JAKARTA, GRESNEWS.COM - Salah satu dampak buruk apabila pemilihan kepala daerah melalui DPRD jadi disahkan adalah hilangnya demokrasi dan akses pengawasan langsung oleh rakyat. Partisipasi sukarela publik yang selama ini sudah terbangun untuk bersama-sama  membangun cita-cita bangsa akan runtuh ketika rapat paripurna DPR yang berlangsung Kamis (25/9) mengesahkan RUU Pilkada.

Kekuatan demokrasi Indonesia yang berdasar partisipasi publik sekarang ini sudah jauh lebih maju ketimbang negara-negara tetangga sekawasan Asia lainnya. Menjadi ironi dan mencemaskan bila golongan yang menginginkan romantisasi masa lalu dapat menggolkan keinginannya melakukan pemilihan pilkada melalui DPRD.

"Golongan inilah yang tidak suka terhadap pencapaian demokrasi, sehingga mereka menjadi politisi yang dapat berubah seketika ketika kalah dalam pemilu. Bagaimana kami bisa tetap pantau pemilu, kalau pilkada lewat DPRD? Tidak mungkin, melakukan pemantauan di gedung dewan," ujar Syamsudin Haris, Peneliti LIPI dalam diskusi Menarik Pembelajaran dari Program Pemantauan Pileg dan Pilpres 2014 di Hotel Cemara, Menteng, Rabu, (24/9).

Kebetulan momentum tersebut berkenaan dengan dibahasnya RUU Pilkada, maka draft tersebut dijadikan semacam senjata untuk mengubah posisi politik. Menurut Haris, permasalahan pemilihan langsung atau tidak langsung sedikit banyak dipengaruhi kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini yang minus.

Menurutnya tidak mungkin rakyat memberikan kepercayaan kepada anggota DPRD yang notabene berasal dari parpol untuk memilih para pemimpinnya. Karena rata-rata parpol Indonesia identik dan terpersonifikasi oleh ketua umumnya. Jadi dapat disimpulkan pandangan DPRD merupakan pandangan ketua umum parpol. Merosotnya kualitas dan bermasalahnya parpol ia anggap sebagai alasan utama di balik harus ditolaknya pilkada tak langsung.

"Politisi kita tidak sungguh-sungguh membangun sebuah sistem penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Jika membuat keputusan kan bisa dihitung-hitung baik atau tidak di lapangan, ada unsur kesengajaan peraturan-peraturan tidak dibuat detail agar menguap di tengah jalan dan bisa dijadikan alat bermain politik. Itu yang bisa kita baca di RUU Pilkada," jelasnya.

Pengawasan publik terhadap money politik yang terjadi ketika pilkada melalui DPRD pun akan semakin sulit dideteksi. Sudah pasti, sistem pelaksanaan yang seperti itu lebih melipatgandakan korupsi, suara setiap anggota dewan akan dihargai tinggi dan dibawa balas budi hingga lima tahun masa jabatan. Sedang, karena akses pemilihan yang tertutup dan komunikasi politik yang hanya satu pintu yakni melalui DPRD sudah pasti akan menyulitkan rakyat mengawasi calon pemimpinnya.

Senada dengan Haris, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem mengatakan dinamika politik akan kembali ke masa lalu jika terus dikendalikan oleh golongan yang tidak sabar dan instan dalam mencapai sesuatu. Mereka akan tergoda meninggalkan demokrasi yang semakin kokoh. "Politik dan demokrasi akan selalu menemukan masalah-masalah baru untuk diselesaikan, dan inilah tahapan yang harus dilalui perjuangan," ucapnya dalam kesempatan yang sama.

BACA JUGA: