JAKARTA,GRESNEWS.COM - Salah satu pasal yang dipermasalahkan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut adalah proses inventarisasi yang dianggap mengarah ke proses penyediaan untuk budidaya untuk kemudian diatur dalam tahapan pemanfaatan. Hal ini dinilai akan menguntungkan bagi perusahaan terutama perkebunan seperti sawit dan perusahaan pemegang hak hutan tanaman industri.

Di sisi lain, pengaturan yang berpihak pada pengusaha itu akan merugikan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Hak tenurial dan prosedural mereka atas lahan tanah mereka sendiri akan mudah terampas.

Sejatinya, tahapan Inventarisasi merupakan mandat dari  pasal 11 Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 11 sendiri tidak bisa dilepaskan dari pasal 5,6,7, 8 dan 9 UU PPLH karena pasal 11 sendiri merupakan penjelasan pengaturan lebih lanjut dari pasal 5,6,7,8 dan 9 ke dalam peraturan pemerintah.

Dalam RPP gambut tahapan inventarisasi masuk kedalam salah satu klausul tahapan pada pasal yang mengatur tentang perencanaan perlindungan dan pengelolaan tentang perencanaan yang terdiri dari tahapan inventarisasi, penetapan fungsi ekosistem, dan rencana pengelolaan.

Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi mengatakan, bila disandingkan dengan UU PPLH maksud dan tujuan pada makna inventarisasi di RPP Gambut mengalami pendangkalan. "Mandat penting dari pasal 6 dan pasal 7 UU PPLH tidak diakomodir dengan utuh. Pendangkalan terjadi karena menghilangkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam proses penetapan ekoregion," kata Zenzi dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (31/7).

Dalam penilaiannya, setidaknya beberapa klausul yang dihilangkan adalah kewajiban mempertimbangkan aspek karakteristik bentang alam, sosial budaya, kelembagaan masyarakat dan hasil inventarisasi lingkungan hidup yang utuh sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) UU PPLH. Kewajiban mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan karekteristik alam, pada UU PPLH sudah cukup baik sebagai upaya mempertahankan fungsi dan daya dukung lingkungan dengan mencegah generalisasi perlakuan terhadap lingkungan.

"Selain itu aspek sosial budaya dan kelembagaan masyarakat dapat dimaknai sebagai upaya mengakui dan melindungi esensi kehidupan rakyat yang mempunyai interaksi dan saling terikat dengan lingkungan disekitarnya," ujar Zenzi.

Sedangkan pada Pasal 6 Ayat (2) UU PPLH menekankan beberapa kewajiban mendasar dalam proses inventarisasi ekoregion  juga tidak diakomodir pada RPP Gambut, seperti melakukan inventarisasi terhadap bentuk penguasaan, pengetahuan, bentuk kerusakan hingga konflik dan penyebab konflik.

Aktivis HuMa, Anggalia Putri mengharapkan adanya proses penyelamatan, pemulihan terhadap kawasan kawasan penting tertitip pada penekanan proses inventarisasi. "Perencanaan terhadap perlindungan dan pengelolaan suatu kawasan harus didahului dengan proses identifikasi terhadap bentuk bentuk penguasaan dan bentuk kerusakan. Gunanya untuk memberi informasi dan data yang cukup bagi pemerintah dalam membuat pertimbangan penentuan kebijakan dalam rencana pengelolaan," ucapnya.

Selanjutnya hilangnya proses inventarisasi terhadap bentuk penguasaan, pengetahuan, bentuk kerusakan, konflik dan penyebab konflik di Pasal 6 UU PPLH pada RPP Gambut, selain akan membuat pemerintah dalam hal ini meneteri dan pemerintah daerah mengabaikan kerusakan kawasan gambut yang telah terjadi, juga tidak membuat RPP Gambut menjadi bagian solusi dari konflik dan kerusakan yang sudah terjadi.

Lebih jauh dikaitkan dengan pasal 8 UU PPLH yang mengatur tentang status daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, hilangnya beberapa mandat pada Pasal 6 dan 7 UU PPLH pada RPP Gambut akan membuat RPP ini menjadi pintu cara dan mekanisme pengerusakan baru. "Karena rohnya cenderung mengarah ke proses penyediaan untuk budidaya yang diatur kemudian dalam tahapan pemanfaatan," kata Angga.

BACA JUGA: