JAKARTA, GRESNEWS.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal hutan adat bukan hutan negara masih belum sepenuhnya dijalankan. Pasalnya paska MK mengeluarkan putusan tersebut, kriminalisasi terhadap masyarakat adat  masih terjadi.

Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35/2012) itu  belum diimplementasikan pada ranah kebijakan dan undang-undang (UU). Setelah putusan MK, yang terjadi justru melalui UU P3H dan UU Sumber Daya Alam masih digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat.

“Jadi belum ada perubahan tataran pada kebijakan pemerintah termasuk penegak hukum seperti hakim yang mengadili masyarakat adat. Jadi MK 35/2012 tidak menjadi dasar hukum menjadi pertimbangan untuk membebaskan masyarakat adat dari jeratan UU yang tidak berpihak,” ujar Rukka saat dihubungi Gresnews.com, Minggu (31/5).

Ia menambahkan situasi masyarakat seperti persoalan kriminalisasi masih terjadi paska putusan MK tersebut. Paska putusan MK, AMAN mencatat terdapat setidaknya 24 kasus terkait kriminalisasi masyarakat adat.

Contoh kriminalisasi yang kerap terjadi adalah pengakuan  negara  hutan atau tanah masyarakat adat sebagai milik negara. Menurutnya, aktor kriminalisasi tidak hanya negara melalui pemerintah daerah tapi juga perusahaan swasta atau penjaga hutan konservasi.

Terkait hal ini, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga menilai pemerintah belum secara serius menyelesaikan akar masalah yang dialami masyarakat adat. Dalam putusan MK 35/2012 dijelaskan pertimbangan MK memutuskannya lantaran melihat ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat adat.

“Tanah masyarakat diklaim sepihak oleh negara. Itu akar masalahnya,” ujar Sandra saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Minggu (31/5).

Ia menambahkan Komnas HAM telah memeriksa sendiri adanya kriminalisasi yang ternyata masih terjadi pada masyarakat adat paska putusan MK. Menurutnya banyak masyarakat adat yang belum tahu ketika hutan mereka diklaim negara atau perusahaan. Masyarakat adat baru menyadarinya misalnya ketika ada penjaga hutan dari sebuah perusahaan. Ia menilai selama klaim sepihak ini tidak dibereskan oleh negara, persoalan tersebut akan tetap ada.

Menanggapi persoalan ini, Wakil Ketua komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Viva Yoga Mauladi mengatakan selama ini persoalan masyarakat memang tersebar di sejumlah UU. Misalnya dalam UU Kehutanan bicara hutan adat dan UU Agraria berisi ketentuan terkait masyarakat adat dan kepemilikan tanahnya.  

“Jadi memang aturannya tersebar di UU yang sudah ada,” ujar Viva pada Gresnews.com.

Ia menjelaskan untuk perlindungan masyarakat adat, memang belum ada aturannya. Sehingga saat ini terhadap sejumlah permasalahan yang dihadapi masyarakat adat, DPR memang sedang merumuskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA). Menurutnya, RUU ini perlu diundangkan agar tidak ada pertentangan antara domain adat dengan domain nasional.

“Di Indonesia hukum nasional mengacu pada UU. Sehingga persoalan adat harus ditarik ke hukum nasional melalui peraturan perundang-undangan untuk menghilangkan sekat kewenangan fungsi yang terkait dengan masyarakat adat,” lanjutnya.

Untuk diketahui, putusan MK 35/2012 berisi ketentuan hutan adat bukanlah sebagai hutan negara. Paska putusan tersebut baru sejumlah pemerintah daerah yang diketahui menginventarisir mana hutan negara dan hutan adat. Diantaranya melalui peraturan daerah (perda) Nomor 13 Tahun 2012 tentang PPHMA Suku Tau Taa Wana dan Surat Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang keberadaan masyarakat adat Seko.

BACA JUGA: