JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menjadi hal penting dalam kontestasi politik. Hal itu dapat dilihat dari penempatan direksi maupun komisaris di BUMN yang selalu mengikuti siapa penguasa yang berkuasa. Pada saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, direksi dan komisaris BUMN diisi orang-orang SBY. Begitu pun pada era Presiden Joko Widodo, kursi komisaris maupun direksi banyak diisi oleh para pendukungnya. Profesionalisme di tubuh BUMN bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam mengelola korporasi milik negara ini.

Bahkan disinyalir, ada banyak pegawai dari rezim sebelumnya masih menjabat di lingkaran petinggi BUMN. Hal itu membuat kinerja BUMN masih timpang mengingat banyaknya pegawai BUMN yang bekerja tidak sesuai dengan visi dan misi pemerintah karena tidak memahami visi pemerintahan Jokowi- JK melalui Nawacita dan Trisakti. Selain itu, BUMN hanya menjadi persinggahan pendukung presiden terpilih atau pejabat TNI/Polri yang memasuki masa pensiun yang tentu saja membuat BUMN menjadi tak efesien.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai kebijakan pengelolaan BUMN perlu mendapat sorotan. Kebijakan selama ini banyak yang kontraproduktif, misalnya dengan membuat induk (holding) dalam pengelolaan gas. "Ini menggabungkan PT PGN (Persero) dengan PT Pertagas. Kan itu anak perusahaan dari Pertamina. Kenapa tidak langsung saja dengan PT Pertamina (Tbk)?" ujar Agus dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Jumat (27/5).

Selain itu, Agus juga menilai masih terdapat tata kelola dan penempatan sumber daya manusia (SDM) yang kurang pas mengisi jajaran petinggi di BUMN. Penempatan SDM yang tidak mengerti dengan visi misi BUMN sehingga berakibat pada inefesiensi dalam mengelola BUMN.

"Kami berharap orang yang duduk di BUMN orang yang paham dengan visi perusahaan dan misi pemerintah," harapnya.

Hal sama juga diungkapkan pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti. Dia menilai pola penempatan pejabat di BUMN memang tak terlepas dari pertimbangan politik. Namun jika pertimbangannya sebatas pertimbangan politik juga akan membuat roda dalam BUMN juga akan berdampak. "Pertimbangan politik semata juga akan mengacaukan tanpa dibarengi dengan unsur profesionalitas," terang Ray.

Ia menambahkan bahwa posisi BUMN baik menteri, direksi dan komisaris menjadi lirikan bagi kalangan partai politik. "Posisi itu menjadi menarik jika dikaitkan dengan pemilu pada 2019 mendatang," ujar pria asal Mandailing Natal itu. Karena itu, perlu menempatkan orang yang bisa menerjemahkan visi presiden ke dalam kebijakannya.

Karena itu, kata Ray, pemerintah perlu memastikan bahwa agenda di menteri BUMN berjalan sesuai dengan visi presiden. Dengan begitu BUMN bisa memberikan sumbangan kepada negara dan memastikan bahwa BUMN tidak lagi menjadi beban bagi negara.

PERJELAS ARAH BUMN - Pengamat kebijakan publik dan kerjasama internasional, Don K. Marut, menyatakan keberadaan BUMN belum menyentuh persoalan yang ada dalam masyarakat. Padahal, BUMN memiliki fungsi tidak hanya menghasilkan keuntungan bagi negara tetapi juga memastikan bahwa BUMN menjadi pemecah kebuntuan dalam persoalan ekonomi rakyat.

Dengan demikian, dalam konteks ekonomi, pemerintah perlu mendorong aktor pasar terutama yang memiliki kaitan dengan pemerintah. "Karena sektor swasta tidak bisa berperan penuh dalam mewujudkan ekonomi masyarakat, maka BUMN harus turun," ujarnya.

Menurutnya ada persoalan yang dihadapi dalam ekonomi yaitu soal ketimpangan pendapatan serta ketimpangan antar wilayah. Dia mencontohkan pada kasus di Sorong, Papua, harga bahan bakar minyak (BBM) dua kali lipat lebih mahal dari Jakarta. Artinya, masih terdapat ketimpangan harga antar wilayah.

"Bagaimana bisa padahal Sorong merupakan daerah penghasil minyak," tutur Don. Pada soal itu, sambung Don, BUMN harus bisa memainkan perannya untuk melakukan pemerataan ekonomi.

Adhie M Massardi dari Gerakan Indonesia Bersih perlu memandang perlunya mengembalikan fungsi BUMN kepada khittahnya yaitu sebagai agent of development dan pionir perekonomian nasional. Persoalan masyarakat sebenarnya ada pada masalah ekonomi yang sebenarnya juga terdapat pada BUMN.

Masalah BUMN, dari rezim ke rezim, BUMN hanya dipakai untuk ATM partai politik saja. Di era Gus Dur, kata Adhie, justru BUMN itu urunan untuk menjatuhkan Gus Dur. "Bisa dicek itu. Justru BUMN memperkuat barisan oposisi," ujarnya.

Selama ini, keberadaan BUMN hanya menjadi sapi perah saja. Menurut Adhie, orientasi BUMN tidak saja mengejar laba, namun mampu memberikan multiplier effect melalui pembayaran pajaknya.

Adhie menambahkan misalnya soal kebijakan pembangunan listrik 3500 mega watt. Menurutnya proyek itu tidak realistis. Bahkan dia menduga, Itu hanya kepentingan oknum tertentu untuk meraup keuntungan dari proyek tersebut. "Proyek 3500 mega watt itu kan bisa dipecah-pecah izinnya. Itu yang mereka jual," ungkap Adhie.

‎Total BUMN hingga sekarang tercatat sebanyak 119 perusahaan. Pemerintah melalui Kementerian BUMN berencana memangkas jumlah tersebut menjadi lebih sedikit, yakni hanya 85 BUMN. Langkah tersebut merupakan upaya untuk membentuk BUMN menjadi lebih kuat dan lincah‎ serta mampu bersaing secara internasional.

Skema yang akan ditempuh adalah penggabungan usaha, yaitu merger. BUMN akan digabung berdasarkan sektor usaha misalnya energi, pertambangan, jasa keuangan, infrastruktur dan sektor lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk merger adalah dalam kurun empat tahun ke depan, yakni hingga 2019. Harapannya akan diupayakan selesai dalam waktu cepat.

Kementerian BUMN mencatat 92 dari 119 perusahaan pelat merah mencatat laba bersih di 2014. Ada 20 BUMN yang meraih laba bersih di atas Rp 900 miliar. Peringkat pertama untuk BUMN peraih laba bersih tertinggi dipegang oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dengan laba bersih Rp 24,25 triliun. BRI berhasil menggeser posisi PT Pertamina (Persero) yang sebelumnya berada di peringkat pertama 2013.

Pada 2013, Pertamina meraup laba bersih Rp 32,05 triliun dan turun menjadi Rp 18,23 triliun di 2014. BUMN yang berhasil naik peringkat dari rugi menjadi laba ialah PT PLN (Persero). PLN masuk daftar 20 BUMN dengan laba tertinggi yakni dari rugi Rp 29,56 triliun pada tahun 2013 berubah menjadi untung Rp 11,74 triliun.

Dari 20 BUMN dengan laba terbesar, sebanyak 11 BUMN berstatus perusahaan tertutup dan 9 BUMN sudah terdaftar di lantai bursa alias perusahaan terbuka. Sekitar 20 BUMN dengan laba terbesar ini menyumbang 97,94 persen dari total perolehan laba perusahaan pelat merah 2014. Total laba seluruh BUMN senilai Rp 148,17 triliun sedangkan total laba 20 BUMN dengan urutan teratas yakni Rp 145,13 triliun.

Berikut ini daftar 20 BUMN dengan laba bersih terbesar pada tahun buku 2014:
1. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), laba Rp 24,25 triliun
2. PT Telkom Tbk, laba Rp 21,44 triliun
3. PT Bank Mandiri Tbk, laba Rp 20,65 triliun
4. PT Pertamina (Persero), laba Rp 18,23 triliun
5. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), laba Rp 11,74 triliun
6. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), laba Rp 10,82 triliun
7. PT Perusahaan Gas Negara Tbk, laba Rp 8,88 triliun
8. PT Semen Indonesia Tbk, laba Rp 5,57 triliun
9. PT Pupuk Indonesia (Persero), laba Rp 4,82 triliun
10. PT TASPEN (Persero), laba Rp 3,46 triliun
11. PT Jasa Raharja (Persero), laba Rp 2,36 triliun
12. PT Bukit Asam Tbk, laba Rp 2,01 triliun
13. PT Pegadaian (Persero), laba Rp 1,70 triliun
14. PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), laba Rp 1,58 triliun
15. PT Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) (Persero), laba Rp 1,6 triliun
16. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), laba Rp 1,57 triliun
17. PT Jasa Marga Tbk, laba Rp 1,21 triliun
18. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), laba Rp 1,11 triliun
19. PT Angkasa Pura II (Persero), laba Rp 1,09 triliun
20. PT Kereta Api Indonesia (Persero), laba Rp 943,42 miliar
(dtc)

BACA JUGA: