JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah didesak untuk membuka isi perundingan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Pemerintah hingga saat ini masih menutup rapat isi perundingan perjanjian itu. Padahal jika FTA diterapkan, akan ada sejumlah dampak negatif yang dihadapai masyarakat, bukan hanya persoalan ekspor dan impor. Masyarakat juga akan terkena dampak, seperti sulitnya petani menanam benih karena ada monopoli bibit oleh perusahaan. Termasuk juga akan hilangnya akses masyarakat terhadap obat-obatan murah.

Direktur Eksekutif Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi menyatakan bila FTA diterapkan, maka akan berdampak langsung  pada petani. Para Petani akan kesulitan menanam, karena benih sudah dimonopoli perusahaan. Apabila petani menggunakan pengetahuan lokal mereka untuk memuliakan benih, maka mereka akan terancam dikriminalisasi atas nama perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Selain itu, FTA akan  membuat obat-obatan semakin mahal. Hal ini akibat standar perlindungan paten dalam aturan HKI di FTA  menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dalam perjanjian WTO. Padahal, ketentuan tersebut digunakan banyak negara untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi dari negara maju demi kepentingan publik. Nantinya, negara pemakai obat generik harus membayar paten pada negara penemu.

"Pemerintah seperti tunduk pada lobby korporasi multi-nasional yang memang diuntungkan dari setiap FTA," ujar Firdaus Cahyadi melalui pesan yang diterima gresnews.com, Kamis, (20/11).

Saat ini, menurut Firdaus, Indonesia seperti kecanduan untuk mengikuti perundingan FTA. Sayangnya dampak buruk bagi warganya tidak pernah dikaji secara serius. Pada tanggal 20-21 September 2016, Indonesia telah melangsungkan putaran perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang pertama dengan Uni Eropa. Juga akan segera memulai perundingan CEPA dengan Australia dan New Zealand.

Bahkan ASEAN RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) akhir tahun ini akan segera disepakati. Sebelumnya, pemerintahan Presiden Jokowi juga memberikan sinyal akan bergabung ke dalam Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP).

Saat ini Indonesia sendiri telah terlibat dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas, antara lain dengan World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement, sebagai bagian dari ASEAN. Indonesia juga terlibat FTA dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.

"Meskipun berpotensi berdampak buruk, ironisnya, pemerintah tidak pernah membuka isi perundingan FTA itu kepada publik," beber Firdaus.

Padahal, dengan tidak dibukanya isi perundingan FTA itu, maka publik tidak bisa menyuarakan pendapatnya terkait hal yang akan merugikan  masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa Pemerintah telah melakukan pembungkaman publik yang dilakukan secara halus dan santun.

"Publik harus mendesak pemerintah lebih transparan terkait perundingan FTA ini," serunya.

HARUS DICERMATI - Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, juga menyatakan bahwa melaksanakan perundingan perjanjian FTA yang saat ini sedang dilakukan pemerintah harus betul-betul cermat. Sebab, jika tidak memiliki strategi yang baik, maka bisa berdampak rentannya para petani dikriminalisasi dengan alasan Hak atas kekayaan intelektual.

Diketahui, saat ini Indonesia sedang mengikuti perundingan Perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang terdiri dari 10 negara ASEAN dengan enam rekan dagang terbesarnya, yaitu Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan yang diharapkan selesai akhir tahun ini. Perundingan perjanjian ini tidak hanya memuat isu perdagangan saja, juga pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual, yang salah satu juga di bahas isu pentingnya adalah tentang kedaulatan petani atas benih.

"Butir perjanjian RCEP akan memicu para petani dikriminalisasi," ungkap Rachmi  melalui pesan yang diterima gresnews.com, Kamis, (20/11).

Sebab perjanjian RCEP nantinya akan memaksa Indonesia meratifikasi International Union for the Protection of New Verieties of Plant (UPOV) pada 1991. Sehinga para petani yang saat ini mulai membudidayakan benih akan terancam dan rentan dikiriminalisasi. Para petani tersebut bisa dituduh meniru benih perusahaan-perusahaan mereka karena memiliki kemiripan benih.

"Padahal petani kita telah lama membudayakan sendiri secara tradisional," ujarnya.

Sampai saat ini, beberapa FTA yang melibatkan Indonesia bisa dibilang lebih banyak memberikan dampak negatif daripada dampak positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah masalah sosial yang terjadi, seperti pengangguran, masalah kemiskinan, masalah penanganan sektor informal, masalah transformasi sektor pertanian, masalah reforma agraria, atau penanganan terhadap masyarakat adat.

Secara statistik, angka pengangguran di Indonesia memang menurun. Tetapi, lapangan kerja lebih banyak disumbangkan oleh sektor informal yang selalu dimarjinalkan.

Data BPS menyebutkan pertumbuhan sektor informal terus meningkat sejak 1997 sebagai akibat berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Sektor informal di kota-kota besar juga menjadi penyerap bagi mereka yang terlempar dari sektor pertanian dan sekarang dibanjiri oleh produk impor. BPS mencatat, selisih ongkos produksi dengan pendapatan petani dari tahun ke tahun selalu menurun.

Akibatnya, semakin sedikit penduduk yang mau melestarikan pertanian dan terjadilah urbanisasi yang juga menimbulkan masalah sosial lanjutan. BPS juga menyebutkan bahwa sampai Februari 2011 sektor pertanian mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 0,84% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sampai dengan saat ini, FTA yang dilakukan Indonesia telah berhasil memberikan kekayaan terhadap 0.05% (sekitar 115 ribu orang) dari total penduduk Indonesia. Tapi itu dengan mengorbankan kekayaan alam kepada perusahaan trans-nasional, pemodal besar, dan spekulan pasar yang dapat terus mengeruk keuntungan. Hal itu bisa dipandang sebagai kegagalan pemerintah mendistribusikan kekayaan, me

BACA JUGA: