JAKARTA, GRESNEWS.COM - Produk sawit Indonesia tengah jadi sorotan dunia lantaran proses produksinya dikaitkan dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Salah satunya diduga dilakukan PT Rezeki Kencana, Tianjin Joulong Group, yang telah menyerobot sekitar 2600 hektare lahan milik masyarakat Desa Kampung Baru dan Desa Jangkang II Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Perusahaan ini merupakan salah satu pemasok Wilmar Group yang bergerak dibidang agribisnis dan industri terkait.

PT Rezeki Kencana masuk ke wilayah Kampung Baru, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada 2007 lalu. Namun perusahaan ini diindikasikan tanpa melakukan sosialisasi dengan warga. Akibat tidak berjalannya proses Free, Prior, Informed and Concent (FPIC), sebagian besar warga tidak mengetahui AMDAL, Peta Kadastral, Rencana Pembangunan, bahkan sistem bagi hasil yang juga tidak jelas.

"Perusahaan ini telah mengklaim lahan milik dari masyarakat/Serikat Tani Darat Jaya di wilayah Desa Kampung Baru," kata Andi Muttaqin, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (13/5).

Ia menjelaskan tanah tersebut sebelumnya ditanami oleh masyarakat desa, berupa pohon karet, pohon pisang dan lain-lain. Begitu perusahaan masuk, melakukan land clearing dan perusakan serta pencabutan tanaman yang mengakibatkan rusaknya ± 20.000 pohon yang ada di wilayah tersebut. Setelah itu, PT Rezeki Kencana menanaminya dengan sawit.

Pemerintah daerah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kubu Raya, surat nomor BA 28/BA/SPP/VI/2015 menegaskan bahwa lahan tersebut adalah milik dari masyarakat desa yang tergabung dalam Serikat Tani Darat Jaya dan surat dari Pemerintah Kecamatan Kubu No. 102/184/pem tertanggal 3 Mei 2017 tentang peninjauan kembali HGU PT. Rezeki Kencana. Kepemilikan lahan tersebut dipertegas dengan adanya pengukuran ulang lahan yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Kubu Raya dan kronologis lahan yang ditandatangani oleh perangkat desa dari beberapa desa anggota Serikat Tani Darat Jaya, Selain itu, surat penolakan izin dan HGU PT Rezeki Kencana oleh kades Teluk Nangka, Kades Jangka II, Pj Kades Kampung Baru, Kades Teluk Bayur dan tanda tangan penolakan dari masyarakat empat desa.

Ketika masyarakat/Serikat Tani Darat Jaya di wilayah Desa Kampung Baru memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar oleh PT Rezeki Kencana, mereka justru dikriminalisasi. Warga yang sedang melakukan pemetaaan dan pengecekan ulang patok batas desa antara Desa Kampung Baru, Kecamatan Kubu dan Desa Teluk Bayur Kecamatan Terentang dilaporkan ke kepolisian oleh PT Rezeki Kencana dengan dalih tindakan perusakan lahan. Faktanya, masyarakat yang melakukan pemetaan berdasarkan persetujuan 2 desa dengan surat dari masing-masing kades, yang keduanya menolak keberadaan PT Rezeki Kencana.

Menurutnya tindakan yang dilakukan PT Rezeki Kencana telah melanggar hak-hak dari masyarakat Serikat Tani Darat Jaya di wilayah Desa Kampung Baru. Hal tersebut jelas melanggar Pilar kedua United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP’s) bahwa perusahaan bertanggung jawab menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi.

Lebih lanjut lagi, di dalam dimensi Hak Asasi Manusia, utamanya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diterangkan beberapa provisi yang menjelaskan perihal tanggung jawab negara untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi warga Indonesia, terutama yang terkait dengan isu hak kepemilikan. Bagian Enam dari Asas-Asas Dasar, khususnya Pasal 29 ayat (1) dari UU 39/1999 menerangkan: "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, matrabat, dan hak miliknya."

Andi menjelaskan pasal ini secara terang dan tegas memberi ruang pengakuan kepada masyarakat untuk mendapatkan perlindungan atas kepemilikan mereka. Bagian Keempat dari Hak untuk Memperoleh Keadilan, khususnya Pasal 19 ayat (1) dari UU 39/1999 menerangkan: "Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah."
KAITAN DENGAN WILMAR - Tomo Agus peneliti dari Lingkaran Advokasi & Riset (LinkAR) Borneo menegaskan dalam pola supply chain, ketika suatu entitas (organisasi atau individu) bisnis secara langsung terlibat dalam aliran hulu dan hilir baik produk, jasa, keuangan atau distributor, maka entitas tersebut punya tanggung jawab yang sama dalam menghargai hak asasi manusia. Hal tersebut seperti yang termaktub pilar kedua United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). "Apapun perannya setiap entitas bisnis memiliki kewajiban yang sama dalam menghargai hak asasi manusia," katanya.

Ia menjelaskan PT Rezeki Kencana, Tianjin Julong Group, adalah anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), merupakan salah satu pemasok Wilmar Group. Wilmar Group sendiri merupakan anggota dari RSPO.  Salah satu prinsip RSPO ialah memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku, dengan salah satu kriterianya, "penggunaan tanah untuk kelapa sawit tidak menghilangkan hak legal maupun hak adat para pengguna lain tanpa adanya persetujuan tanpa paksa dari mereka."

Carlo Lumbanraja peneliti dari Sawit Watch menegaskan dalam konteks ini, PT Rezeki Kencana dan WILMAR telah melanggar prinsip dan kriteria RSPO. "Karena itu kami LinkAR Borneo, ELSAM dan Sawit Watch mengecam keras tindakan perampasan tanah yang dilakukan PT Rezeki Kencana pada warga Kampung Baru tersebut yang telah melanggar hak-hak masyarakat," katanya.

Ia juga menuntut agar PT Rezeki Kencana (Tianjin Jouloung Group) untuk mengeluarkan seluruh wilayah kelola masyarakat dari HGU dan Izin Lokasi PT. Rezeki Kencana. Tuntutan lainnya adalah perusahaan wajib mengganti tanaman masyarakat yang telah dirusak.

Wilmar juga diminta membuka keseluruhan data perusahaan yang menjadi pemasoknya di Indonesia. Carlo juga menegaskan bahwa Wilmar harus turut bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh PT Rezeki Kencana dan menghentikan pembelian sawit dari perusahaan tersebut.
KONDISI INDUSTRI SAWIT - Industri sawit Indonesia saat ini tengah jadi sorotan setelah Parlemen Uni Eropa (UE) mengeluarkan sebuah resolusi April lalu. Komoditas andalan ekspor Indonesia ini dikaitkan dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.

Parlemen Eropa bersepakat mulai mengurangi penggunaan zat metil ester di dalam biofuel pada 2020 dan disepakati pula adanya kriteria minimum bagi semua produk yang terbuat dari kelapa sawit. Di antaranya harus bersifat berkelanjutan dan tidak dihasilkan dari aktivitas penggundulan hutan dan melanggar HAM.

Resolusi tersebut ke depannya juga akan menghapus ide sertifikasi bagi produk sawit Indonesia. Diketahui sebanyak 640 anggota parlemen Eropa menyatakan setuju terhadap resolusi tersebut. Hanya 18 anggota parlemen saja yang menolak.

Gabungan Indonesia dan Malaysia menyumbang 85 persen terhadap total produksi minyak sawit dunia. Uni Eropa adalah konsumen terbesar kedua minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia. Pembeli terbesar pertama adalah India. Indonesia mengekspor 4,37 juta ton minyak sawit ke Uni Eropa tahun lalu dan Malaysia mengekspor 2,06 juta ton.

Tentu saja pemerintah Indonesia berang dengan resolusi Eropa tersebut. Bekerjasama dengan pemerintah Malaysia yang juga sebagai produsen sawit, mereka akan mengusung misi diplomasi untuk mengcounter isi dari resolusi Eropa. Pemerintah menduga Eropa yang juga penghasil minyak nabati takut bersaing dengan produk sawit.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, mengungkapkan sertifikasi sawit yang berlaku di Indonesia seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) tidak diakui di Eropa.

Menurut Joko, Parlemen Uni Eropa, menginginkan sertifikasi dilakukan di sana, bukan di Indonesia. "Dalam resolusi itu ada sertifikasi tunggal. Itu rasanya tidak bisa diterima, karena didasarkan atas asumsi sertifikasi yang dikembangkan negara-negara produsen sawit dianggap cacat," ujar Joko di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/4).

Masalah lainnya, menurut Joko, resolusi parlemen Uni Eropa itu hanya berlaku untuk minyak sawit saja. Padahal ada banyak minyak nabati lain di Eropa, yang tentunya ikut berkontribusi pada deforestasi hutan.

"Itu hanya berlaku untuk sawit saja, ini sangat diskriminatif. Karena minyak nabati lain enggak pernah dituntut melakukan sertifikasi. Bahkan hebatnya di resolusi itu, diminta HS (Harmonized System) dibedakan antara sawit yang sustainable dengan yang enggak sustain," ungkap Joko.

Dia menduga, masalah sawit yang dibawa ke Parlemen Uni Eropa ini untuk menguatkan posisi tawar mereka dalam perundingan perdagangan bebas Indonesia-Uni Eropa dalam CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).

"Mereka tidak mengakui sertifikasi kita, padahal lembaga yang mengaudit sertifikasi kita itu dari Eropa juga, kurang apalagi. Ini bukan soal lingkungan, tapi kepentingan dagang," pungkas Joko. (dtc/mfb)


BACA JUGA: