Matahari belum terlalu terik, sinarnya hangat menembus dari sela-sela perkampungan padat penduduk di Jalan Dr Sitanala, Sewan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Suara anak kecil terdengar riang menyambut dari dalam sebuah rumah sederhana.

"Ini Viola anak saya, istri kebetulan sudah berangkat kerja," kata Maxi Nahak Rodriges (32), tak kalah hangat, sembari mempersilakan gresnews.com masuk ke dalam rumah, belum lama ini.

Di dalam rumah penuh dengan foto-foto sang anak dan istri tercinta. Terasa sekali kalau si empunya rumah merupakan sosok hangat dan sangat mencintai keluarga. Namun tidak ada yang menyangka, di balik sosoknya yang hangat, pria yang akrab dipanggil Max itu menyimpan prestasi terbilang luar biasa dan mengharumkan nama bangsa. Terlebih lagi prestasi tersebut dihasilkan dari cabang olahraga yang tergolong olahraga keras yaitu tinju.

Belum lama ini, lelaki kelahiran Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur itu berhasil merebut sabuk kejuaraan dunia tinju versi WBC Asia kelas menengah (72,5 kg) setelah mengalahkan petinju asal Korea Selatan, Eun-chang Lee, pada Juli 2016 lalu. Prestasi ini tergolong luar biasa, karena dengan fasilitas yang sangat sederhana Max berhasil mempecundangi petinju asal Korea Selatan tersebut di kandang lawan.

Namun sayang di balik prestasi gemilang tersebut Maxi menyimpan kegetiran tersendiri akibat minimnya perhatian dari pemerintah. Kepada gresnews.com yang menemuinya beberapa waktu lalu, Maxi menceritakan perjalanan hidupnya, mulai dari hidup merantau hingga berhasil menjadi juara Asia.

"Awalnya saya ke Jakarta ada teman di Grogol, waktu itu 1 Desember 2008, sempat seminggu di Grogol lalu saya ke Sangiang, Balaraja, dan jadi supir angkot hampir sebulan. Narik angkot sepi, angkotnya banyak penumpangnya gak ada," kata Maxi memulai pembicaraan.

Maxi melanjutkan, di sela-sela waktu menjadi pengemudi angkot, dirinya bertemu dengan seorang teman sesama supir angkot. "Kita ngobrol-ngobrol, ia cerita kalau habis antar teman latihan tinju di sasana tinju Trisakti Bogor. Lalu saya tanya kalau masuk tinju bayar berapa? Teman itu bilang gak bayar, gratis. sampai nanti berlatih, kalau sudah bertanding baru dipotong fee honornya," ujar lelaki berpostur tinggi tegap tersebut.

Sang teman tersebut lalu menawarkan diri untuk mengantarnya ke sasana tinju. "Di sana saya bertemu manajer saya sampai sekarang, Wempey Henukh, yang memperbolehkan saya bergabung tahun baru 2009," kenang Maxi.

Lalu pada Maret 2009, dirinya mendapat tawaran untuk bertanding di kelas 63 kg melawan Irwan Suryadi dari Bandung. Maxi pun bersiap dan berlatih hingga pada 20 April 2009 tiba waktu bertanding. "Pada ronde pertama saya pukul jatuh dia, ronde kedua jatuh lagi hingga akhirnya dia gak mau lanjut bertanding, saya pun menang KO," ujarnya.

Setelah kemenangan pada debutnya di kancah tinju profesional tersebut, membuatnya semakin yakin bahwa tinju merupakan jalan hidupnya. "Honornya waktu itu Rp1,5 juta, dibagi 40 persen untuk manajer dan pelatih, 60 persen untuk saya," kenang Maxi.

Setelah itu langkah Maxi di dunia tinju profesional semakin terbuka. Kemenangan demi kemenangan terus diraihnya. Maxi tak terkalahkan di kancah tinju nasional hingga memperoleh gelar juara sejati di kelas 66 kg selama 4-5 tahunan. Kemudian di kelas 69 kg pun Maxi merajai ring.

Kesempatan untuk bertanding di kancah tinju internasional pun akhirnya tiba. "Saya ditawari untuk bertanding di kelas 72 kg middle weight lawan orang Korea Selatan, Eun-Chang Lee, bertanding di Singapura dengan bayaran dolar yang kalau dirupiahkan sekitar Rp13 juta," lanjut Maxi.

Tawaran tersebut awalnya sempat ditolaknya, namun setelah berkoordinasi dengan sang manajer yang mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut karena menurut sang manajer, yang juga merupakan mantan petinju itu, adalah kesempatan emas. Maxi pun akhirnya menerima tawaran tersebut.

Namun di tengah persiapan untuk bertanding di Singapura tersebut, datang kesempatan lagi untuk bertanding di Australia pada 27 Mei, bertanding 8 ronde di kelas yang berbeda yaitu kelas 69 kg dengan bayaran Rp13 juta. "Saya pun berlatih dan berangkat ke Australia, namun setelah seminggu di sana pertandingan batal hingga kita pulang ke Indonesia kembali berlatih untuk bertanding di Singapura," jelasnya.

Namun lagi-lagi di tengah persiapan, Maxi mendapat kabar kalau pertandingan melawan Eun-Chang Lee yang semula akan dilangsungkan di Singapura dipindah bertanding di Korea Selatan. "Di situ saya berpikir ini akan berat karena bertanding di Korea Selatan berarti bertanding lawan petinju tuan rumah, kalau di Singapura kan di tempat netral, dari situ saya punya prinsip bahwa saya harus menang KO karena kalau saya hanya mengincar menang angka sangat tidak mungkin melawan petinju tuan rumah," ujar Maxi.

Pada 15 Juli 2016, Maxi pun berangkat ke Korea. "Dan pada 17 Juli saya bertanding, tepat pada hari ulang tahun saya," ujarnya. Maxi bercerita, di awal pertandingan dirinya selalu mendapat cemoohan dari penonton tuan rumah. Namun saat memasuki ronde ketiga keadaan berbalik.

"Saya pepet dia di sudut ring, kena jab dan straight hingga terjatuh dia, meski sempat bangun, mungkin karena gengsi sebagai petinju tuan rumah, namun jatuh lagi dia hingga akhirnya wasit memutuskan untuk menghentikan pertandingan dan saya menang KO," cerita Maxi bangga.

Maxi pun akhirnya bisa merebut gelar juara dunia tinju versi WBC Asia kelas menengah (72,5 kg) dari tangan petinju tuan rumah yang jauh lebih diunggulkan. Rasa senang dan bangga menyelimuti diri Maxi saat berada di negeri gingseng itu.

Namun keadaan yang berbeda saat dirinya tiba di tanah air, minimnya sambutan dan perhatian dari pemerintah atas prestasi yang berhasil ditorehkannya menyisakan rasa kecewa dan keprihatinan. "Sampai sekarang perhatian pemerintah daerah maupun pusat tidak ada sama sekali, berbeda dengan cabang olah raga lain seperti balap mobil atau bulutangkis yang disanjung-sanjung, dicarikan sponsor, sedangkan saya satu pun tidak ada yang melirik," ujar Maxi.

Kekecewaan Maxi memang berdasar, perhatian dan fasilitas yang diimpikannya hingga saat ini sama sekali tidak diperolehnya. Sasana Sasando tempatnya berlatih sekarang pun jauh dari kata layak. Alat latih berkarat dan berdebu, tempat latihan bercampur dengan hewan ternak. Bahkan sasana yang telah membesarkan namanya tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sasana Kandang Ayam.

"Itu yang membuat saya sedih karena saya sama-sama bertanding mengharumkan nama bangsa, saya kibarkan merah putih di negara orang," ujar Maxi yang juga berprofesi sebagai tenaga keamanan untuk menyambung hidup itu.

Lelah menanti datangnya perhatian dari pemerintah daerah maupun pusat terhadap dunia tinju yang telah mengharumkan nama bangsa pada akhirnya tidak dipedulikan lagi oleh Maxi. "Akhirnya saya pun bersikap masa bodoh, diperhatikan atau tidak saya tetap bersyukur dan bersemangat karena hobi dan cinta saya di dunia tinju agar bisa meraih prestasi," ucap Maxi penuh semangat. (Edy Susanto/gresnews.com)

BACA JUGA: