JAKARTA, GRESNEWS.COM - Itikad baik pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 /2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 05 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri belum ditanggapi positif oleh PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang dari Amerika Serikat itu belum juga memulai membangun smelter alias pemurnian mineral tambang seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Ketua tim Ekonomi Gerakan "98 Sulaiman Haikal mengatakan pembangunan smelter merupakan syarat utama yang tidak dapat lagi ditawar-tawar, "Kita telah kehilangan waktu yang cukup lama untuk mengelola sumber daya mineral. Sekarang adalah saatnya dan PP 1/2017 merupakan implementasi dari cita-cita tersebut," ujarnya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (15/4).

Ia menambahkan, sikap Freeport yang hingga saat ini belum juga mengajukan izin ekspor konsentrat merupakan cara buying time agar menteri ESDM berada dalam posisi fait accompli. "Ini kurang apalagi pemerintah menunjukkan itikad baiknya? Saat ini kita memiliki dua opsi, yakni stop ekspor dengan pemanfaatan sumber daya mineral seadanya sesuai dengan kapasitas smelter yang ada dengan hasil pemurnian atau kita berikan izin ekspor hasil pengolahan dengan persyaratan pengawasan yang ketat dikaitkan dengan pembangunan smelter," ujarnya.

Padahal, dalam permen ESDM baru itu, Freeport bisa memiliki status ganda yakni izin usaha pertambangan khusus (IUPK), sekaligus Kontrak Karya atau KK. Status IUPK bertujuan agar Freeport bisa ekspor konsentrat. Saat ini, meski mengantongi izin ekspor, Freeport tetap harus membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun ke depan sesuai PP 1/2017.

Dikatakannya, apabila kemajuan pembangunan smelter tidak sesuai dengan pakta integritas yang telah disepakati maka izin ekspor wajib dicabut. "Untuk itu dibutuhkan verifikator independen agar proses ini berlangsung secara transparan dan berkeadilan," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus bertahan diposisisnya saat ini tanpa memberikan konsesi lebih lanjut pada Freeport. Dengan status IUP saat ini, negara jauh lebih berdaulat dan powerful dibandingkan dengan KK. "Secara jangka pendek, ini merupakan solusi yang terbaik. Namun  secara jangka panjang kita akan memetik banyak keuntungan. Oleh karena itu, kita harus jaga secara bersama-sama implementasi PP 1 tahun 2017 dan Permen 5 tahun 2017 serta Permen 6 tahun 2017," tutup Ketua tim Ekonomi Gerakan ‘98 tersebut.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku hingga saat ini belum menerima pengajuan izin ekspor konsentrat dari PT Freeport Indonesia. "Ya kalau belum keluar berati belum sampai," kata Enggar usai melakukan rakor penataan pasar dan pusat pembelanjaan, serta inflasi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (13/4) malam.

Menurut Enggar, izin ekspor konsentrat diberikan kepada Freeport dalam waktu 24 jam setelah rekomendasi ekspor diberikan pihak Freeport. "Kalau begitu sampai satu hari paling lama keluar izinnya, Dia begitu diajukan dapat rekomendasi dari ESDM, begitu menerima besok pagi keluar," jelasnya.

"Sampai sekarang belum keluar, dia enggak minta ya kita enggak kasih," tukasnya.
BUTUH STABILITAS - Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, menegaskan aturan baru tersebut bertujuan menjaga investasi asing di dalam negeri. Revisi tersebut pun berlaku tidak hanya kepada Freeport, melainkan kepada seluruh pemegang Kontrak Karya (KK).

"Semua itu dalam rangka mendorong investasi asing pada perusahaan-perusahaan yang sudah masuk ke dalam IUPK. Itu saja. Freeport dan Amman. Amman juga dapat fasilitas sama, namanya IUPK kan generic," terang Bambang di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (11/4).

Bambang juga mengatakan, Freeport akan melakukan investasi sebesar US$ 2,2 miliar, untuk membangun tempat pengolahan dan pemurnian (smelter), karena itu membutuhkan stabilitas investasi.

"Sebetulnya Freeport ini choice, bukan obligation. Kalau mau ekspor konsentrat harus jadi IUPK, tapi IUPK juga enggak sebentar, karena dia mau investasi smelter paling tidak US$ 2 miliar untuk underground mining," kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang mengatakan, apabila Freeport ingin mendapat izin ekspor mineral olahan (konsentrat), maka Freeport harus mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK. Namun untuk mengubah status memakan waktu yang lama, karena harus melalui perundingan terebih dahulu.

Oleh sebab itu, untuk menjaga stabilitas investasi dan agar Freeport bisa kembali melakukan ekspor konsentrat, pemerintah memberikan waktu IUPK selama 6 bulan. Selama itu pula, Freeport dengan pemerintah juga melakukan negosiasi mencari kesepakatan untuk perubahan status permanen. Namun jika dalam 6 bulan tidak mencapai kesepakatan Freeport bisa kembali menyandang status KK dan tidak bisa melakukan ekspor.
INVESTASI FREEPORT - PT Freeport Indonesia mengklaim telah mengeluarkan uang sebesar US$ 6,2 miliar atau setara dengan Rp 82,4 triliun untuk pengembangan tambang bawah tanah Grasberg di Papua sejak 2004 hingga 2016.

"Kita rencanakan juga dari 2017-2041 kalau semua lancar, kita investasikan US$ 13,6 miliar untuk ekspansi underground. Ada juga untuk membuat mill kita, penambahan power untuk operasi. Mayoritas spending untuk tambang bawah tanah," kata VP Underground Mine Operations PT Freeport Indonesia, Hengky Rumbino di Jakarta, Rabu (14/4).

Investasi ratusan triliun rupiah untuk pengembangan tambang bawah tanah ini butuh persiapan sejak jauh-jauh hari. Sebab, pembangunan akses terowongan hingga dimulainya produksi bijih memakan waktu lebih dari 10 tahun.

Sebagai gambaran, Freeport butuh waktu 6 tahun sejak 2004 sampai 2010 untuk membangun terowongan sampai ke badan bijih. Lalu dibangun juga ventilasi dan infrastruktur lainnya.

"Tergantung letak badan bijihnya. Untuk kasus Freeport, kita menambah di sekitar 1,6 km di bawah tanah. Untuk mencapai badan bijih kita butuh membangun akses terowongan dari 2004, kita bikin dulu akses utama, jalan masuk, dan juga ventilasi. Baru 2010 kita mencapai badan bijih," ucapnya.

Produksi baru bisa dimulai 5 tahun kemudian. Puncak produksi baru dicapai kira-kira 5 tahun setelah awal produksi. Jadi sejak pembangunan akses terowongan sampai menuju puncak produksi perlu 17 tahun.

Itulah sebabnya Freeport sangat menginginkan kepastian perpanjangan kontrak dan stabilitas investasi untuk jangka panjang.

"Jadi bayangkan, untuk bisa mencapai produksi puncak butuh waktu dari 2004 sampai 2021. Di produksi puncak kita berharap bisa bertahan sekitar 5 tahun. Investasi block caving butuh waktu 10-12 tahun untuk persiapan saja," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: