JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung dalam kasus Wisni Yetti dan PN Yogyakarta dalam kasus Florence Sihombing, terkait kasus penghinaan lewat medium internet. "Kedua putusan ini sudah menyalahi prinsip-prinsip hukum pidana yang saat ini berlaku," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (1/4).

Wisni Yetti dijatuhi hukuman penjara lima bulan dan denda Rp100 juta oleh PN Bandung sementara Florence Sihombing divonis dua bulan penjara dan percobaan enam bulan beserta denda Rp10 juta oleh PN Yogyakarta. Dalam kasus Wisni Yetti, Jaksa Penuntut Umum menjerat Wisni dengan Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE karena menilai percakapan yang dilakukannya melalui facebook adalah melanggar kesusilaan.

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan," demikian bunyi pasal tersebut.

Terkait hal ini, kata Supriyadi, ICJR mengingatkan bahwa tindak pidana kesusilaan dalam UU ITE tetap wajib dihubungkan dengan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP. Karena "kesusilaan" dalam KUHP merujuk pada nama bab yang berisi 24 pasal yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan.

"Selain itu, pelanggaran kesusilaan dalam KUHP selalu harus dilakukan di muka umum atau berada dalam ruang publik dan bukan berada dalam ruang privat seperti melakukan percakapan melalui fasilitas inbox di Facebook," tegas Supriyadi.

ICJR juga mengkritik PN Bandung karena begitu saja menerima bukti print out percakapan tanpa melakukan validasi terhadap legalitas perolehan alat bukti dan juga terhadap percakapannya itu sendiri. "Tanpa melakukan validasi tersebut, ICJR menganggap bahwa PN Bandung telah melanggar prinsip-prinsip pembuktian dalam KUHAP," ujarnya.

Sementara, dalam Kasus Florence Sihombing, Jaksa Penuntut Umum menjerat Florence dengan Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan diputus bersalah oleh PN Yogyakarta karena telah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebutkan: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

ICJR menyatakan bahwa pernyataan emosional yang disampaikan oleh Florence Sihombing tidak dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena tindak pidana penghinaan hanya dapat ditujukan oleh orang pribadi dan bukan kepada kelompok. ICJR juga menyatakan bahwa pernyataan emosional tersebut bukanlah pernyataan yang ditujukan untuk menyebarkan kebencian terhadap golongan penduduk di Indonesia.
"Selain itu, kedua pasal ini tetap harus dihubungkan dengan ketentuan pidana dalam KUHP untuk menentukan kualitas dari pernyataan yang disampaikan oleh Florence melalui jejaring sosial tertutup ´Path´," terang Supriyadi.

PN Yogyakarta, dalam pandangan ICJR, juga telah menabrak prinsip hukum terkait penghinaan yang diatur berdasarkan konstruksi Bab Penghinaan dalam KUHP dan UU ITE yang hanya ditujukan pada orang pribadi dan bukan kepada kelompok orang atau bahkan daerah tertentu. Melihat dalam kedua kasus ini, ICJR mendesak agar pemerintah secepatnya melakukan revisi terhadap UU ITE yang sudah tertunda sejak 2009.

"ICJR mendesak agar pemerintah dan DPR untuk mencabut ketentuan-ketentuan pidana yang merupakan duplikasi dari KUHP," kata Supriyadi.

Selasa (31/3) kemarin PN Yogyakarta menjatuhkan vonis 2 bulan penjara dan 6 bulan percobaan serta denda sebesar Rp10 juta terhadap Florence. Dia dinilai terbukti mendistribusikan informasi elektronik yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sidang dipimpin oleh Bambang Sunanta, hakim aggota Suwarno dan Ikhwan Hendrato. Jaksa Penuntut Umum(JPU) oleh Suwarto. Hakim menyatakan terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik melalui jaringan telekomunikasi yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik.

"Menjatuhkan terdakwa dengan pidana penjara selama 2 bulan dan denda sebesar Rp 10 juta. Dengan ketentuan jika tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir," kata Bambang Sunanto.

Barang bukti berupa handphone merek Iphone dan satu buah simcard dikembalikan ke terdakwa. Terdakwa diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 5 ribu.

Menurut hakim, hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan dan polemik di masyarakat. Sementara yang meringankan, terdakwa mengakui perbuatannya dan telah meminta maaf kepada Sri Sultan HB X dan masyarakat melalui media sosial. Terdakwa masih kuliah dan berlaku sopan selama persidangan.

Denda yang dijatuhkan kepada terdakwa wajib dibayarkan, jika tidak ia akan menjalani kurungan selama 1 bulan penjara. Flo didakwa melanggar pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE No 11/2008.

Vonis hakim ini lebih ringan dari tuntutan JPU yakni selama 6 bulan kurungan dengan masa percobaan 12 bulan serta denda Rp 10 juta subsider 3 bulan penjara.

Atas vonis tersebut, Florence menyatakan pikir-pikir. Ia diberi waktu selama 7 hari untuk pikir-pikir atas putusan sidang. Usai sidang, mahasiswa S2 Kenotariatan UGM itu langsung keluar dan enggan memberikan komentar.

Sementara itu Wisni menyatakan banding atas vonis 5 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsidair 6 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim PN Bandung.  

Kuasa hukum Wisni, Rusdy A Bakar, mencatat sejumlah kejanggalan dalam perkara ini. Mulai dari pandangan ranah publik yang berbeda hingga dihalalkannya alat bukti yang didapat dengan cara yang melanggar hukum. "Hingga pemeriksaan terakhir di persidangan tidak terbukti yang melakukan chatting adalah Wisni," katanya.

JPU yang seharusnya membuktikan yang melakukan chatting adalah Wisni justru sebaliknya meminta Wisni membuktikan jika memang bukan Wisni yang melakukan chatting. "JPU kan yang mendakwa, seharusnya JPU yang membuktikan," katanya.

Soal chatting dilakukan di inbox, menurut Rusdy, seharusnya itu tak bisa dipidanakan karena dakwaan JPU yaitu Pasal 27 Ayat (1) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan 282 KUHP di mana sebuah perbuatan bisa dipidana jika dilakukan dengan sengaja dan terbuka di muka umum atau tersebar secara publik.

Selain itu, barang bukti yang diajukan yaitu berupa 3 bundel percakapan Wisni dan teman prianya telah diperoleh dengan cara yang tidak benar. "Itu kan masuk inbox dilakukan dengan cara meng-hack. Itu melanggar pasal 30 UU ITE. Namun dalam perkara ini barang bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hukum seolah dihalalkan," katanya.

Menurut pasal 30 UU ITE, seseorang tidak dibenarkan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Sistem Elektronik milik orang lain. Terlepas pelapor merupakan suaminya, dalam UU tersebut tak membenarkan hal itu terjadi.

Karena sejumlah temuan dan pertimbangan hakim yang dinilai tak sesuai, Rusdy berencana mengajukan banding atas putusan yang telah dibacakan hari ini.

Sementara itu dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Wisni terbukti secara sah dan meyakinkan telah mendistribusikan atau mentransmisikan konten yang melanggar asusila.

Peristiwa itu terjadi pada 2011 silam. Wisni menjalin komunikasi dengan Nugraha, teman masa kecilnya. Wisni berada di Bandung, Nugraha di Padang, Sumatera Barat. Mereka berkomunikasi melalui chatting di facebook.

Chatting Wisni dan Nugraha diketahui suaminya, Haska Etika. Ia diam-diam ´membobol´ facebook istrinya pada Oktober 2011. Pada 2013, Haska menggugat cerai Wisni. Ketika dalam proses perceraian, tahun yang sama Wisni melaporkan suaminya karena KDRT. Kasus itu hingga kini masih P19.

Haska lalu melaporkan isi chatting Wisni pada Februari 2014 ke Polda Jabar dengan tuduhan mendistribusikan dan mentransmisikan kalimat atau bahasa yang bersifat asusila. Sementara dalam persidangan Wisni membantah tuduhan itu. Ia mengaku tidak ada bahasa asulila saat chatting dengan teman prianya itu. Ia juga menyatakan bahwa chatting yang dilakukannya bukan di dinding laman facebook yang merupakan area publik, namun inbox. (dtc)

BACA JUGA: