JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Ketua Dewan Penasihat (nonaktif) Partai Hanura  Bambang W. Suharto sebagai tersangka pemberian suap terhadap mantan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, Subri. Setelah penyidik berhasil mengumpulkan sejumlah bukti dalam penyelidikan terhadap Subri dan pemeriksaan terhadap bersangkutan. "Penyidik menetapkan BWS sebagai tersangka," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di KPK, Jumat (12/9).

Bambang diduga turut serta memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait jabatannya yaitu kepada Jaksa Subri. Kasus ini menurut Johan, merupakan pengembangan dari kasus sebelumnya yang melibatkan Lusita Ani Razak.


Johan mengatakan, Bambang dijerat pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor tentang pemberian suap. Ancaman maksimal dari pasal tersebut adalah lima tahun penjara. Bambang diduga memberi perintah ke Lusita Ani Razak, petinggi PT Pantai Indah Aan untuk memberikan uang suap kepada Kajari Praya, Subri.

Lusita dan Ani sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka dan divonis bersalah.‎ "Bersama-sama dengan LAR (Lusita Ani Razak) yang saat ini berstatus sebagai terdakwa memberikan uang kepada Kajari Praya," ujar Johan.

‎‎Lusita memberikan uang suap US$ 16.000 dan Rp 23 juta kepada Subri untuk mengurus perkara pemalsuan sertifikat tanah di Praya. Diduga tanah yang dipermasalahkan adalah tanah lahan pariwisata.

Dari investigasi yang dilakukan Komisi Kejaksaan penyuapan itu terkait dengan perkara pidana dugaan pemalsuan sertifikat tanah dengan terdakwa Sugiharto alias Along. Along adalah seorang pengusaha jual beli mobil dan bandar tanah di kawasan Selong Belanak, Lombok Tengah, NTB. Kasus itu saat itu tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Proses sidang kasus itu sendiri telah memasuki babak akhir setelah Jaksa Penuntut Umum Kejari Praya menuntut Along hukuman 2 tahun penjara.

Menurut Komisioner Komjak Kaspodin Nor yang melakukan pemeriksaan akasu itu beberawa waktu lalu, menemukan sejumlah kejanggalan dalam penangan perkara itu oleh pihak Kejari, di antara Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya membacakan surat penuntutan. JPU mengaku tidak tahu menahu siapa yang membuat tuntutan tersebut dan juga surat dakwaan terhadap Along. Padahal, jelas Kaspodin, JPU berhak untuk membuat dakwaan sendiri.

Hal senada disampaikan pengacara Along, John Sidi Sidabutar, kepada Gresnews.com. John merasa janggal terhadap penanganan kasus tersebut, karena laporan baru dibuat setelah 10 tahun sertifikat SHM milik Along diterbitkan. Sementara sertifikat HGB No. 21 itu terbit Oktober 2012. "Seharusnya dibuktikan dulu secara perdata keabsahan kedua sertifikat tersebut, mana yang asli dan palsu. Sebelum mengajukan gugatan Along sebagai pemalsu sertifikat, tapi aneh kasus ini tetap bergulir hingga ke pengadilan," ujar John.

Keanehan lainnya, menurut John, terkait kepemilikan PT Pantai Aan. Selama ini pihak Along mempertanyakan legal standing Bambang W. Soeharto yang disebut selaku pemilik PT Pantai Aan. Sebab berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, akta perusahan tertanggal 15 November 2012 yang tertera sebagai Presiden Direktur PT Aan adalah Rory Cornel, Direkturnya Endang Erawati, Prof. Dr. Adikusno, Dr. Iman dan sebagai komisaris adalah Graham Norman dan H. Mesir Suryadi. "Jadi tidak ada nama Bambang W. Soeharto maupun Lucyta Anie razaq sebagai Direktur," kata John beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: