan berasal dari hasil kejahatan, otomatis perjanjian MRA langsung batal demi hukum dan pelakunya tergolong melakukan tindak pidana.

Terkait hal ini, Kejaksaan Agung memang menegaskan perlu kejelasan dari pemilik PT TPPI Honggo Wendratno (dalam dokumen itu disebut dengan inisial HW) mengenai asal usul pendanaan MRA dari Deutsch Bank yang dikucurkan kepada Pertamina, PPA dan BP Migas. Posisi Honggo sendiri menurut Kejaksaan Agung bukan kreditur maupun obligor walau Honggo merupakan pihak yang terafiliasi dengan para obligor.

Posisi Honggo menjadi unik karena utang-piutang adalah antara badan hukum bukan pribadi Honggo sehingga kedudukan Honggo dalam MRA atau restrukturisasi PT TPPI adalah sebagai pihak ketiga terafiliasi yang memberikan jaminan dalam MRA. Dengan demikian kedudukan Honggo harus dinyatakan oleh pihak obligor secara khusus.

Terkait mengungkap peran Honggo ini, pihak Bareskrim Mabes Polri sendiri memang telah berupaya memanggil Honggo untuk diperiksa pada tanggal 22 Mei lalu. Sayangnya Honggo tidak bisa hadir dalam pemeriksaan tersebut. "Belum (bisa) datang. Penasihat hukum bilang setelah tanggal 29 Mei (bisa hadir)," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E. Simanjuntak.

Adanya celah yang diberikan Kejaksaan Agung terkait kasus TPPI ini memang membuat peran Honggo menjadi penting untuk menentukan arah perjalanan kasus TPPI agar tak berakhir antiklimaks. Honggo sendiri diduga memang memiliki hubungan erat dengan pejabat pemerintah sehingga TPPI yang nyaris sekarat ketika itu bisa mendapatkan fasilitas restrukturisasi "semewah" itu.

BACA JUGA: