JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pengusaha tambang untuk menghindar dari kewajiban melaksanakan Undang-undang Mineral dan Batubara terus dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari pengajuan penundaan pelaksanaan kewajiban  membangun smelter dan ancaman PKH masal. Terakhir tak tanggung-tanggung mereka mengajukan gugatan uji materi UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi.  Mereka menuding  aturan UU minerba telah merugikan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO).   Sebab selain melarang ekspor biji mineral mentah, pengusaha juga dibebani dengan pajak bea keluar yang tinggi.

Upaya-upaya ini dinilai Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara akan merugikan negara. Menurut Marwan, jika gugatan pengusaha tambang terhadap pasal 102 dan pasal 103 UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dikabulkan Mahkamah Konstitusi  akan merugikan Indonesia karena pemerintah tidak dapat meningkat statusnya tambang mineral mentah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah.

Selama ini sebelum pemberlakuan pelarangan ekspor mineral mentah per 12 Januari 2014, pemerintah pendapatan pemerintah dari ekspor barang mentah hanya sedikit. Misalnya harga jual tambang mentah hanya 1 ton bauksit sebesar US$100 dollar, keuntungan negara hanya melalui pajak yang dihitung berdasarkan keuntungan dari US$100 dollar itu.

Namun jika program pelarangan ekspor barang tambang mentah diberlakukan maka akan tercipta program hilirisasi, dari angka US$100 dollar barang tambang mentah kemudian diolah dimurnikan maka nilainya dapat bertambah menjadi US$1000 dollar, tergantung dari jenis mineralnya.

Dia menilai langkah yang dilakukan APEMINDO sangatlah kurang tepat karena pelarangan ekspor mineral nantinya dapat membuka lapangan kerja lebih luas, kemudian dapat melakukan pengolahan industri hilir, PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dan pajak pun juga meningkat, bahkan status negara pun akan meningkat menjadi negara yang kaya akan industri. "Janganlah kita karena ada beberapa kepentingan lalu ingin menggagalkan rencana yang bagus ini," kata Marwan kepada Gresnews.com, Jakarta, Jumat (26/2).

Kendati demikian, Marwan menilai dalam pemberlakuan pelarangan ekspor tambang mentah, pemerintah juga melakukan kesalahan berupa lambatnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Jadi menurutnya kesalahan mengoreksi bukan dengan PP tetapi dengan Perppu.

Menurut Marwan justru yang seharusnya digugat Apemindo adalah pasal 170 karena dalam pasal tersebut hanya ada kata-kata pemurnian saja. Jadi kalau pemurnian saja, menurutnya Freeport sudah menghasilkan kadar tembaga 90 persen. Tetapi tiba-tiba diturunkan hingga 15 persen dan mestinya tidak berlaku untuk pemegang kontrak karya tapi sekarang tampaknya ada negosiasi dengan pihak luar. Artinya peraturan itu melanggar pasal 170. "Itu saya setuju untuk bisa menggugat," kata Marwan.

Marwan menilai APEMINDO telah memperalat kuasa hukumnya untuk melawan konstitusi. Jadi memang ada pemodal besar untuk mencari keuntungan. Dia mengungkapkan selama satu tahun terakhir jumlah ekspor bauksit meningkat menjadi 40 juta ton dari 7 juta ton. Menurutnya angka 40 juta ton tersebut sudah menghilangkan banyak sekali nilai tambah baik dari sisi lapangan kerja maupun pajak yang diterima oleh negara. "Jadi lihatnya harus secara kompherensif. Saya khawatirkan ada konglomerat dibalik itu semua," kata Marwan.

Menurut kuasa hukum pemohon, Refly Harun pemerintah tidak memiliki mandat untuk melakukan pelarangan ekspor bijih tambang. Bila itu terus dilakukan, maka pemerintah telah melanggar prinsip negara hukum. "Kalau larangan tersebut memang ada dalam undang-undang, maka harus dinyatakan dengan tegas dan jelas. Tafsir pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum," ujar Refly di persidangan, Senin (24/1).

Dia mengatakan, larangan tersebut makin menjadi tidak masuk akal dan merugikan para pemohon karena sampai saat ini hanya sedikit perusahaan pertambangan yang bisa memurnikan bijih tambang sendiri di dalam negeri. Sehingga, kalau larangan ini dipaksakan maka akan banyak perusahaan pertambangan yang gulung tikar. Sebaliknya, ia berpendapat yang harus dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK adalah meningkatkan nilai tambah dan pemurnian bahan tambang, bukan larangan ekspor bijih.

Refly menegaskan pihaknya tidak meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi MK memberikan tafsir konstitusional terhadap kedua pasal tersebut. Pemohon berargumentasi, seharusnya setiap aturan memberikan kepastian hukum seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sementara dalam peraturan pemerintah dan peraturan Menteri ESDM terjadi ketidakkonsistenan. "Ada perubahan-perubahan kebijakan yang tidak konsisten di tingkat peraturan pemerintah, kemudian dalam tingkat peraturan Menteri ESDM, tetapi kemudian kami memandang hal ini bukan lagi masalah peraturan di bawah undang-undang, tetapi masalah konstitusional menyangkut tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 yang kami persoalkan," jelas Refly.

Ketidakkonsistenan itu menurut dia terlihat pada Ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 84 ayat (3) berbunyi pemegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dan mineral dalam negeri,  sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1).

Menurutnya, inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor bijih, tapi kemudian yang terjadi dalam peraturan pemerintah terbaru dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. "Jadi, satu dapat melakukan ekspor dalam jumlah tertentu, dan kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak," ujarnya.

BACA JUGA: