JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harga gas untuk industri domestik yang disalurkan melalui pipa saat ini mencapai US$8,3/MMBtu (Million Metric British Thermal Unit, 1 MMBTU = 28.316 M3 gas alam) dinilai terlalu mahal. Demikian pula dengan gas cair (liquified natural gas/LNG) yang rata-rata harganya mencapai US$ 13,13/MMBtu.

Harga tersebut bahkan menjadi yang termahal di Asia Tenggara. Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), rata-rata harga gas untuk industri di Singapura sekitar US$4-5 per MMBtu, Malaysia US$4,47 per MMBtu, Filipina US$5,43 per MMBtu, dan Vietnam sekitar US$7,5 per MMBtu.

Presiden Joko Widodo pun meminta agar harga gas untuk industri bisa diturunkan mencapai US$6/MMBtu agar industri bisa mendapatkan gas murah. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menjanjikan dalam dua bulan ke depan, pemerintah akan melakukan kajian untuk menurunkan harga gas untuk industri dalam negeri.

"Presiden instruksikan dua bulan dikaji. Semua proses diefisenkan mulai proses dalam negeri sampai distribusi dan trader-nya. Kalau banyak cukup satu PGN atau Pertamina agar harga turun. Jadi awal Desember lah mestinya," papar JK di kampus Universitas Padjajaran, Jatinagor, Sumedang, Senin (24/10).

Atas perintah Jokowi itu, pihak Kementerian ESDM sendiri akan membuat kajian agar harga gas bisa turun. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan, ada beberapa komponen yang membentuk harga gas di dalam negeri hingga menjadi seharga US$8,3/MMBtu.

Wiratmaja mengatakan, harga gas di hulu baik yang dialirkan melalui pipa maupun yang akan diolah menjadi LNG, adalah US$5,9/MMBtu. Harga itu dibentuk oleh komponen capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex) yang diklaim sebagai cost recovery sebesar US$2,6/MMBtu. Kemudian ditambah pendapatan bagian kontraktor (contractor share) sebesar US$1,2/MMBtu, pendapatan bagian negara bukan pajak (PNBP) US$0,92/MMBtu, dan pajak penghasilan (PPh) US$1,19/MMBtu.

Nah, ketika disalurkan untuk industri, dari harga pokok tadi masih ditambah beberapa komponen lagi. Pertama adalah biaya transmisi yang rata-ratanya sebesar US$0,9/MSCF. Kedua, biaya distribusi US$ 1,56/MSCF. Dari harga pokok ditambah biaya penyaluran itulah, kata Wirat, terbentuk harga total menjadi US$8,3/MMBtu di pengguna akhir.

Untuk gas dalam bentuk LNG, harganya bisa lebih mahal karena masih ada lagi beberapa komponen biaya. Misalnya, biaya pengolahan gas menjadi LNG dan biaya pengapalan sebesar US$1,5-3,83/MMBtu, lalu biaya regasifikasi US$ 1-3/MMBtu, transmisi US$0,9/MSCF, dan distribusi US$ 1,5/MSCF. Karena itu, harganya bisa mencapai di atas US$10/MMBtu ketika sampai pada industri.

Wirat mengatakan, dari komponen-komponen itulah, pihak Kementerian akan mengkaji pada komponen mana biaya bisa dipangkas agar harga gas bisa turun. "Ada berbagai biaya yang bisa dipangkas supaya harga gas turun. Di hulu, cost recovery bisa diturunkan dengan menekan biaya operasional (opex) dalam kegiatan produksi gas," kata Wirat di kantor Kementerian ESDM, Senin (24/10).

Wirat mengatakan, untuk proyek-proyek yang belum berjalan, misalnya Blok Masela dan East Natuna, biaya investasi (capex) juga diupayakan bisa ditekan. Tapi untuk proyek yang sudah jalan, capex tak bisa diutak-atik. Pendapatan bagian kontraktor juga tak boleh dikurangi karena sudah terikat kontrak.

"Untuk proyek-proyek yang sudah jalan kan capex-nya sudah dibayar, nggak bisa diefisiensikan. Yang bisa mungkin opex-nya. Bagian kontraktor sesuai kontrak, harus dihormati," ujar Wirat.

Selain itu, komponen yang masih bisa dipangkas adalah penerimaan negara dari PNBP gas dan PPh yang berkontribusi sebesar US$0,92/MMBtu dan US$1,19/MMBtu terhadap harga gas. "Kalau dihapus seluruhnya, harga gas di hulu bisa berkurang US$2,11/MMBtu. Tapi pemangkasannya harus disetujui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bertanggung jawab atas penerimaan negara. PPh harus kita diskusikan dengan Kemenkeu, PNBP juga apakah bisa dikurangi," ucapnya.

Kemudian, ada juga komponen di midstream (tengah) dan downstream (hilir). Misalnya, biaya di pipa transmisi dan distribusi juga dapat dipangkas. Caranya dengan mengubah formulasi tarif transmisi, memberantas trader-trader gas yang hanya menjadi calo, dan membatasi biaya distribusi gas pada tingkat wajar.

"Untuk transmisi, formula dan depresiasi kita efisienkan. Trader berlapis kita regulasi, margin distribusi kita atur seadil-adilnya," ucap Wirat.

Kesimpulannya, yang bisa segera dipangkas Kementerian ESDM agar harga gas turun seperti keinginan Jokowi adalah opex di hulu, biaya transmisi, dan distribusi gas. Sementara faktor-faktor pembentuk harga lainnya, misalnya PNBP dan PPh, harus melalui proses pembahasan panjang antar kementerian.

"Kontrak-kontrak yang sudah ada kita efisiensi di opex. Lalu biaya transmisi, dan distribusi. Kalau kontrak yang akan datang capex bisa kita efisiensikan juga," Wirat menerangkan.

PENERIMAAN NEGARA BISA TURUN - Salah satu komponen yang bisa dipangkas agar harga gas industri bisa turun adalah PNBP dan pajak penghasilan (PPh). Wirat mengatakan, kalau negara mengorbankan PNBP dan PPh ini, harga gas bisa turun US$2,11/MMBtu.

Dengan demikian, rata-rata harga gas di hulu bisa turun dari US$5,9/MMBtu menjadi US$ 3,82/MMBtu. Ini seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Hanya saja, jika hal itu dilakukan, maka negara akan mengalami risiko berupa penurunan pendapatan negara. Wirat mengatakan, kalau seluruh PNBP dari gas dihapus, penerimaan negara berkurang US$550 juta atau sekitar Rp7 triliun per tahun.

Sedangkan kalau PNBP dan PPh dari gas semuanya dihapus, penerimaan negara hilang US$1,26 miliar atau Rp16,33 triliun. "Artinya kalau bagian PNBP tidak diambil negara, akan ada US$ 550 juta penerimaan negara berkurang dari gas. Ini alternatif yang perlu dipertimbangkan. Kalau tax (PPh) juga nggak diambil, penerimaan negara berkurang US$1,26 miliar per tahun," paparnya.

Menurut Wirat, harga gas di Malaysia bisa murah karena menggunakan skema ini. Hanya saja, kata dia, yang harus diingat, Malaysia tidak menjadikan gas sebagai komoditas untuk penerimaan negara, tapi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Yang dikejar adalah multiplier effect dari industri pengguna gas. "Malaysia tidak ada share (bagian hasil) untuk negara, mereka menggunakan sistem subsidi," ucap Wirat.

Sedangkan Thailand harga gasnya dipatok berdasarkan harga minyak dunia. Ketika harga minyak sedang rendah seperti sekarang, industrinya bisa memperoleh gas dengan harga murah. Tapi ketika harga minyak tinggi, tentu industri mereka tak bisa menikmati gas murah lagi. Sedangkan China harga gasnya mahal karena sebagian besar berasal dari impor.

Indonesia tidak memberikan subsidi untuk gas industri seperti Malaysia. Formulasi harga gas domestik juga umumnya tidak berpatokan pada harga minyak, tapi bersifat tetap (fix) plus kenaikan tahunan (eskalasi) yang juga tetap, misalnya 2% per tahun.

"Malaysia tidak ada share (bagian) untuk negara, mereka menggunakan sistem subsidi. Thailand harga gasnya di-link ke harga minyak, kalau minyak tinggi jadi tinggi. China lebih mahal karena mereka banyak gas impor," Wirat menjelaskan.

Diakui Wirat, memang benar harga gas di Indonesia relatif mahal dibanding Malaysia dan Thailand, tapi selisihnya tidak besar. "Jadi Indonesia relatif tinggi tapi nggak jauh banget. Memang lebih tinggi misalnya dari Thailand, tapi nggak jauh," tutupnya.

Nah, jika mau meniru skema di Malaysia, pertanyaannya, beranikah pemerintah berkorban demi meningkatkan daya saing industri nasional? Untuk ini, kata Wirat, keputusan ada di tangan Menteri ESDM, Menko Kemaritiman, dan Menko Perekonomian. Tentunya juga harus dibicarakan dengan Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas penerimaan negara. "Nanti kebijakan dibahas oleh Pak Menteri dan Pak Menko," tandasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dan energi Universitas Gajah Madah (UGM) Fahmi Radhi mengatakan, rencana pemerintah menurunkan harga gas dengan memangkas komponen PPh dan PNBP tidak tepat. Alasannya, selain tidak akan menurunkan harga gas secara signifikan, pemerintah akan kehilangan pendapat pajak dalam jumlah besar.

Namun dia juga menentang rencana menurunkan harga gas dengan memberikan subsidi pada harga gas seperti di Malaysia. "Tidak tepat bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan subsidi harga gas bagi industri. Pasalnya, subsidi konsumen BBM saja sudah dihapus, menjadi tidak adil kalau pemerintah mensubsidi konsumen gas industri, juga membebani APBN," kata Fahmi kepada gresnews.com, Senin (24/10).

Menurutnya, upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menurunkan harga gas bukan dengan memberikan subsidi dan memangkas PPh. "Tapi mengatasi akar masalahnya, yakni melarang trader non-pipa dan melakukan penambahan pembangunan pipa yang menghubungkan hulu ke konsumen industri," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: