Suara alat berat terdengar meraung di sekitar kawasan Bukit Duri, Jakarta SElatan. Suaranya keras memekakkan telinga saat beton sepanjang 6 meter diangkut hilir mudik guna menurap sisi aliran Sungai Ciliwung yang mengaliri kawasan itu. Tak seberapa jauh dari situ di atas gundukan tanah merah sisa galian yang menjulang, segerombolan bocah tengah asik bermain layang-layang atau melepas burung merpati hewan piaraan yang banyak populer di kawasan ini.

Di sisi lain sungai, warga Bukit Duri yang tidak terkena gusuran tampak sibuk merapikan rumah atau sekadar duduk menikmati sore di bantaran kali. Itu lah landskap kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan dua bulan pasca penggusuran. Coretan-coretan bernada protes terhadap penggusuran masih tampak di dinding-dinding kusam tembok rumah warga. Papan larangan untuk masuk ke dalam lokasi bekas penggusuran pun tak diindahkan warga yang hilir mudik diantara alat berat.

Seperti halnya Pia, warga RT 03 RW 11, yang menolak relokasi ke Rumah Susun Rawa Bebek, Jakarta Timur. Wanita berusia 39 tahun yang mengaku berprofesi sebagai penjaga toko ini sejak rumahnya rata dengan tanah, memilih untuk tetap tinggal di kawasan Bukit Duri dengan mengontrak tak jauh dari lokasi rumahnya dulu yang telah tergusur.

Meski harus menyisihkan gaji untuk mengontrak rumah sebesar Rp700 ribu per bulan termasuk listrik, Pia mengaku lebih nyaman dan mudah ketimbang harus tinggal di Rusun Rawa Bebek bersama suami dan seorang anaknya. Pia menolak untuk direlokasi karena kawasan Rusun Rawa Bebek sangat sepi dan jauh dari lokasi tempatnya bekerja. "Suami juga jadi jauh kerjanya, dia ngojek pangkalan itu di depan," ujarnya.

Selain faktor jauhnya Rusun Rawa Bebek dengan tempat Pia dan suaminya mencari nafkah, faktor pendidikan sang buah hati juga menjadi alasan lain yang membuatnya enggan direlokasi ke rumah susun. "Di sana sekolah masih jarang, kalaupun ada jauh dari rusun kasian bocah, banyak warga Bukit Duri yang pada kembali lagi kesini karena anaknya sekolah pada jauh," jelas wanita berkulit putih ini kepada gresnews.com.

Hampir dua bulan pasca penggusuran, kawasan Bukit Duri kini memang terlihat perubahannya. Kawasan yang dulunya dipenuhi rumah-rumah semi permanen yang terkesan kumuh kini mulai tertata. Wajah bantaran Sungai Ciliwung yang dulunya hampir tidak terlihat bentuknya kini mulai nampak.

Kesan positif yang terlihat dari penggusuran kawasan Bukit Duri adalah perubahan yang mulai terlihat cantik. Namun di balik perubahan dan kesan positif tersebut, penggusuran tetap menyisakan derita bagi sebagian warga yang tergusur. Bagi mereka, penggusuran bukan solusi.

Sejak tahun 2013, penggusuran dan relokasi kampung menjadi andalan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai usaha untuk mempercantik atau mentransformasi kampung-kampung terutama di bantaran kali. Selain itu alasan untuk mencegah banjir merupakan faktor utama. Rumah susun pun menjadi andalan sebagai tempat relokasi warga yang tergusur. Namun seiring berjalannya waktu, mayoritas warga kampung yang direlokasi memutuskan pindah dari rusunawa, bahkan terpaksa pindah karena tidak sanggup hidup di rusunawa.

Peraturan yang mengikat warga mengenai biaya sewa dan membuka usaha, serta terputusnya akses pada jaringan dan akses sosial ekonomi membuat warga mengalami penurunan penghasilan dan kualitas hidup secara umum. Kebutuhan ruang ekonomi warga kampung tersebut tidak dapat diwadahi oleh rusunawa. Bagi sebagian dari mereka, rusun belum bisa menggantikan fungsi "kampung" sebenarnya yang menjadi tempat tinggal mereka selama turun-temurun.

Bagi mereka, kampung terikat dengan beragam aktivitas, mulai dari bermukim, berusaha, hingga bersosialisasi dan berkomunitas. Dalam konteks kaum masyarakat urban di kota seperti Jakarta, keberadaan kampung merupakan simbol beragamnya kehidupan sosial dan ekonomi yang mengisi ruang kota. Sebagai simpul dari pertemuan beragam aktivitas, kampung juga berkelindan dengan jaringan dan relasi yang dibangun dalam jangka waktu lama, bahkan lintas generasi. (Gresnews.com/Edy Susanto)

BACA JUGA: