JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tahun 2015 ini pemerintah meningkatkan kewajiban untuk mencampur solar dengan biodiesel untuk konsumsi dalam negeri dari 10% menjadi 15%. Kebijakan ini dimaksudkan untuk merespons lemahnya nilai tukar rupiah, yaitu melalui pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM). Langkah ini juga sekaligus untuk meningkatkan penyerapan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) agar harganya yang saat ini anjlok bisa terdongkrak.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulya mengatakan, saat ini ketergantungan Indonesia kepada minyak bumi impor makin besar. Sejak tahun 2001 cadangan minyak kita terus turun, sedangkan penemuan sumber minyak baru minim. Penurunan terus terjadi pada produksi minyak mentah Indonesia.

Di sisi lain, kebutuhan akan BBM terus naik. Hal ini diperparah oleh kondisi kilang kita yang sudah tua dan tidak efisien. Akibatnya, Indonesia makin tergantung dengan impor minyak dari negara tetangga, Singapura, baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM. "Jadi Kedaulatan (energi) kita akan selalu tergantung mereka," kata Rida di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Jumat (4/9).

Rida mengatakan, pemerintah sudah menyadari bahwa ketergantungan itu harus dikurangi. Caranya dengan memanfaatkan energi baru dan energi terbarukan (EBT) kita yang melimpah. Bahan Bakar Nabati (BBN) dari sawit adalah salah satu yang dianggap mumpuni untuk mengurangi ketergantungan itu. Jika itu bisa dilakukan maka kebutuhan kita akan mata uang asing dapat dikurangi. Hal ini akan memperkuat devisa dan nilai tukar rupiah. "Sawit menjadi pilihan yang paling elok sekarang ini dalam rangka untuk bangun kedaulatan energi," katanya.

Rida menyampaikan, terkait BBN, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Antara lain Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Di dalamnya disebutkan mengenai instruksi presiden kepada menko perekonomian, 12 menteri terkait, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan percepatan pengembangan BBN sesuai tugas masing-masing. Pengembangan BBN meliputi pengembangan bahan baku, teknologi proses sampai dengan niaga yang merupakan tugas bersama lintas kementerian.

Selanjutnya ada juga Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Dalam peraturan ini ada pewajiban pencampuran biofuel ke dalam BBM. Tujuannya, untuk meningkatkan pemanfaatan biofuel dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional.

Biofuel yang dimaksud adalah biodiesel, bioetanol dan minyak nabati murni. Pewajiban dilakukan bertahap. Pada tahun 2015, target pewajiban pencampuran biodiesel pada solar adalah sebagai berikut: 5% untuk transportasi PSO, 7% untuk transportasi non PSO dan 10% untuk industri dan komersial.

Target ini lalu direvisi lewat Permen ESDM No. 20 Tahun 2014 dimana pewajiban tadi ditingkatkan dan dipercepat. Di tahun 2014 dan 2015 pencampuran biodiesel pada solar diwajibkan sebanyak 10 persen (untuk sektor pertanian, usaha mikro, perikanan, transportasi, industri serta komersial). Pewajiban ini dikenal dengan mandatori biodiesel 10% atau B10.

Selanjutnya, peraturan kembali direvisi melalui Permen ESDM No. 12 Tahun 2015. Di Permen ini pewajiban dipercepat. Pada tahun 2015, pewajiban pencampuran biodiesel ke solar ditingkatkan menjadi 15 persen (untuk sektor pertanian, usaha mikro, perikanan, transportasi, Industri serta komersial). Sedangkan target di tahun 2016 dan tahun 2020 masing-masing 20% dan 30%. Pewajiban ini dikenal dengan mandatori biodiesel 15 % atau B15. Permen ini diluncurkan pada 23 Maret 2015 lalu.

Dikutip dari situs Kementerian ESDM, kebijakan peningkatan kewajiban pencampuran biodiesel di tahun 2015 ini merupakan salah satu dari enam paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk merespons pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini diharapkan bisa mendukung kebijakan ekonomi makro dan menghemat devisa negara melalui pengurangan impor BBM. Pelaksanaan mandatori B15 ini diharap dapat menyerap produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta kilo liter (KL) atau setara 4,8 juta ton crude palm oil (CPO). Serta bisa menghemat devisa sebesar US$2,54 miliar.

Rida mengatakan, program mandatori B15 ini merupakan salah satu program yang mendorong hilirisasi industri sawit nasional. Program ini akan memberi dampak langsung pada peningkatan kebutuhan dan harga sawit nasional. Selain itu, peningkatan pemanfaatan biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri akan meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Serta menghemat devisa karena ada pengurangan impor solar.

Percepatan program mandatori biodiesel di tahun 2015 ini, dari 10% menjadi 15% ini, tentu saja disambut gembira oleh pelaku usaha di sektor sawit. Pasalnya harga CPO saat ini tengah terpuruk di bawah US$500 per metrik ton (MT). Padahal pada Februari 2014 harga CPO tercatat ada di sekitar US$800-1.000 per MT. kebijakan ini diharapkan bisa ikut mendongkrak harga CPO.

HARGA CPO TERPURUK - Anjloknya harga CPO ternyata merupakan salah satu imbas dari penurunan harga minyak dunia. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyampaikan, trend turunnya harga minyak bumi sejak pertengahan 2014 berdampak pada harga CPO. Sejak akhir 2014 sampai saat ini, harga CPO di bursa Indonesia, Malaysia, dan Rotterdam turut anjlok hingga di bawah US$750 per metrik ton.

Rendahnya harga CPO ini diprediksi akan terus terjadi dalam jangka waktu lama. Kenaikan harga CPO diprediksi akan bergerak lambat. Harga CPO baru akan berada di angka US$ 750 per MT di tahun 2022.  

Hal senada juga diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud. Dia menyampaikan, harga minyak dunia terus turun sejak sejak kuartal ketiga tahun 2014. Harga rata-rata di bulan Agustus 2015 bahkan menyentuh angka  US$47,5 per barel. Harga terendah dalam 6 tahun belakangan.

Anjloknya harga minyak ini dipicu oleh adanya perang harga minyak yang dilakukan oleh negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) melawan negara produsen Non-OPEC. Suplai minyak dunia akhirnya berlebih akibat keputusan OPEC yang terus meningkatkan suplai. Harga pun anjlok. Turunnya harga minyak ini segera disusul oleh komoditas-komoditas lain, termasuk CPO, batubara, karet dan lainnya.

Selain harga minyak dunia yang turun, anjloknya CPO juga dipengaruhi oleh lesunya ekonomi China. Hal itu disampaikan oleh Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Bayu Krisnamurthi. Dia mengatakan, saat ini pasar utama sawit Indonesia adalah China. Karena ekonomi China sedang lesu maka permintaan mereka akan minyak sawit Indonesia juga terganggu.

"Tiongkok lagi lesu. Itu membuat permintaan dari sana, kalaupun tidak berkurang, mereka mencoba di-reschedule, ada yang di-hold, dan macam-macam. Jadi ini situasinya sedang sulit," katanya di Menara Kadin Jakarta Selatan, Jumat (4/9).

Anjloknya harga CPO ini berdampak besar bagi Indonesia, karena CPO merupakan salah satu produk eskpor penting kita. Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia, peringkat 1 dunia.

Ketua Kamar Dagang Dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo B. Sulisto mengatakan, Indonesia bersama Malaysia merupakan produsen CPO terbesar dunia, menguasai 90 persen total produksi dunia. Bayu Krisnamurthi juga menyebut Industri berbasis sawit ini merupakan industri strategis. Sekitar 10 persen dari total nilai ekspor Indonesia didapat dari sawit. "US$19-20 miliar dari total ekspor sekitar US$200 miliar," katanya.

Musdhalifah Machmud menyatakan, harga CPO yang turun tentu saja akan membuat pendapatan petani sawit turun. Hal itu merupakan akibat dari penurunan belanja yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan sawit. Anjloknya harga CPO ini juga berpengaruh pada penerimaan negara.

Kepala BKF Suahasil Nazara mengatakan, tak ada lagi uang mengalir dari bea keluar ekspor CPO, sejak Oktober 2014 sampai saat ini. Penyebabnya, ekspor CPO baru dapat dikenai bea keluar jika harganya ada di atas ambang batas pengenaan bea keluar, yaitu US$75 0 per MT. Masalahnya, penerimaan bea keluar dari sawit ini besar.

Sampai tahun 2013, penerimaan bea keluar masih didominasi oleh CPO. Kebijakan pungutan bea keluar pada komoditas sawit, CPO dan turunannya dibuat untuk mendorong pengembangan industri hilir kelapa sawit dan menjaga stabilitas harga minyak goreng di Indonesia. Kebijakan ini dibuat pada tahun 2011.

HILIRISASI SAWIT - Muzdalifah mengatakan, dia ingat betul mengenai alasan dibuatnya kebijakaan bea keluar itu. Saat itu minyak goreng hilang di pasaran. Bahan bakunya hampir habis karena besarnya porsi eskpor. Lalu, dicoba berbagai kebijakan, antara lain domestic market obligation (DMO), yang ternyata tidak bisa berjalan dengan baik.

Setelah berdiskusi dengan para pelaku usaha, akhirnya pemerintah menerbitkan kebijakan bea keluar. Kebijakan yang awalnya hanya dimaksudkan untuk menahan agar CPO tidak diekspor semua dan cukup untuk kebutuhan pangan dalam negeri itu akhirnya berkembang. Bea keluar dalam perkembangannya diarahkan juga untuk pengembangan hilirisasi industri sawit di tahun 2010.

Salah satu bentuk hilirisasi sawit adalah pengembangan produksi biodiesel. Sayangnya, antara Februari sampai Agustus 2015 ini produksi biodiesel tidak terserap dengan baik. Ada masalah teknis mengenai selisih harga.

Giri Santoso, Vice President Fuel Industrial Marketing PT Pertamina, mengatakan realisasi penyaluran biosolar di tahun 2015 baru mencapai 968.483 kilo liter, sampai dengan 21 Agustus. Rendahnya realisasi ini menurut Giri karena ada kendala suplai Fatty Acid Methyl Ester (FAME) alias biodiesel dari supplier atau pemasoknya.

Supplier tidak mau memasok biodiesel ke Pertamina dengan harga sesuai formula tahun 2014, yang mengacu pada indeks Means of Platts Singapore (MOPS) jenis Gasoil 0,25%S (untuk minyak solar). Supplier menganggap harga itu terlalu murah. Mereka minta harga biodiesel dinaikkan. Karena mahal, Pertamina pun tidak bisa membelinya. "Sempat kemarin kita stagnasi di Februari-Agustus 2015," katanya.

Giri menyampaikan, terganggunya penyerapan biodiesel itu adalah imbas dari turunnya harga minyak mentah dunia. Menurutnya, anjloknya harga minyak menyebabkan indeks MOPS jenis Gas Oil 0,25%S turun. Harganya jadi jauh lebih rendah dibandingkan harga biodiesel.

Masalahnya, Pertamina selama ini menggunakan dasar indeks MOPS jenis Gasoil 0,25%S dalam pembelian biodiesel. Akibatnya, ada selisih harga antara harga indeks pasar (HIP) biodisel dengan harga biodisel yang dibeli oleh Pertamina.

Apalagi, lanjut Giri, mulai tahun 2015 subsidi untuk BBN dihapuskan melalui Undang-Undang APBN-P 2015. Subsidi hanya dialokasikan untuk solar atau biosolar, yaitu subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter.

Selisih harga inilah yang menggangu program peningkatan pemanfaatan biodiesel. Tidak ada yang mau rugi. Agar berjalan dengan baik, selisih harga ini harus ada yang menutupnya. Selisih harga ini harus disubsidi.

Kepala BKF Suahasil Nazara mengatakan, kebijakan untuk meningkatkan penyerapan CPO untuk BBN memang butuh dana tambahan untuk subsidi.

DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT - Suahasil mengatakan, pemerintah Indonesia sangat berkepentingan untuk menjaga agar industri sawit terus berkelanjutan dan semakin efisien. Penyebabnya, tanaman kelapa sawit punya habitat yang sangat spesifik, hanya di sekitar garis ekuator, dengan rentang 6 derajat ke atas dan 6 derajat ke bawah. Sangat pas dengan posisi Indonesia. Karena itu pemerintah punya komitmen untuk menjaga keberlanjutan industri ini.

Menurutnya, komitmen pemerintah tentu saja membutuhkan pendanaan, yaitu dari APBN. Di masa lalu, saat harga CPO tinggi pemerintah mendapatkan penerimaan dari bea keluar yang sebagiannya dikembalikan lagi untuk pengembangan sektor sawit, termasuk hilirisasi. Namun, setelah harga anjlok, pemerintah tidak memiliki penerimaan dari bea keluar ekspor sawit.

Ini menurutnya merupakan ancaman yang cukup serius, karena pemerintah akhirnya tidak bisa mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk sawit, sebagaimana mestinya. "Di masa lalu, ketika harga relatif cukup tinggi, seyogyanya ada pengeluaran yang cukup tinggi untuk industri ini, tetapi kan sayangnya yang terjadi ya sedang-sedang saja," katanya.

Di sisi lain, menurut Suahasil, pelaku usaha juga telah menyampaikan masukan agar dana bea keluar bisa langsung dipakai untuk pengembangan sektor sawit. Pemerintah dan pelaku usaha akhirnya bekerjasama untuk mencari solusi, bagaimana cara mendapatkan dana tambahan subsidi untuk BBN.

Pelaku usaha bersedia untuk memberikan kontribusi dalam bentuk dana pungutan dalam upaya merevitalisasi industri sawit. Dana dikembalikan lagi ke sawit. Hasilnya muncul ide untuk membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Tugasnya adalah untuk menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan sawit.

Menurut Suahasil, kesadaran untuk berkontribusi dari pelaku usaha ini sangat menggugah hati. Menteri Keuangan saat itu langsung menyambutnya dengan memberikan instruksi kepada BKF untuk membuat sistemnya. Sistem harus dibuat dengan sesederhana mungkin agar dana dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri perkebunan sawit dan biodiesel. BKF kemudian menelaah peraturan perundangan yang berlaku.

"Ternyata peraturan perundangan memberi jalannya, dengan apa yang disebut Badan Layanan Uumum (BLU). Dengan diskusi yang sangat intensif bersama pihak Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian dan beberapa pihak lain, termasuk teman-teman dari dunia usaha, kita akhirnya merumuskan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP). Yang ternyata di dalam struktur peraturan perundangan kita sudah dimungkinkan untuk melakukan pengumpulan dana dari sektor perkebunan," kata Suahasil.

Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014. Menurut Suahasil, UU Perkebunan memberi amanat yang sangat spesifik tentang diperbolehkannya melakukan pengumpulan dana perkebunan oleh pemerintah. Pelaku usaha sepakat dana itu dikumpulkan dari pungutan ekspor sawit.

"Dana perkebunan ini dikumpulan dari mana? Kita dan teman-teman pengusaha mengatakan, (ini bisa) dari pungutan ekspor. Kalau ekspor dipungut, kita harus bicara dari yang paling hulu dan paling hilir. Sehingga dengan sistem pungutan yang tepat ini akan mendorong hilirisasi makin cepat, tentu pungutan yang (produk) hulu harus lebih tinggi dari hilir. Ini akan mendorong hilirisasi," katanya.

Suahasil mengatakan, UU Perkebunan memperbolehkan dana perkebunan digunakan untuk berbagai macam hal. Mulai dari peremajaan atau replanting, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di industri perkebunan sawit, untuk penelitian dan pengembangan, dan untuk kepentingan industrinya seperti pengembangan biodiesel.

Dia menjelaskan, pungutan atas ekspor komoditas kelapa sawit dan turannya ini dimaksudkan untuk mendukung pengurangan impor BBM, peningkatan konsumsi CPO dalam negeri untuk biodiesel serta pengembangan sektor perkebunan yang berkelanjutan.

BADAN PENGELOLA DANA SAWIT - Sebagai tindak lanjut dari rencana adanya pungutan dana sawit itu, pemerintah kemudian menerbitkan beberapa peraturan perudangan. Antara lain: Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan; Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit; Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 113 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPDP Kelapa Sawit dan PMK No. 133 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDP Kelapa Sawit.

Dalam PP No. 24 Tahun 2015 dijelaskan tujuan-tujuan dari penghimpunan dana perkebunan. Yaitu untuk: menyediakan dana untuk pengembangan usaha perkebunan yang berkelanjutan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia perkebunan; mendorong pengembangan industri hilir perkebunan; meningkatkan optimasi penggunaan hasil perkebunan untuk bahan baku industri, energi terbarukan, dan ekspor; meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan usaha perkebunan dengan mengoptimalkan harga di tengah fluktuasi harga komoditas perkebunan dunia; serta mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia.

Perpres No. 61 Tahun 2015 yang berlaku sejak 25 Mei 2015 ini dibuat untuk menjamin pengembangan perkebunan sawit secara berkelanjutan. Di dalam perpres disebut dana perkebunan kelapa sawit dapat bersumber dari pelaku usaha perkebunan sawit, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat dan dana lain yang sah.

Pungutan atas ekpor komoditas sawit wajib dibayar oleh pelaku usaha perkebunan sawit yang melakukan eskpor, pelaku usaha industri berbahan baku sawit, dan eksportir komoditas sawit dan turunannya. Dana akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.

Dana ini dapat digunakan untuk beberapa hal. Yaitu, untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) perkebunan sawit; penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit; promosi perkebunan kelapa sawit; peremajaan perkebunan kelapa sawit dan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit. Penggunaan dana pungutan ini termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan BBN jenis biodiesel. Penggunaan dana dilakukan dengan prinsip prioritas.

Penggunaan dana terkait dengan pemenuhan hasil perkebunan sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan BBN jenis biodiesel dilakukan dengan prinsip prioritas. Penggunaan dana untuk penyediaan dan pemanfaatan biodiesel dimaksudkan untuk menutup selisih antara harga indeks pasar (HIP) solar dengan HIP biodiesel.

Selanjutnya, terbit No. 113 tahun 2015 sebagai payung hukum berdirinya sebuah Badan Layanan Umum bernama BPDB Kelapa Sawit di Kementerian Keuangan. Tugasnya, adalah melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit. Antara lain dengan melaksanakan penyusunan rencana, penghimpunan dana, pengelolaan dana dan penyaluran dana.

Menurut Suahasil, hingga 2 September 2015 dana perkebunan sawit yang masuk berjumlah Rp1,4 triliun. Penggunaan dana diprioritaskan untuk tujuh bidang prioritas. Saat ini dana terutama difokuskan untuk prioritas pertama yaitu dukungan untuk program biodiesel.

Hal senada juga diakui oleh Bayu Krisnamurthi. Dia mengatakan bahwa saat ini dana perkebunan sawit itu sebagain besar akan masuk ke subsidi biodiesel. Menurut Bayu, dana itu akan digunakan untuk menambal selisih harga antara MOPS dengan harga biodiesel. "Jadi minyaknya kan menggunakan (harga indeks) MOPS, sedang biodieselnya juga sudah ada rumusnya Harga Indeks Pasar (HIP)nya. Ada indeksnya. Nah, selisihnya itu akan dibayar dari dana ini," kata Bayu.

Namun, BPDP Kelapa Sawit juga tetap mengalokasikan dana untuk peremajaan sawit atau replanting. "Dananya cukup banget," kata Bayu. Sampai saat ini, lanjut Bayu, untuk replanting sudah ada 2 proposal yang masuk, masing-masing 300 hektar sawit, sehingga total ada 600 hektar. Proposal diajukan oleh 2 kelompok petani swadaya.

Dia memperkirakan, biaya replanting untuk setiap hektare sawit membutuhkan dana antara Rp40-50 juta. "(Untuk replanting) targetnya untuk tahun ini mungkin nggak akan sampai terlalu besar. Tahun ini mungkin 15 ribu (hektare) ya yang sudah kita siapkan, tahun 100 ribu. Dananya juga siap," katanya.

BEDA DENGAN REZIM BEA KELUAR - Suahasil mengatakan, ada perbedaan antara bea keluar CPO dan pungutan ekspor untuk dana perkebunan ini. Bea keluar yang dibayarkan oleh pengusaha akan masuk ke kas pemerintah, masuk ke pool of fund, dan keluar bisa dalam bentuk apa saja. Sedangkan pungutan ekspor ini secara spesifik akan dikembalikan ke sektor perkebunan sawit. Di dalam anggaran penerimaan negara, pungutan ekspor ini juga tidak masuk dengan nama bea keluar, tapi sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Suahasil mengatakan mekanisme pungutan dana ekspor ini merupakan pengganti dari mekanisme  pengganti untuk bea keluar sawit. Pasalnya, realisasi penerimaan negara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015 turun jauh karena tidak ada pemasukan dari bea keluar sawit.

Target penerimaan bea keluar yang tinggi tak sebanding dengan realisasinya yang rendah sekali. "Penerimaan negara kita agak berdarah-darah," katanya. Saat ini, pengumpulan dana kegiatan BPDP Kelapa Sawit sudah mulai berjalan.

Namun, dengan adanya dana pungutan ini, penerimaan negara dari PNBP meningkat. Selanjutnya, setelah dana ini ada maka muncul pengeluaran untuk membiayai kegiatan peremajaan kebun, subsidi biodiesiel, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan kapasitas perkebunan dan lainnya.

"Ini kami yakini akan sangat bermanfaaat untuk industri perkebunan dan sawit itu sendiri. Semoga ini dapat mencapai tujuannya, karena sekarang ada pengeluaran (untuk sawit)," katanya.

Suahasil juga mengatakan, pengusaha tidak perlu khawatir dengan akan dikenakannya pungutan dobel saat harga CPO naik di atas US$750 per MT, yaitu bea keluar dan dana pungutan. Menurutnya, jumlahnya keduanya nanti tidak akan lebih tinggi dibandingkan dengan bea keluar di masa lalu. Suahasil menjelaskan, memang bea keluar akan hidup lagi jika harga di atas  US$750 per MT, namun mekanismenya beda.

"Katakanlah kalau harganya US$800, di masa lalu kena bea keluar US$54. Nah, untuk saat ini jika harga naik jadi US$800 maka pungutannya US$50 dan bea keluar US$4. Sehingga total tetap US$54. Tidak lebih memberatkan," katanya.

Suahasil mengatakan, pemerintah membuat bea keluar bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dia mengatakan, sistem bea keluar yang dulu berlaku sudah bagus. Cuma karena saat ini harga CPO turun maka tidak ada penerimaan negara.

Padahal, dana itu antara lain digunakan untuk hilirisasi sawit. Karena itu, pemerintah sangat tergugah dan menyambut baik saat pelaku usaha menyatakan bersedia membayar pungutan asal dananya kembali ke sawit.

STABILISATOR HARGA CPO - Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Agribisnis dan Pangan Franky O. Widjaja mengatakan kebijakan pemerintah terkait dengan mandatori B15 dan pungutan ekspor sawit ini merupakan strategi yang sangat penting. Kebijakan ini menurutnya dapat menjadi stabilisator harga CPO. Dengan kebijakan ini supply-demand CPO dapat dipengaruhi.

Beberapa waktu terakhir ini, harga CPO sudah mengalami kenaikan meskipun sedikit. Hal itu terjadi setelah beberapa kebijakan terkait BBN15 ini keluar dalam 3-4 bulan terkahir, ditambah adanya pengaruh dari gelombang panas El Nino. Saat ini harganya sudah mendekati US$ 500 per MT. "Sebelumnya pernah paling rendah US$425-430 per metrik ton," katanya.

Menurut Franky, dana pungutan ekspor yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit ini tujuannya bukan untuk menambah beban industri. Dana akan dikembalikan ke industri sawit juga. Saat ini, dana itu antara lain untuk subsidi biodiesel yang dihasilkan dari CPO.

Menurutnya, tanpa kebijakan ini mungkin saja akan terjadi penurunan harga lagi pada CPO, sebesar US$100 per MT. Harganya bisa anjlok di bawah US$400 per MT. Kebijakan pemerintah kali ini sangat membantu petani-petani. "Petani kita perlu diberi sedikit wawasan, kalau tidak ada ini sudah hancur ini pak," katanya.

Ketua Umum Kadin, Suryo B. Sulisto juga menyatakan, minyak sawit adalah minyak nabati terbesar yang digunakan di dunia. Secara historis, minyak sawit digunakan sebagai bahan makanan. Namun, dalam perkembangannya minyak ini juga telah dipergunakan sebagai campuran untuk produksi biodiesel. Dan penggunaan baru itu, permintaan minyak sawit semakin meningkat drastis.

Sementara itu Giri Santoso dari Pertamina mengaku siap menyerap biodiesel atau FAME untuk kebutuhan biosolar di dalam negeri, baik untuk sisa tahun 2015 ini dan tahun 2016. Giri menyambut gembira adanya dana pungutan sawit yang dikelola BPDP Kelapa Sawit, yang antara lain akan membayar selisih harga antara harga minyak MOPS dan Biodiesel.

"Dengan adanya perkembangan sekarang ini, yaitu adanya badan pengelola dana, ini adalah suatu way out (jalan keluar) yang kita bisa manfaatkan sama-sama," katanya.

Sebagai tindak lanjut dari adanya Perpres No. 61 tahun 2015, maka Pertamina saat ini akan membeli biodiesel dengan basis Harga Indeks Pasar (HIP) Solar. Nantinya, jika ada selisih harga antara HIP biodiesel (plus ongkos  angkutnya) dengan HIP BBM jenis solar maka hal itu akan dibayar oleh BPDP Kelapa Sawit.

Sejak Agustus sampai Desember 2015 ini, Pertamina siap untuk menyalurkan biosolar (B15) di 33 kota utama di Indonesia. Delapan unit pemasaran Pertamina sudah siap. Begitu juga dengan tangki-tangki yang digunakan mencampur biodiesel dan solar sudah siap.

"Tahun ini saja kita akan salurkan 3 juta kilo liter biosolar, atau setara dengan 415 ribu kilo FAME (biodiesel). Selama 5 bulan ini. Lalu untuk tahun 2016 kita akan salurkan 24 juta kilo liter biosolar (B20), dengan FAME berjumlah 4,8 juta kilo liter," katanya.

JALAN YANG BENAR - Bayu mengatakan, saat ini produksi sawit kita sangat bagus. Kita juga sedang kelebihan suplai. Tangki-tangki penuh. Sayangnya, kondisinya saat ini sedang sulit. Harga CPO pun anjlok.

Menurutnya, dengan kondisi ini, mau tidak mau Indonesia harus mencari pasar lain untuk CPO. Bukan hanya mengandalkan ekspor. Dan menurutnya, pasar lain yang paling siap adalah biofuel.

Hal ini sekaligus akan mendukung program Kementerian ESDM untuk mengurangi ketergantungan impor minyak dengan meningkatkan penggunaan EBT. "Kita semua ini sudah on the right track. Sudah benar kita. Tinggal kita laksanakan," katanya.

Terkait dengan dana pungutan ekspor sawit, Bayu mengatakan, memang dia menyadari penuh bahwa saat ini situasi sedang tidak mudah. Bayangkan dengan harga CPO yang hanya sekitar US$400-an, pengusaha harus dipotong US$50 untuk pungutan. Itu memang berat, namun kalau tidak dilakukan industri sawit akan hancur.

Dengan pungutan itu, CPO akan diserap pasar dalam negeri melalui biodiesel. Selain itu dana juga akan digunakan untuk mendukung industri sawit agar terus berkelanjutan, salah satunya dengan replanting.

Musdhalifah Machmud mengatakan, pungutan sawit ini seyogyanya tidak dilihat sebagai beban oleh pelaku usaha. Namun, dilihat sebagai biaya produksi di industri sawit. Pasalnya, pungutan itu akan kembali ke sektor sawit, untuk mengangkat harkatnya.

Dulu, jika dengan kebijakan bea keluar bahan baku sawit di dalam negeri terjamin, maka diharapkan dengan adanya dana pungutan yang dikelola BPDP Kelapa Sawit ini hasilnya akan lebih luas lagi. Selain meningkatkan harga CPO dan produk turunannya, kebijakan ini juga diharap dapat membuat ketahanan energi kita menjadi lebih terjamin.

Harapannya, APBN kita semakin kuat karena tidak terlalu terbebani dengan minyak impor dan subsidi untuk BBM. "Dengan semakin banyak serapan kelapa sawit di dalam negeri, itu akan mengurangi suplai untuk ekspor. Diharapkan ini akan menggiring harga (CPO) menjadi lebih tinggi," kata Musdhalifah. (Gresnews.com/Agus Hariyanto)

BACA JUGA: