Tubuhnya kecil namun dia terlihat gesit. Langkah kakinya terlihat ringan tanpa ragu memasuki gang-gang kecil perkampungan pemulung dengan rumah-rumah semi permanen atau lebih tepatnya disebut lapak atau gubuk. Senyumnya sumringah menyapa para penghuni perkampungan tersebut. "Saya dulu juga sama seperti mereka, berasal dari keluarga pemulung," ucap Ratnasari memulai pembicaraan dengan gresnews.com.

Perempuan yang akrab dipanggil Ratna inipun bercerita mengenai kisah hidupnya. Ratna mengajar di sebuah yayasan dengan nama Yayasan Media Amal Islami (MAI) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dari atas bangunan tiga lantai tersebut terlihat deretan rumah gubuk tempat tinggal para pemulung. Dari bangunan yayasan ini, Ratna mengabdikan diri sebagai pengajar muda untuk anak-anak yatim dan duafa dari keluarga pemulung.

Sepanjang perjalanan hidupnya, sudah banyak pengalaman yang ia peroleh. Ratna mengaku gampang-gampang susah mengajar anak-anak ini. Pasalnya, sedari kecil, anak-anak pemulung, sudah mengenal cara mencari uang sehingga sulit diajak belajar. "Mereka sudah terbiasa mencari uang, tepatnya sudah diajarkan orang tuanya untuk mencari uang," kata Ratna.

Karena sudah terbiasa mencari uang, pendidikan pun buat mereka sudah tidak penting lagi. "Itu hal tersulit, mengubah pola pikir anak-anak dan orang tua mereka," ujarnya. Mereka berpendapat, sekolah hanya membuat waktu anak-anaknya mencari uang terganggu. Berbagai usaha ia dan yayasan lakukan, termasuk mencarikan orang tua asuh bagi anak-anak pemulung yang bersekolah di situ.

Selain kesulitan untuk mengubah pola pikir mereka, menurut Ratna, karakter dari anak-anak pemulung juga merupakan hal tersulit yang harus dihadapinya. "Harus ekstra sabar, mereka terbiasa cuek, berbicara kasar, pakaian semaunya," ujar Ratna.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk Ratna bisa beradaptasi dengan anak-anak ini. Hal tersebut bertambah sulit ketika Ratna mendapat penolakan dari orang tua anak-anak pemulung ini. "Orang tua mereka maunya anak-anak ini bisa cari uang terus kawin berkeluarga, tidak perlu pendidikan," ucapnya.

Ratna pun harus pelan-pelan menyakinkan lagi para orang tua mengenai pentingnya pendidikan. "Saya kunjungi rumah mereka satu persatu, berbicara kepada orang tua atau sekadar mengecek kondisi mereka," katanya.

Ratna berusaha untuk memberikan motivasi kepada mereka. Namun terkadang penolakan tetap datang. Dengan berbagai alasan beberapa orang tua menolak tawaran Ratna untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. "Biar anak saya cari uang saja begitu mereka bilang," ucap Ratna.

Ratna tidak putus asa. Usahanya untuk memotivasi terus dijalankan. Ratna yang juga berasal dari anak pemulung namun berhasil menempuh pendidikan hingga bangku kuliah ini menjadikan dirinya sebagai contoh. "Dulu mungkin kalau saya tidak ambil tawaran untuk sekolah atau kuliah mungkin saya sudah seperti mereka, pendidikan secukupnya lalu dinikahkan," ujarnya sambil tersenyum.

Ratnasari, anak dari pemulung asal Karawang ini memang patut dijadikan contoh. Bangkit dari kemiskinan, menempuh jenjang pendidikan yang tinggi tetapi memilih untuk mengabdikan diri sebagai pengajar demi kemajuan anak-anak yang kurang mampu. "Pertama kali saya sebagai santri, juga sama seperti anak-anak ini dulu belajar dan ngaji di lapak pemulung karena bapak ibu kan juga mulung di karawang," ujarnya.

Kemudian Ratna dapat orang tua asuh dibawa untuk tinggal di Jakarta untuk sekolah sampai SMA dengan sistem home schooling. Setelah lulus SMA tahun 2011, anak dari Pasangan Alm. Sukar dan Titin ini kemudian mendapat tawaran untuk bantu-bantu mengajar di yayasan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian sang bapak menderita sakit parah sehingga membuat Ratna terpaksa mencari pekerjaan yang lebih baik. "Nggak ada pikiran lagi untuk kuliah, bapak sakit, ibu sendirian cari uang, punya adik masih kecil waktu itu, saya harus cari uang," ujar Ratna yang merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara.

Ratna pun memperoleh pekerjaan di sebuah kantor di Jakarta, namun tidak berlangsung lama. "Hanya dua bulan, karena tidak suka, berangkat pagi-sore pulang, monoton, merasa bukan kerjaan yang sesuai panggilan hati," ucapnya.

Ratna kemudian mengajukan diri untuk bekerja di Yayasan MAI sebagai tenaga pengajar anak-anak pemulung yang kurang mampu memperoleh pendidikan layak. Kesempatan untuk menempuh pendidikan di bangku kuliah pun tiba. "Orangtua asuh saya mempunyai anak yang menawarkan saya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.

Awalnya Ratna merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut karena merasa harus bekerja mencari uang untuk membantu menyokong kehidupan keluarga. Setelah dipertimbangkan akhirnya Ratna menerima tawaran untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. "Ambil, kesempatan nggak datang dua kali kata orang tua saya," kata Ratna.

Ratna pun akhirnya mengambil gelar diploma di sebuah kampus swasta di Jakarta. Hingga wisuda tiba, ayahnya kembali jatuh sakit. Tak lama setelah itu, ayahnya dipanggil Yang Maha Kuasa. "Jadi sekarang saya saya mengajar umum, baca Al Quran, dan Bahasa Inggris sambil kuliah," jelas Ratna yang kini tengah menempuh jenjang pendidikan sarjana strata satu di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.

"Biasa nya akhir pekan saya kuliah," tuturnya. Ratna sedari dulu memang bertekad untuk keluar dari jerat kemiskinan. Hal tersebutlah yang coba ditularkan wanita berusia 25 tahun ini kepada anak-anak didiknya yang berasal dari kaum tak mampu. "Harus mampu keluar dari lingkungan kemiskinan caranya ya dengan pendidikan, tanpa pendidikan yang baik mereka akan hanya berputar di lingkungan itu saja," tegasnya. (gresnews.com/edy susanto)

BACA JUGA: