JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Yudisial meminta Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) mencabut permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab kewenangan  KY dalam menyeleksi hakim dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi. Apalagi kehadiran KY dalam seleksi hakim justru bisa menghadirkan hakim yang taat pada pedoman perilaku hakim.

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrohman Syahuri mengklaim seleksi hakim yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) bersama KY konstitusional. Sebab Undang-Undang memang telah memberikan kewenangan tersebut pada KY dengan dasar UUD 1945. Konstitusi telah memberikan kewenangan pada KY dengan adanya kalimat KY memiliki wewenang mengangkat hakim agung ditambah wewenang lainnya.

“MA juga memiliki wewenang lain,” ujarnya dalam diskusi bertema "Mendorong Penguatan Sistem Perekrutan Hakim yang Berkualitas dan Berintegritas" di Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, kemarin (3/6).

Ia mencontohnya misalnya MA bisa mendirikan peradilan hubungan industrial dan peradilan lingkungan. Wewenang tersebut tidak ada dalam konstitusi. Sehingga kalau cara berpikirnya limitatif terhadap kewenangan KY, berarti MA tidak bisa membuat peradilan lain selain Tata usaha negara, agama, dan lainnya. Atas dasar itu, sebenarnya wewenang KY dalam seleksi hakim tidak melanggar konstitusi.

Apalagi MA dan KY juga sempat membicarakan adanya peraturan bersama untuk seleksi hakim. Mereka telah menyusunnya bersama hingga lima kali pertemuan. Draf peraturan bersama tersebut hanya tinggal disahkan. Namun bukannya mengesahkan draf bersama tersebut, Ikahi malah mengajukan judicial review.

“Ikahi menuding dengan melibatkan KY seleksi hakim jadi terhambat. Justru dengan judicial review ini seleksi hakim jadi terhambat. Jadi sebaiknya permohonan tersebut dicabut. Kalau MA dan KY mengesahkan draf peraturan bersama, rekrutmen bisa berlangsung supaya tidak bertele-tele Ikahi bisa cabut permohonan itu,” lanjutnya.

Penilaian Taufiqurrohman ini didukung oleh Hakim Agung Gayus Lumbuun. Gayus menjelaskan dalam hukum ada asas hukum yaitu putusan hakim harus dianggap benar. Meskipun begitu, ia mengakui hakim bisa saja salah dalam memutus satu perkara. Sehingga kualitas hakim untuk memutus secara benar dan adil akan kembali dan bergantung pada kualitas negara dalam menyeleksi hakim.

“Agar bisa memberikan keadilan yang berkualitas, negara mengambil cara seleksi hakim dengan ujian dan tes,” ujar Gayus pada kesempatan yang sama.

Ia melanjutkan untuk menghadirkan hakim yang berkualitas diperlukan hakim yang taat pada ketentuan kode etik dan perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan MA beserta KY untuk menghasilkan hakim taat tersebut.

Sebelumnya, pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) diantaranya Imam Soebechi, Suhadi, Abdul Manan, Yulius, Burhan Dahlan, dan Soeroso Ono menggugat sejumlah pasal dalam sejumlah undang-undang.
Diantaranya Pasal 14 A ayat (2) UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang peradilan umum, Pasal 13A ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009 tentang peradilan agama, dan UU nomor 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara. Dalam gugatan tersebut, ketentuan yang mengatur kewenangan KY untuk mengangkat hakim tersebut digugat karena dianggap akan mengganggu independensi calon hakim. Sehingga yang dianggap paling berwenang menyeleksi hakim hanya MA.

BACA JUGA: