Proyek reklamasi di Teluk Jakarta lama tak terdengar kabarnya, seolah hilang dari pemberitaan media masa nasional. Dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) DKI Jakarta masih tersendat-sendat dalam menggodok rancangan peraturan daerah (Raperda) yang akan menjadi bagian dari perangkat hukum bagi kelanjutan proyek itu. Padahal Raperda sudah kembali dimasukkan dalam daftar program legislasi daerah (Prolegda) sejak Januari 2017.

Terlebih lagi setelah dibayang-bayangi kasus suap, gugatan hukum oleh para nelayan, kelanjutan proyek reklamasi pantai Jakarta boleh dikatakan di ujung tanduk. Muncul usulan dari berbagai pihak agar proyek reklamasi itu dihentikan, sama seperti pembangunan komplek olahraga Hambalang di Bogor, Jawa Barat.

Usulan tersebut muncul karena menilai dua proyek itu sama-sama merupakan proyek berbau korupsi. Jika reklamasi akhirnya mangkrak seperti Hambalang, kerugian yang ditimbulkan menjadi resiko pemerintah. Temuan korupsi di proyek Hambalang bermula saat KPK menyelidiki proyek yang menelan dana negara Rp 2,5 triliun tersebut tahun 2011.

Kasus itu kemudian jadi terbuka ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang ditangkap, membeberkan adanya praktik korupsi tersebut. Sejumlah nama pun terseret, mulai dari pengembang hingga orang-maupun orang di lingkaran pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY), yang menjadi Presiden RI saat itu. Sebut saja mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, Direktur Operasional PT Adhi Karya Tengku Bagus Muhammad Noer, Dirut PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, dan sejumlah nama lainnya.

Tak berbeda jauh, aroma korupsi yang menjadi awal carut-marut proyek reklamasi Teluk Jakarta dimulai dari masalah pemberian pelaksanaan izin reklamasi salah satu pulau oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Izin itu kemudian digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penggugatnya adalah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) melalui kuasa hukumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Nelayan merasa, reklamasi antara lain menghilangkan wilayah tangkap ikan, merusak lingkungan dan ekosistem. Gugatan terkait Surat Keputusan (SK) Pemberian Izin Reklamasi Teluk Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dimenangkan oleh majelis hakim. Pihak pengembang pun menyatakan banding atas putusan ini. Isu reklamasi semakin panas ketika Ketua Komisi D DPRD DKI Mohammad Sanusi ditangkap tangan KPK karena diduga menerima suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APLN) Ariesman Widjaja.

Pemberian dugaan suap tersebut diduga terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. KPK menetapkan Sanusi dan Ariesman Widjaja sebagai tersangka. Dua orang lain dicekal berpergian ke luar negeri yakni  staf khusus gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sunny Tanuwidjaja dan Chairman Agung Sedayu Group Sugiyanto Kusuma alias Aguan. Menjadi pertanyaan apakah reklamasi akan dihentikan?, hanya waktu yang menjawab. Namun, jika proyek pembangunan 17 pulau, yang dikerjakan swasta dan BUMD, itu tidak dilanjutkan, Pemprov DKI akan kehilangan potensi keuntungan. Sementara pulau yang sudah muncul terancam jadi masalah lingkungan jika mangkrak.

Gresnews.com belum lama ini memotret situasi proyek reklamasi pantai Jakarta tepatnya di Pulau C dan D hasil reklamasi di Pesisir Utara Jakarta, tidak banyak aktivitas pembangunan yang terlihat di pulau buatan ini,hanya beberapa orang petugas keamanan terlihat berjaga dan mengawasi setiap pengunjung yang datang, bangunan ruko-ruko yang sebagian telah berdiri pun mulai terlihat tidak terawat, alat-alat dan material bangunanpun terlihat berserakan di sudut pulau. (Edy Susanto/gresnews.com)

BACA JUGA: