JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP). Pembatalan ini sendiri dikhawatirkan akan berdampak pada nasib ribuan karyawan RAPP maupun rantai pasok terkait. Mereka terancam di PHK secara besar-besaran dan berdampak langsung bagi operasional perusahaan secara signifikan.

SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.5322/2017 tentang pembatalan surat keputusan Nomor SK.173/2010 dan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010 -2019 itu, dikeluarkan tanggal 16 Oktober lalu. Surat tersebut ditandatangani Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Bagus Putera Perthama, mewakili Menteri LHK Siti Nurbaya.

KLHK mengklaim, pencabutan surat izin ini dilakukan setelah dua kali memberi peringatan kepada RAPP. KLHK menegur rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) RAPP yang dinilai melanggar aturan tata kelola gambut. "RAPP wajib menyesuaikan RKUPHHK-HTI sesuai peraturan pemerintah No. 57/2016," demikian dikutip dari salinan SK.5322/2017 tersebut.

Sebelumnya, pihak KLHK memang telah mengirimkan surat per 3 Oktober 2017, terkait rencana kerja umum (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT) pemanfaatan hasil hutan kayu–hutan tanaman industri yang telah berakhir. Lewat surat itu, pihak KLHK meminta agar pihak RAPP menyesuaikan revisi RKU dan RKT disesuaikan aturan baru yang  belum juga dipenuhi pihak RAPP.

Lewat surat bernomor S.1254/MENLHK-SETJEN/ROUM/HPL.1/10/2017 itu, KLHK juga melarang RAPP menanam pohon akasia dan ekaliptus di konsesi gambut yang masuk areal fungsi ekosistem lindung gambut. Surat ini adalah peringatan kedua bagi pihak RAPP.

Terbitnya surat peringatan kepada RAPP ini sendiri merupakan tindak lanjut dari perubahan aturan dalam perlindungan gambut serta terbitnya Peraturan Menteri LHK Nomor 17/2017 tentang perubahan atas Peraturan Menteri LHK Nomor 12/2015 tentang pembangunan hutan tanaman industri. Tak RAPP, perusahaan bubur kertas lainnya juga harus merevisi RKU-nya agar sesuai aturan tersebut terhitung 30 hari setelah perusahaan menerima peta fungsi ekosistem gambut.

Nah, oleh pihak KLHK, RAPP dinilai membandel dan tidak menyesuaikan RKU dan RKT-nya sesuai aturan baru perlindungan gambut.  Dalam Permen 17 disebutkan jika perusahaan tak mematuhi regulasi maka ada tiga konsekuensi sanksi administrasi yakni paksaan, pembekuan dan pencabutan izin.

Pihak RAPP sendiir menyayangkan terbitnya surat pembatalan persetujuan revisi RKU dan RKT tersebut. "Kami sangat menyayangkan bahwa pada hari Selasa kemarin 17 Oktober, kami telah menerima surat keputusan menteri KLHK tentang pembatalan keputusan menteri lingkungan hidup No. SK. 93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri. Untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010-2019 atas nama PT. RAPP," ujar Direktur Urusan Perusahaan PT RAPP Agung Laksamana dalam jumpa pers di Annex Building, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (19/10).

Dia mengatakan, sebelumnya PT RAPP telah menyerahkan revisi yang diminta sebanyak empat kali dan menerima tiga kali surat peringatan dari KLHK karena dianggap belum sesuai. Namun dalam prosesnya, KLHK membatalkan RKU 2010-2019.

PT RAPP mendapat surat peringatan pertama pada tanggal 28 September 2017, disusul surat peringatan kedua pada tanggal 6 Oktober 2017. Sementara surat pembatalannya pada tanggal 17 Oktober 2017.

"Dalam kurung waktu kurang dari 12 hari kerja kami telah mendapatkan 2 surat peringatan dan langsung surat pembatalan. Tentunya kami berharap diberi waktu untuk bisa mempelajari surat yang udah diterbitkan," harap Agung.

Sementara itu Direktur Operasional PT RAPP Ali Sabri mengatakan dampak keputusan tersebut adalah berhentinya seluruh operasi di HTI mulai pukul 00.00 tanggal 18 Oktober 2017. "Kegiatan yang terhenti adalah pembibitan, penanaman, pemanenan, dan pengangkutan di seluruh areal operasional PT RAPP di 5 kabupaten di Prov Riau, Kab Pelalawan, Kuantan Sengingi, Siak, Kampar, dan Kep. Meranti," jelasnya.

Ali menambahkan PT. RAPP hingga saat ini telah berinvestasi sebesar Rp85 triliun. Saat ini PT RAPP sedang membangun hilirisasi industri pulp (downstream) yang menghasilkan kertas dan rayon bahan baku tekstil dengan investasi yang mencapai Rp15 triliun.

"Total investasi akan mencapai Rp100 triliun dan menjadi tanggung jawab dan dampak yang besar terhadap karyawan. Tentu saja ini semua butuh pasokan bahan baku yang cukup dan berkesinambungan serta mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam investasi," kata Ali.

Pembatalan RKU yang dilakukan oleh Kementerian KLHK juga akan berimbas kepada ribuan tenaga kerja langsung dan tidak langsung PT RAPP. "4.600 karyawan kehutanan HTI dan juga pengangkutan dirumahkan secara bertahap. Yang kedua, 1.300 karyawan di bagian pabrik berpotensi dirumahkan dalam beberapa minggu ke depan. Ketiga, memutuskan kontrak kerja sama dengan mitra dan pemasok lebih dari 10.200 karyawan," jelas Ali.

MASIH BISA BEROPERASI - Terkait penerbitan surat ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, SK Nomor SK.5322/2017 itu bukan pencabutan izin melainkan hanya pencabutan persetujuan atas SK.93/VI BHUT/2013 tentang Persetujuan Revisi RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010-2019 atas nama PT RAPP.

Bambang mengatakan, pihak RAPP tidak perlu resah. "SK itu hanya sebuah paksaan pemerintah untuk segera menyelesaikan RKU-nya dan mereka harus segera konsultasi," ujar Bambang.

Bambang menegaskan, perusahaan yang beroperasi di Pelalawan diberikan waktu 10 hari setelah terbitnya SK tersebut sampai 26 Oktober untuk menyerahkan RKU baru yang memasukkan gambut ke dalam rencana pemulihan di dalam fungsi lindung.

Dia sendiri menegaskan, sudah melakukan kunjungan ke RAPP dan menurutnya pihak RAPP mengakui ada perkembangan positif. "Kam datang hanya ingin meluruskan agar masyarakat, terutama karyawan perusahaan tidak resah," kata Bambang.

Dia menegaskan, pemerintah menjamin keberlangsungan usaha pemegang izin, dan mereka juga harus berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan. "Komunikasinya positif karena kami meminta swasta untuk menyelesaikan RKU agar diserahkan kembali, dan SK pembatalan RKU itu tidak berarti mencabut izin. Mencabut izin itu SK izinnya yang dicabut. RKU itu kan hanya persetujuan rencana jadi tidak  mengganggu," jelas Bambang.

Karena itu, katanya, tidak perlu ada gejolak akibat SK pembatalan RKU tersebut. Yang terpenting, kata Bambang, RAPP diminta segera menyusun RKU baru dan menyerahkan ke KLHK sampai batas waktu yang ditetapkan seperti termuat di dalam SK Menteri LHK. Perusahaan juga tidak perlu khawatir mengenai lahan pengganti atau land swap karena pemerintah menjamin. Mengenai lokasinya, kondisi di lapangan sangat menentukan. Yang terpenting sekarang bagaimana memulihkan kubah gambut dengan menanaminya dengan tanaman alam.

Lahan pengganti juga tidak langsung disiapkan ratusan ribu. Sebab, praktiknya tergantung kondisi di lapangan. Ketika ada 15 ribu hektare tanaman pokok yang akan dipulihkan, maka land swap-nya disiapkan 15 ribu hektare. Proses ini akan terus dikomunikasikan oleh tim monitoring dan penilai dari pemerintah untuk turun ke lapangan.

Terkait hasil pertemuan dengan manajemen RAPP kemarin, apakah sudah ada komitmen untuk pemulihan, Bambang mengaku direksi RAPP masih akan mengkomunikasikannya dengan owner. Bambang berharap perusahaan segera menyusun RKU baru dan menyerahkannya terakhir 26 Oktober.

Untuk menjamin bekerlangsungan usaha, pemerintah juga akan membantu memfasilitasi perusahaan menyelesaikan areal mereka yang masih berkonflik agar bisa ditanami. Termasuk, mengajak kelompok masyarakat yang memiliki areal perhutanan sosial untuk bermitra dengan RAPP. Dan yang terpenting lagi menurut Bambang, selama proses penyelesaian RKU baru berjalan, operasional perusahaan tetap bisa jalan.  

Saat disinggung kenapa RKU PT RAPP yang seharusnya berlaku hingga 2019 dibatalkan sebelum waktunya, Bambang menyatakan di RKU lama belum memuat fungsi lindung gambut. "RKU itu batal ketika kami minta dia yang baru. Sampai empat kali kami minta perbaiki yang lama itu tapi tidak diperbaiki. Dasarnya PP 57," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: