Bidan adalah sebutan bagi orang yang belajar di sekolah khusus untuk menolong perempuan dalam melakukan persalinan. Namun di kawasan Jakarta Barat terdapat seorang bidan yang istimewa dan lain dari biasanya, karena bidan yang satu ini selain menolong perempuan yang akan melahirkan, juga sangat peduli dengan anak-anak yang lahir dengan terinfeksi virus HIV. Ropina Tarigan, demikian nama bidan itu. Orang-orang di sekitarnya, bisa memanggil perempuan berusia 52 tahun itu dengan sebutan Bidan Vina.

Melalui sebuah Yayasan yang bernama Yayasan Vina Smart Era, bidan yang satu ini aktif memberikan perhatian dalam bentuk pendidikan, perbaikan gizi, memantau kesehatan anak-anak yang terlahir dengan kondisi tertular virus HIV. Anak-anak ini tertular virus tersebut karena bawaan dari orang tua mereka yang kebanyakan mantan pengguna narkoba jarum suntik.

Suatu kali, saat gresnews.com berkunjung ke tempat Bidan Vina biasa bertugas, suasana sudah cukup ramai. Belum tepat pukul 10 pagi, satu per satu anak-anak berseragam warna dasar kuning memasuki sebuah bangunan yang tengah dalam tahap renovasi. "Pagi..wah segar-segar kalian semua sekarang," sapa Bidan Vina riang sembari menyalami dan memberikan pelukan hangat kepada anak-anak itu.

Tangannya lalu dengan cekatan mengambilkan nasi berikut lauk-pauk untuk mereka. Tak jarang Bidan Vina harus menyuapi mereka satu per satu. "Makan mereka harus diperhatikan benar, termasuk mengecek persediaan obat mereka," ujar Vina kepada gresnews.com yang menemuinya di rumah yang sekaligus dijadikan markas yayasan tersebut.

Dengan semangat, perempuan setengah baya ini menceritakan awal dirinya terjun menjadi bidan yang merawat Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di kawasan padat penduduk Jakarta Barat. Vina bercerita, pengabdiannya bermula saat dirinya berkenalan dengan seorang profesor dari sebuah universitas swasta di Jakarta yang menemukan bahwa di kawasan tempat tinggalnya merupakan sarang narkoba.

"Beliau banyak melakukan kegiatan-kegiatan untuk pemuda supaya mereka bisa menghilangkan ketergantungan terhadap narkoba," kata Vina. Kemudian, profesor tersebut mengajaknya untuk bergabung dalam program metadon yaitu program pengganti dari ketergantungan obat, program ini merupakan program legal dari pemerintah dan pertama kali diterapkan di kawasan Tambora, Jakarta Barat dan Kecamatan Gambir, serta Kampung Bali, Jakarta Pusat. "Tahun 2007-an di situ awal saya bergelut menangani orang yang terjangkit HIV/AIDS," jelas Vina.

Setelah hampir dua tahun Bidan Vina kemudian diajak bergabung dengan program Lentera Anak Pelangi, program kepedulian terhadap ODHA di sebuah universitas swasta di Jakarta. Program itu sendiri dilaksanakan karena mulai ditemukan kasus kelahiran anak yang terinfeksi HIV karena ada nya laporan dari orang tua yang merupakan pecandu narkoba melaporkan bahwa anak mereka ikut terinfeksi HIV. "Tahun 2008-2009, jumlahnya waktu itu beluk banyak, hanya ada tiga kasus yang dilaporkan di seluruh Jakarta," jelas Vina.

Jumlah tersebut melonjak tajam beberapa tahun kemudian. "Dari awalnya hanya tiga anak yang kita dampingi kini sudah menangani 93 anak dengan kriteria umur antara 0-15 tahun di seluruh DKI dengan wilayah Jakarta Utara yang terbanyak," ungkapnya. Sejak itu dirinya mulai berpikir bagaimana caranya agar jangan ada lagi anak-anak yang terlahir dengan terinfeksi HIV.

Vina yang waktu itu menjadi Ketua IBI (Ikatan Bidan Indonesia) di kawasan Tambora, Jakarta Barat mencoba berbicara dengan teman-teman sesama bidan. "Saya bilang dari data sekarang ini penderita HIV positif adalah ibu rumah tangga, teman-teman tidak percaya termasuk saya sendiri," jelasnya.

Akibat rasa tidak percaya itu, Vina mencoba membuktikan bersama teman-teman sesama bidan kebenaran data tersebut dengan melakukan pemeriksaan terhadap ibu-ibu hamil di salah satu klinik praktik bidan mandiri di kawasan Tambora. Pemeriksaan pun mulai dilakukan dengan alat yang disebut rapid yaitu alat yang bisa mengetahui apakah ibu anak yang sedang di kandung itu terinfeksi HIV atau tidak.

"Ternyata kita temukan ada satu janin yang terinfeksi dari situ saya mulai berpikir jangan-jangan data tersebut benar," jelasnya.

Pemeriksaan pun kemudian dilakukan lagi, kali ini di sebuah rumah sakit ibu dan anak juga di kawasan Tambora. "Ternyata dari 16 ibu hamil yang diperiksa ada dua janin yang terinfeksi, dari situ saya bertambah yakin mengenai kebenaran data tersebut," ungkapnya.

Singkat cerita akhirnya Bidan Vina membuat pelatihan kepada para bidan bagaimana cara mendeteksi dan menangani ibu-ibu hamil  dengan risiko janin terinfeksi virus HIV. Hal tersebut dia lakukan sebagai usaha untuk mencegah dan menekan jumlah anak yang terlahir dengan terjangkit HIV. "Bayangkan jika orang dengan HIV/AIDS, hamil lalu melahirkan anak ternyata anaknya negatif, bahagia banget rasanya," kata Vina dengan mata berbinar.

Vina melanjutkan, setelah melalui semua proses dengan berbagai kendala dan didorong oleh rasa keprihatinan terhadap kondisi anak-anak yang terlahir dengan terinfeksi HIV/AIDS, dirinya kemudian berinisiatif membuat yayasan sendiri dengan nama Yayasan Vina Smart Era pada awal 2015. "Dari 93 anak tersebut saya mengumpulkan sekitar 11 anak yang berasal dari lingkungan terdekat di kawasan Tambora untuk saya dampingi," jelasnya.

Yayasan itu nantinya akan berbentuk asrama, dimana anak-anak tersebut akan menetap, hal tersebut dilakukan agar bisa memberikan perhatian khusus kepada mereka berupa pendidikan, perbaikan gizi sekaligus memantau kondisi kesehatan mereka. Meski pembangunan yayasan ini masih terganjal birokrasi, Vina tidak gentar karena menurutnya kebanyakan anak-anak yang lahir terinfeksi HIV ada yg terganggu fisiknya, daya tangkapnya dan mereka juga kebanyakan sudah tidak mempunyai orang tua karena lebih dahulu meninggal akibat HIV/AIDS.

Ada yang punya ibu tidak punya ayah, ataupun sebaliknya. Bahkan benar-benar yatim piatu sehingga harus mendapatkan perhatian khusus. "Belum lama ini ada salah satu dari anak-anak itu yang meninggal karena kurangnya perhatian," ujar Vina.

Inisiatif mendirikan yayasan tersebut menurut Vina adalah juga untuk menghilangkan diskriminasi terhadap ODHA yang kerap terjadi di masyarakat. "Anak-anak itu tidak tahu apa-apa. Hanya korban kesalahan orang tuanya. Semua orang pernah melakukan kesalahan, dan penyakit tidak pandang bulu, semua orang bisa terinfeksi, jadi mereka harus dirangkul bukan dijauhi atau di didiskrimnasi," ujar Vina. (Edy Susanto/Gresnews.com)

BACA JUGA: