JAKARTA, GRESNEWS.COM - Akhir pekan lalu, DPR memutuskan terpidana hukuman percobaan atau terpidana yang tidak dihukum penjara boleh mendaftarkan sebagai calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 mendatang. Putusan itu diambil DPR dalam Rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri dan penyelenggara pemilu (KPU).

Berdasarkan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) putusan RDP tersebut mengikat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga kendati tak sepakat dengan putusan DPR itu KPU harus melaksanakan putusan tersebut. Sebab aturan mengharuskan setiap peraturan yang dibuat KPK harus melalui konsultasi dengan DPR.  

Wacana boleh tidaknya terpidana percobaan ikut dalam pilkada sempat menjadi perdebatan yang alot dalam RDP tersebut. Namun dominasi kekuasaan DPR akhirnya memutuskan terpidana hukuman percobaan boleh ikut pilkada. Putusan itu pun menimbulkan pro kontra dan kecaman masyarakat.

KPU sendiri tak bardaya mengikuti kehendak DPR untuk meloloskan terpidana bisa menjadi calon dalam kontestasi pilkada. Padahal KPU memiliki pandangan yang berbeda dari DPR terkait aturan terpidana percobaan boleh ikut kandidat pilkada.

Menurut Komisioner KPU Ida Budhiati keputusan DPR membolehkan terpidana percobaan ikut Pilkada,  telah memperluas pemaknaan terpidana. Pasal 7 ayat 2 huruf g. "Artinya DPR menambahkan norma dalam pasal tersebut," kata Ida Budhiati, dalam diskusi bertajuk "101 PILKADA: Ahok, Mukidi, Calon Petahana hingga Terpidana" Jumat (16/9) di Jakarta Selatan.

Ia mengaku telah menjelaskan alasan KPU terkait klausul pasal tersebut kepada DPR. Menurutnya, apa pun putusan pengadilan  hukumannya tetap dia sebagai terpidana dan tidak menghapus statusnya sebagai terpidana. Sedangkan pasal tersebut tidak membolehkan, namun pasal tersebut kemudian ditafsirkan berbeda oleh DPR dengan pengecualian.

Sebelumnya, KPU, Komisi II DPR RI  dan Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) memutuskan terpidana percobaan diperbolehkan mengikuti Pilkada 2017 mendatang. Keputusan itu kemudian dituangkan KPU ke dalam Peraturan KPU Nomor 9 tentang Pencalonan dalam Pilkada.

Dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf f adalah Warga Negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota dengan memenuhi persyaratan:

"Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih,".

Ia menjelaskan, dalam perumusannya sempat terjadi perbedaan tafsir antara KPU dan DPR RI soal frase "terpidana". DPR menilai perlunya menafsirkan kata terpidana dengan beberapa pengecualian. Sedangkan KPU menganggap frase itu telah final dan tak perlu ditafsirkan. Namun akhirnya KPU dan DPR memutuskan membolehkan terpidana sebagai kandidat dalam pilkada.

MENYANDERA KPU - Pengamat etika dan komunikasi politik Benny Susetyo mengatakan, putusan PKPU Nomor 9 itu sebenarnya justru telah menyandera independensi KPU oleh kekuatan superioritas DPR. Namun begitu, Benny meminta KPU untuk melakukan perlawanan atas dominasi DPR terhadapnya.

"Demokrasi sebenarnya ada dalam ancaman karena kebuntuan dalam ruang publik untuk melawan superioritas," ungkap pria yang kerap disapa Romo Benny.

Membolehkan terpidana percobaan dalam kontestasi pilkada, bagi yang kontra bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (7) UU Pilkada. Dalam pasal tersebut, membolehkan mantan terpidana yang telah diputuskan melalui putusan pengadilan yang inkracht. Sementara terpidana percobaan tidak secara normatif berstatus sebagai terpidana sehingga diperbolehkan.

Lebih jauh dia melihat ada kebuntuan publik untuk melakukan resistensi terhadap kekuatan DPR atau instansi pemerintah lainnya. Romo Benny mencontohkan pada sandera politik yang dilakukan DPR terhadap KPU. Selama ini, perlawanan masyarakat terhadap kekuatan politik yang superior tak pernah berhasil.

"Tidak hanya kasus KPU tapi reklamasi, penggusuran juga begitu," imbuh Romo Benny. Dalam konteks itu maka kemunculan dagelan Mukidi menjadi ekspresi publik atas kejenuhan realitas yang semakin sulit yang direspons oleh pemerintah terutama DPR.

Ida Budhiati sendiri menegaskan akan melanjutkan gugatan KPU untuk Judicial Review Pasal 9 A Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) yang beberapa waktu lalu sempat tertunda. Pengajuan itu, kata Ida, bukan menempatkan KPU sebagai lembaga yang konfrontatif dari DPR sebagai pembuat undang-undang, tapi ingin menjaga agar kemandirian KPU tetap terjaga.

Lebih jauh Ida menyatakan, proses tersanderanya KPU dalam pembuatan peraturan KPU akan berakibat pada legitimasi publik terhadap hasil pilkada. Padahal, legitimasi merupakan modal bagi KPU untuk menghasilkan pemilihan yang legitimate di mata publik. "Kami selesaikan dulu 9 PKPU dan itu sudah selesai. Dalam waktu relatif dekat akan menyerahkan permohonan kami ke MK," ujar Ida.

Hal yang sama juga diungkap Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo. Dia menilai DPR terlalu angkuh sebagai wakil rakyat untuk menjalankan amanah rakyat. Proses politik dalam pengambilan keputusan PKPU tersebut memperlihatkan bahwa DPR tidak menempatkan posisinya selaku wakil rakyat dengan mengintervensi aturan-aturan yang pada level teknis.

"DPR selaku wakil rakyat semakin jauh dari etika politik dan semakin jauh dari politik kenegaraan. Dalam kasus PKPU ini KPU tersandera sebagai lembaga yang mandiri," kata Ari.

Menurutnya, proses pengambilan keputusan itu hanya menjadi ajang tukar guling kepentingan sesama partai politik. Namun begitu, dia berharap warga juga mencermati posisi partai politik dalam pertarungan pengambilan keputusan PKPU.

"Pemilu nanti akan menjadi pengadilan politik bagi kita kepada politisi. Terutama  partai politik yang selama ini mengkhianati amanat rakyat," tukas Ari.

BACA JUGA: