JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah menunda rencana kebijakan pengenaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi pengguna jalan tol per 1 April 2015. Penundaan tersebut berdasarkan permintaan Presiden Jokowi. Dengan adanya penundaan pengenaan PPN sebesar 10 persen, bagaimana alternatif pemerintah untuk mencapai target pajak sebesar Rp1.489 triliun?

Menanggapi hal itu, pengamat perpajakan Ronny Bako menilai pemerintah kurang matang dalam perencanaan perolehan penerimaan negara dari sumber-sumber baru perpajakan. Seharusnya, ketika DPR dan pemerintah menyetujui target penerimaan negara sebesar Rp1.489 triliun maka pemerintah sudah menyiapkan perolehan pendapatan dari sumber yang sudah ditentukan.

Pemerintah pun menyebutkan dua sumber baru sebagai tambahan seperti pengenaan PPN 10 persen bagi pengguna jalan tol dan pengenaan bea materai bagi konsumen yang bertransaksi di atas Rp250 ribu di toko retail. Dua sumber penerimaan itu mendapat tentangan dari masyarakat hingga dibatalkan.

"Berarti dari segi perencanaan pemerintah kurang baik dalam perencanaan sumber-sumber perpajakan," kata Ronny kepada Gresnews.com, Jakarta, Minggu (15/5).

Menurutnya, dengan penundaan penerapan PPN sebesar 10 persen kepada pengguna jalan tol, pemerintah sebaiknya melakukan intensifikasi. Dia menjelaskan pemerintah harus melakukan pengawasan dan pemeriksaan bagi wajib pajak yang belum terdaftar dan belum menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak karena memiliki potensi yang cukup besar untuk penerimaan negara.

Dia menuturkan saat ini ada 30 juta wajib pajak namun hanya 10 juta wajib pajak yang melaporkan SPT-nya kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Jika pemerintah fokus untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepada wajib pajak, kemudian 50 persen dari 30 juta wajib pajak yaitu sebesar 15 juta menyetorkan pajak tentunya penerimaan negara semakin besar.

"Jika 10 juta wajib pajak dikali Rp100 juta itu sudah berapa penerimaan negara. Seharusnya pemerintah kejar 20 juta wajib pajak yang belum setor ke negara," kata Ronny.

Sementara itu, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan untuk memenuhi target pajak tersebut, pemerintah harus menargetkan pungutan pajak kepada kelompok atas atau yang memiliki penghasilan tinggi. Jadi sasarannya adalah transaksi-transaksi yang hanya bisa dikonsumsi oleh ekonomi kelas atas seperti kepemilikan rumah mewah, mobil mewah, pembelian tanah dalam luas tertentu, kemudian dalam transaksi keuangan.

Kemudian sasaran berikutnya, pungutan pajak bagi profesi-profesi seperti artis, dokter, konsultan, notaris dan arsitek. Menurutnya, pengawasan pemerintah kepada profesi tersebut masih belum maksimal. Apalagi kelompok atas dan kelompok profesi dinilai dapat menyumbang hingga puluhan triliun.

"Nah saya kira itu lebih memungkinkan untuk jadi sasaran karena kalaupun dikenakan mereka tidak terganggu secara kemampuan ekonomi," kata Yustinus.

BACA JUGA: