JAKARTA, GRESNEWS.COM - Vonis seumur hidup yang dijatuhkan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar tidak secara otomatis akan memulihkan martabat dan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Tetapi hukuman berat itu secara tidak langsung dapat mempercepat proses pemulihan kepercayaan publik terhadap MK.

"Setidaknya isu-isu yang berkembang di publik selama ini bisa ditepis, misalnya ada hakim lain yang bermain.  Sebab dalam proses peradilan yang digelar sejauh ini, Akil diketahui bermain sendiri," kata peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natasomal Umar kepada Gresnews.com, Rabu (2/7).

Namun, Erwin berpendapat, moment ini harus dimanfaatkan mempercepat memulihkan kepercayaan publik. Diantaranya dengan merumuskan dan memperketat proses seleksi terhadap hakim MK, baik usulan dari Presiden, Mahkamah Agung (MA) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Sampai sejauh ini, hanya DPR yang mempunyai aturan resmi. Sedangkan dua lembaga lain belum punya aturan yang baku," tegasnya.

Dalam seleksi hakim MK itu,  Komisi III DPR menggandeng tim pakar untuk menyeleksi calon hakim konstitusi. Tim pakar diminta memberi rekomendasi kelayakan calon hakim konstitusi kepada Komisi III. Karena undang-undang menyebutkan yang memiliki hak pilih adalah DPR, maka DPR lah yang memilih dari nama-nama calon hakim yang direkomendasikan tim pakar tersebut.

Selain proses seleksi, Erwin juga mengingatkan perlunya mengatur kembali pengawasan hakim konstitusi. Sebab, menurut dia, model pengawasan hakim MK sekarang masih bersifat rekomendatif. Vonis Etik Dewan Etik MK hanya bersifat rekomendasi, keberlanjutan status hakimnya tergantung keinginan Ketua MK. Model pengawasan seperti ini, kata dia, tidak efektif dan manipulatif.

Menurutnya, Dewan Etik memang bisa memberikan sanksi teguran secara lisan atau tulisan sebanyak tiga kali, tetapi ketika untuk pelanggaran berat, Dewan Etik hanya sebatas merekomendasikan ke Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) untuk diperiksa lebih lanjut. "Seakan-akan ada namun sebenarnya tidak ada pengawasan. Sangat perlu ada perubahan model pengawasan," tegasnya.

Sebelumnya Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva membenarkan mencuatnya kasus Akil merupakan pukulan berat bagi MK. Kepercayaan masyarakat terhadap independensi hakim MK menurun sejak terungkapnya keterlibatan Akil dalam kasus suap sengketa pemilihan umum kepala daerah. Bahkan, kata dia, kepercayaan masyarakat masih berada pada titik terendah. "Kasus itu menjadi pukulan berat bagi MK sebab kita berada dalam kondisi dengan kepercayaan publik yang sangat rendah," ujar Hamdan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (1/7).

Namun Hamdan enggan mengomentari, apakah vonis seumur hidup itu bisa meningkatkan martabat Mahkamah dan mengembalikan kepercayaan publik. Alasannya, kasus hukum Akil masih belum selesai dengan adanya upaya banding. “Saya tidak mau mencampuri proses hukum yang masih berjalan karena takut berpotensi mempengaruhi proses selanjutnya,” ujarnya.
 
Akil Mochtar divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang. Sebelumnya, wibawa MK terperosok pasca tertangkapnya Akil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk mengembalikan citranya, MK membentuk Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Dewan Etik ini diatur dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK).

Lebih lanjut, Dewan Etik dibentuk dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi serta menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Dewan Etik juga berwenang memberi pertimbangan terhadap perilaku para Hakim Konstitusi. Sebaliknya, ketika ada perbuatan yang dianggap meragukan atau potensial melanggar etik, Hakim Konstitusi bisa bertanya kepada Dewan.

Dewan Etik juga memiliki kewenangan untuk menerima laporan apapun terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim konstitusi. Kemudian Dewan berwenang memanggil, memeriksa hakim yang diduga melakukan pelanggaran dan menjatuhkan sanksi tanpa campur tangan MK. Ketika hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran ringan, Dewan Etik bisa langsung memberikan sanksi teguran secara lisan/tulisan sebanyak tiga kali. Sementara untuk pelanggaran berat maka dewan etik merekomendasikan ke Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) untuk diperiksa lebih lanjut.
 

BACA JUGA: