Sorot mata Subhan Nawawi (23) berubah redup, tak lagi tajam. Rasa ketakutan sedikit tersirat. Bahasa tubuhnya terlihat gugup dan terasa tak nyaman. Ingatannya telah meanggil kembali peristiwa 11 Maret 2017 lalu. Saat itu, sekelompok aparat kepolisian menggeruduk sebuah pos tepat di pintu masuk pantai Pasir Perawan Pulau Pari. Penangkapan pun terjadi, dilakukan oleh sejumlah 50 aparat kepolisian bersenjata lengkap laras panjang dari Polres Kepulauan Seribu.

Subhan Nawawi yang sehari-hari berprofesi sebagai penjaga wahana permainan tembak-menembak atau paint ball di lokasi pantai ikut tertangkap bersama lima orang rekannya yaitu Mustagfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, Irwan, Martono dan Syahril seorang anak berusia 14 tahun. Mereka ditangkap dengan tuduhan telah melanggar Pasal 368 KUHP tentang Pungutan Liar alias pungli. Tuduhan itu dilayangkan lantaran warga memungut biaya masuk ke Pulau Pari bagi para wisatawan.

Subhan jelas kaget dituduh melakukan pungli. Padahal sesuai dengan UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, masyarakat lokal memiliki hak untuk mengelola wilayahnya. Saat kejadian, lelaki yang akrab di panggil Subhan itu mengaku tengah duduk di sebuah warung yang letaknya tak lebih dari 100 meter dari loket masuk ke wilayah Pantai Pasir Perawan.

"Waktu itu lagi sepi, lalu ada dua orang, wanita dan pria yang mau main paint ball, posisi mereka sudah ada di pintu loket yang kebetulan ada teman-teman saya yang memang bertugas menjaga pintu loket," cerita Subhan saat berbincang dengan gresnews.com di Pantai Pasir Perawan, beberapa waktu lalu.

Subhan melanjutkan, kedua orang pengunjung tersebut menanyakan biaya yang harus dikeluarkan untuk permainan paint ball tersebut. Setelah dijelaskan, kedua orang tersebut setuju dan meminta izin untuk memanggil rekan-rekanya yang lain untuk ikut bermain dengan alasan agar permainan lebih seru. "Saya pun ikut duduk di loket masuk pantai karena menunggu mereka kembali kan," ujarnya.

Tak lama kemudian pengunjung tersebut datang kembali dengan membawa tiga orang temannya. "Berlima mereka datang lagi, cewe dua dan 3 orang pria, kemudian transaksi tiket dilakukan setelah itu kita langsung ditangkap," kisah Subhan.

Subhan bersama ke-5 orang rekannya pun digelandang ke kantor polisi terdekat untuk dilakukan pemeriksaan. Saat digelandang menuju dermaga Pulau Pari, Subhan melihat barisan petugas kepolisian bersenjata laras panjang telah memenuhi dermaga. "Banyak polisi di dermaga, senjata laras panjang kayak mau nangkap teroris," tambahnya.

Setelah dilakukan pemeriksaan, Subhan memang akhirnya dibebaskan polisi bersama dua orang rekannya Irwan dan Syahril, tetapi tiga orang rekanya yang lain ditetapkan sebagai tersangka dan mendekam di ruang tahanan polisi sampai saat ini menunggu proses persidangan karena dianggap terlibat praktek pungutan liar dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara.

Meski bebas, Subhan mengaku masih shock dan khawatir akibat kejadian tersebut. "Saya dibebaskan, disuruh membuat BAP aja," ujar Subhan mengingat kejadian di Sabtu pagi tersebut. Protes dan perlawanan warga pun datang, warga menduga penangkapan tersebut merupakan bentuk krimininalisasi dan menuntut agar aparat segera membebaskan rekan-rekan mereka yang masih di tahan aparat kepolisian.

Pasalnya, pulau tersebut tengah dalam status sengketa antara warga dengan PT Bumi Pari Asih. Perusahaan tersebut mengklaim kepemilikan 90 persen atas Pulau Pari seluas 40,3 hektare. Meskipun hal tersebut pernah dibantah oleh Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo.

Sebelumnya, polisi juga menangkap dan menjebloskan ke penjara seorang warga Pulau Pari bernama Edi Priadi dan telah divonis empat bulan penjara karena dituduh menyerobot lahan. Edi dituding memasuki pekarangan tanah perusahaan PT Bumi Pari Asri. Warga menolak keras tuduhan telah terjadi penyerobotan tanah di wilayah Pulau Pari yang telah mereka tinggali selama lima generasi turun-temurun.

Warga juga menolak tuduhan adanya praktik pungutan liar di kawasan Pantai Pasir Perawan. Pantai perawan sendiri di buka dan di kelola masyarakat karena sulitnya mengandalkan pendapatan mereka dari hasil melaut dan budi daya rumput laut. Dalam perkembangannya sebagai objek wisata memang tidak ada sedikitpun campur tangan pemerintah daerah, dalam pengembangan dan kepengurusan di wilayah pantai yang dibuka sejak tahun 2010 tersebut.

Masyarakat membuka pantai yang sebelumnya hutan belukar, membersihkan dan mengelola bersama hingga menjadi salah satu tempat wisata terbaik di kepulauan seribu. Menurut Salbi (43) seorang masyarakat yang telah aktif merawat Pantai Pulau Pasir Perawan sejak awal di buka mengatakan warga dalam melakukan kegiatannya, tidak pernah sedikitpun melakukan upaya-upaya yang berbau kekerasan terhadap pengunjung dalam meminta sumbangan donasi tersebut.

"Kami narik iuran pengunjung Rp5000 rupiah itu pengunjung bisa sampai malam orang bisa bakar ikan terus sampahnya yang bersihin siapa memangnya kalau bukan masyarakat sini?" ujarnya sedikit emosional.

Adapun tiket yang dibuat, menurut Salbi merupakan suatu upaya warga untuk melakukan pendataan beberapa pendapatan yang diperoleh di pantai perawan. Yang dimana hasil dari tiket yang dimaksud mereka menyalurkan ke masjid dan anak-anak yatim pulau di Pulau Pari. Sementara itu, Ketua RT 01 RW 04, Pulau Pari Edi Mulyono mengatakan, ada kejanggalan atas klaim Perusahaan Bumi Pari Asih.

"Warga pulau pari tidak pernah menjual tanah sedikitpun kepada pihak manapun kok bisa BPN (Badan Pertanahan Nasional) mengeluarkan sertifikat, apa maunya pemerintah sebenarnya?" ujarnya.

Edi menuturkan mereka memiliki sertifikat girik dan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun, pada 1980-an pihak kelurahan menarik semua sertifikat girik warga dengan alasan akan diperbaharui. Namun, hingga saat ini pembaharuan tersebut tidak diberikan kelurahan. Bahkan menurutnya kini ada warga yang harus membayar sewa kepada perusahaan jika ingin tetap tinggal di lahan mereka yang diklaim oleh perusahaan.

"Tidak bisa memperbaiki atau membangun rumah kalau tidak bayar sewa, kalau melanggar akan dibongkar, aneh dari lahir disini kok di suruh sewa," ucap Edi.

Saat ini penduduk Pulau Pari mencapai 1.000 orang atau sekitar 350 keluarga. Mereka tinggal di Pulau Pari turun temurun sepanjang lima generasi. Namun Kini, hampir seluruh lahan yang ditempati warga di Pulau Pari, diklaim milik PT Bumi Pari Asri/PT Bumi Raya.

Menurut informasi, klaim perusahaan tersebut berkaitan dengan rencana akan dibangunnya hotel dan pembangunan itu otomatis memblokade fasilitas mata pencaharian warga seperti pantai pasir perawan. "Padahal perusahaan tidak boleh memiliki hak tanah dan hanya memiliki hak guna usaha," jelasnya.

Edi menyesalkan berlarut-larutnya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di tanah kelahiranya karena juga berpotensi menyebabkan masyarakat di Pulau Pari terbelah. "Ada yang pro dan ada yang kontra, masyarakat yang pro inilah yang telah membangun komunikasi dengan PT Bumi Pari Asri," ungkapnya.

Sengketa tanah antara PT Bumi Pari Asri dengan masyarakat Pulau Pari memang semakin memanas, masyarakat Pulau Pari yang telah tinggal turun-temurun di pulau ituun terancam terusir. Yang lebih mengkhawatirkan Keberadaan PT Bumi Pari Asri juga berpotensi menyebabkan terjadinya benturan di kalangan masyarakat Pulau Pari itu sendiri. (Gresnews.com/Edy Susanto)

BACA JUGA: