Condet merupakan perkampungan tua di Jakarta yang ditengahnya mengalir Sungai Ciliwung. Bantaran sungainya terhampar perkebunan aneka tanaman buah berkualitas. Tak heran, jika pemerintah menetapkan Condet sebagai cagar budaya sekaligus cagar buah-buahan.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 dan SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, mengesahkan Condet sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi dan Cagar Buah-buahan.

Wilayah cagar budaya dan buah itu membentang dari Jalan Buncit Raya hingga Jalan Raya Bogor. Sepanjang kawasan ini dulunya memiliki pemandangan menakjubkan. Lembah hijau membentang indah, sungai Ciliwung mengalir jernih, udaranya juga menyegarkan.  Namun kini perlahan tapi pasti, hijau dan rimbunnya kawasan bantaran sungai di kawasan Condet akan berubah menjadi hutan beton akibat adanya proyek pemasangan turap sebagai bagian dari proyek revitalisasi Sungai Ciliwung.

Pemerintah berdalih, pembangunan turap (sheet pile), serta betonisasi kanan kiri bantaran sungai adalah untuk menanggulangi banjir. Namun, pemasangan beton itu banyak mendapat tentangan dari pemerhati lingkungan terutama di kawasan Condet karena akan berimplikasi pada habitat alam yang terganggu serta air dari dataran yang akan sulit masuk ke dalam sungai. Pembangunan turap berpotensi menurunkan kualitas ekosistem Ciliwung.

Ketua Komunitas Ciliwung Condet Abdul Kodir menyanyangkan dan menolak proyek betonisasi Sungai Ciliwung ini, terutama di kawasan Condet sepanjang 12 kilometer. Alasannya, proyek itu akan merusak ekosistem Ciliwung. Rencana ini juga ditentang karena dinilai bukan solusi penangkalan banjir.

Analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tak pernah dibeberkan menjadi salah satu alasannya. Kodir menilai, pemerintah kurang melibatkan para akademisi untuk mengkaji baik tidaknya proyek tersebut.

"Turap beton jelas berpengaruh karena itu bukan benda alam, nah seberapa pengaruhnya terhadap ekosistem ya itu tugas dari akademisi untuk cari tahu seberapa besar dampaknya," ujar pria yang akrab dipanggil Bang Kodir itu kepada gresnews.com.

Karena tidak adanya paparan amdal dan kajian ekosistem, Kodir tak mengerti apa tujuan proyek itu. Jika sasarannya penangkalan banjir, Kodir menilai pemerintah tidak tepat sasaran terutama berkaitan dengan betonisasi di Kawasan Condet.

"Awalnya kan kalau boleh dibilang konsep pembangunan turap adalah untuk menanggulangi banjir. Kalau wilayah hulunya enggak diperbaiki ya sama aja, jangan cuma nyalahin masyarakat jadi penyebab banjir. Lah kita masyarakat juga bisa nyalahin pemerintah karena sistem aturannya berubah-ubah, dari awalnya tahun 74-75 Condet adalah kawasan konservasi sekarang malah dibeton," ujarnya dengan logat betawi kental.

Kodir mengharapkan program normalisasi Sungai Ciliwung yang membelah kawasan Condet, dihentikan dan dikaji lebih dalam. Menurutnya, konservasi adalah cara yang tepat untuk program normalisasi Sungai Ciliwung di Kawasan Condet.

"Ini konsep harusnya konservasi, yang rusak kita perbaiki, yang hilang kita coba datangkan lagi. Jadi cagar budaya yang tujuannya konservasi itu ada implementasinya. Kalau sekarang kan enggak, dihajar semua pohonan, yang seharusnya enggak dibeton ya dibeton. Jadi kita enggak tahu soal turap ini kajiannya apa? Apa cuma kajian proyek?" ujarnya.

Kodir kecewa dimulainya pembangunan turap (sheet pile), serta betonisasi kanan kiri bantaran sungai di kawasan Condet, membuat usahanya selama bertahun-tahun untuk menghijaukan kembali kawasan ini menjadi sia-sia. "Sedih aja bertahun-tahun kita di sini tau-tau kayak begini, beton-beton, liat sendiri abrasi semua di Kawasan Condet, ganti saja namanya program normalisasi kali jadi betonisasi," tutup Kodir dengan nada geram.

(Edy Susanto/Gresnews.com)

BACA JUGA: