JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lima orang pimpinan defenitif DPRD Jabar dilantik dalam Rapat Paripurna Istimewa di Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung hari ini, Rabu (22/10). Salah satunya ada Irianto M.S. Syafiuddin atau akrab disapa Kang Yance yang menduduki kursi Wakil Ketua I. Pelantikan Yance tersebut sangat disesalkan penggiat anti korupsi karena saat ini politisi Golkar itu tengah terbelit kasus korupsi dan sudah menjadi tersangka.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kejagung mempercepat proses hukum mantan bupati Indramayu ini. Yance merupakan salah seorang tersangka tindak pidana korupsi pembebasan lahan seluas 82 hektare (ha) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Sumuradem, Kabupaten Indramayu. Yance tersangka sejak 2010 silam.

Yance sendiri dilantik bersama pimpinan DPRD Jabar lainnya untuk periode 2014-2019. Mereka adalah Ineu Purwadewi Sundari (Fraksi PDIP) selaku Ketua DPRD Jabar, Haris Yuliana (Fraksi PKS) menjadi Wakil Ketua II, Irfan Suryanagara (Fraksi Demokrat) selaku Wakil Ketua III, dan Abdul Haris Bobihoe (Fraksi Gerindra) sebagai Wakil Ketua IV.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat proses hukumnya. Sebab sangat disesalkan jika seorang Wakil Ketua DPRD tersangkut kasus korupsi. Hal itu dapat memperburuk citra parlemen sebagai sarang koruptor.

"Ini harus menjadi perhatian agar proses hukumnya dipercepat, agar para anggota dewan tidak tersandera atas kasus hukum yang membelitnya," kata Abdullah kepada Gresnews.com, Rabu (22/10).

Menurut Abdullah, banyaknya politisi terjerat korupsi lolos menjadi anggota parlemen karena banyak sebab. Pertama karena UU Pemilu yang tidak cukup tegas mengatur soal calon anggota DPR/DPRD. Dalam aturannya yang tidak boleh mencalonkan harus memiliki putusan hukum tetap dengan ancaman lima tahun.

Tak hanya itu, perilaku transaksional partai politik juga menjadi sebab banyaknya anggota DPRD yang melenggang sebagai wakil rakyat. "Apalagi Yance elit Partai Golkar," kata Abdullah.

Menanggapi pelantikan tersebut, Kejagung Kejagung tak mempersoalkan. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPidsus) R Widyopramono menegaskan jika proses hukum Yance tetap berjalan. Bahkan berkas perkara Ketua DPD Golkar Jawa Barat ini akan segera dilimpahkan ke pengadilan.

"Semua berjalan dengan baik, tidak ada masalah, akan segera ekspose," kata Widyo ditemua usai perpisahan Jamwas Mahfud Mannad di Gedung Kantor Pengacara Negara, Rabu (22/10).

Widyo menegaskan penanganan kasus Yance tetap berjalan dan tidak bakal terganggu oleh intervensi pihak luar. Karena itu ia meminta publik menunggu proses hukum yang terus berjalan meskipun Yance resmi dilantik pimpinan DPRD Jabar periode 2014-2019.
 
Seperti diketahui, Yance adalah tersangka tindak pidana korupsi pembebasan lahan seluas 82 hektare (ha) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Sumuradem, Kabupaten Indramayu. Yance tersangka sejak 2010 silam. Yance telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung saat menjabat bupati Indramayu 2010 silam.

Ada empat terdakwa dalam kasus ini yakni Agung Rijoto selaku pemilik SHGU No 1 Tahun 1990 yang bertindak selaku kuasa PT Wihata Karya Agung, Daddy Haryadi selaku mantan Sekretaris P2TUN Kabupaten Indramayu, dan Mohammad Ichwan selaku mantan Wakil Ketua P2TUN Kabupaten Indramayu dan juga mantan Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Indramayu dan Yance.

Terhadap Agung Rijoto Kejaksaan Agung telah menahannya. Rijoto ditahan setelah ditangkap  pada oleh Kejakgung bersama tim dari Kejaksaan Negeri Indramayu. Rijoto ditangkap di kawasan Tanjung Duren Utara Jakarta Barat Rabu (26/02) silam.

Dalam kasus ini, baik Rijoto dan Yance diduga telah menyelewengkan dana dalam pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU I Indramayu yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Panitia pengadaan tanah Indramayu hendak membebaskan lahan seluas 82 ha yang dijadikan PLTU di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu.

Dalam praktiknya, harga jual tanah itu digelembungkan. Harga tanah seluas 82 ha yang semestinya Rp22 ribu per meter persegi tersebut di-mark up hingga menjadi Rp42 ribu per meter persegi. Akibatnya negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp42 miliar.

BACA JUGA: