Pekikan membahana, bercampur suara serak dan emosional keluar dari mulut puluhan imigran di depan kantor The United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk Indonesia di Jl. Kebon Sirih Jakarta Pusat. "Tidak ada bantuan, tidak ada pekerjaan, tidak ada penempatan, kami juga manusia!", teriak para imigran asal Timur Tengah ini sembari mengangkat poster berisi tuntutan kepada lembaga badan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini.

Raut muka lelah tampak di wajah para pencari suaka ini yang selama 3 hari berturut-turut telah berunjuk rasa di depan kantor UNHCR. Mereka menuding UNHCR lamban mengurus persoalan mereka untuk bisa menetap di negara ketiga.

Sebagian besar pengungsi itu berasal dari Afghanistan. Kebanyakan adalah orang-orang suku Hazara yang beraliran Syiah. Mereka terancam keselamatan hidupnya karena menjadi buruan Taliban dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang menganggap Syiah aliran sesat.

Selain imigran asal Afghanistan, bergabung bersama mereka memprotes UNHCR dalam unjuk rasa itu para pencari suaka asal Sudan, Irak dan Somalia yang juga terpaksa hengkang dari tanah kelahiran akibat konflik berkepanjangan di negerinya. Sebagian besar dari para imigran telah menetap bertahun-tahun di Indonesia, tanpa ada kejelasan mengenai nasib mereka.

Mereka terpaksa hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, tanpa persediaan makanan, minuman yang cukup. Kebutuhan konsumsi mereka dapatkan dari rasa simpati masyarakat. Untuk sekedar tidur pun para imigran ini tidak bisa mendapatkan tempat berlindung yang layak. Mereka hanya tidur di sepanjang trotoar sebuah perkampungan yang berada di belakang kantor UNHCR.

Nasib mereka bertambah buruk kala hujan datang."Tidur di jalan, abis duit makan dari sisa orang, tidur kadang pindah di monas. Kalau hujan tidak bisa tidur, selalu di usir sana sini," ujar Husein (24 tahun) pengungsi asal Afghanistan dengan Bahasa  Indonesia yang mulai fasih, saat ditemui gresnews.com, di tepi trotoar depan rumah seorang warga.

Husain mengaku sebagai imigran telah menetap di Indonesia selama 4 tahun. "Sejak 2013, aku Taliban, ibu dan adik sudah tidak ada karena perang tinggal istriku masih di sana tidak tahu nasib nya," ujarnya dengan raut muram.

Husein menceritakan jalan hidupnya hingga bisa terdampar di Indonesia sebagai pengungsi atau imigran."Aku naik pesawat dari Afganistan ke Malaysia. Lalu dari Malaysia naik perahu kecil  isi seratus orang dalam perahu, gak punya apa-apa, barang-barang semua di buang ke laut," tuturnya.

Uang yang dibawanya sebesar US$ 14 ribu dollar pun ludes untuk membiayai perjalanannya ."Afghanistan ke Malaysia US$ 900 untuk pesawat lalu masuk Malaysia dengan visa pelajar bayar US$500," jelas pria berperawakan kurus ini.

Setibanya di Malaysia, Husein memutuskan untuk menuju Indonesia negara yang diyakininya dan juga oleh sebagian besar pencari suaka yang kini terdampar di Indonesia sebagai negara ideal untuk memperoleh suaka karena waktu tunggu mendapatkan suaka yang di anggap relatif singkat. Dengan membayar 200 dolar perorang, ia berlayar menggunakan perahu kecil sampai di Medan.

Menurutnya, walaupun kini dirinya sudah mendapatkan kartu identitas pengungsi, namun hidupnya tidak juga berubah. Hak suakanya pun tak kunjung diberikan oleh UNHCR. Hak suaka itu meliputi uang saku, pekerjaan, tempat tinggal sementara sebelum dikirim ke negara tujuan. "Mereka suruh sabar, saya capek menunggu, sampai kapan tidak tahu hanya Tuhan yang tau, tidak ada kerja, uang atau apa pun lagi," keluhnya.

Husein berharap suaka yang telah di nanti-nantikan selama bertahun-tahun akan segera terwujud, sehingga dirinya bisa beraktivitas normal seperti orang lain."Aku hanya mau hidup normal itu saja, tidak lebih," ujarnya pasrah.

Kisah berbeda dialami Salim, pengungsi 37 asal Irak. Salim meninggalkan Irak akibat perang yang terus berkecamuk. Salim yang telah hidup sebagai imigran selama 5 tahun ini sedikit beruntung karena telah memperoleh visa untuk pergi ke Amerika. Namun gara-gara kebijakan baru Presiden Donald Trump baru-baru ini soal imigran membuat dirinya harus kembali merasakan hidup terlunta-lunta di Jakarta.

"Aku sudah dapat visa ke Amerika, sudah beli tiket pesawat tapi tiba-tiba mereka cancel di suruh tunggu lagi sampai sekarang sudah 5 bulan. Saya tanya, kenapa mereka tidak kasih jawaban," katanya kesal.

Keputusan Presiden Donald Trump yang melarang masuk warga dari  tujuh negara berpenduduk muslim ke Amerika Serikat, di mana Irak adalah salah satu negara yang masuk dalam daftar negara terlarang, membuat pencari suaka seperti Salim terjebak dalam penantian tak berujung di Indonesia. Tanpa pekerjaan dan kejelasan nasib hingga perlahan harapan semakin sirna. Impiannya untuk merasakan "American Dream" pun terpaksa kembali tertunda, entah sampai kapan.

BACA JUGA: