JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keputusan pemerintah untuk keluar sementara dari keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries--OPEC) yang diputuskan pada sidang ke-171 OPEC di Wina, Austria, Rabu (30/11) menuai pro dan kontra. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI fraksi Golkar Satya W Yudha mengatakan, DPR sangat terkejut dengan langkah pemerintah itu.

Pasalnya, terkait keanggotaan, yang disampaikan, Indonesia hanya sebagai observer bukan full membership. Mengingat Indonesia bukan negara pengekspor. "Kita pengimpor, pada waktu itu, diyakinkan bahwa masuknya sebagai observer, maka kita bisa berhubungan dengan para produsen minyak sehingga bisa dimanfaatkan," kata Satya kepada gresnews.com, Minggu (4/12).

Dia juga menyayangkan langkah pemerintah keluar dari OPEC. Alasannya, menurut Satyam dengan menjadi anggota OPEC, Indonesia justru bisa mendapatkan harga yang bagus ketika akan mengimpor minyak. "Karena kedekatan kita dengan  negara-negara produsen tersebut," jelasnya.

Dia merekomendasikan agar Indonesia tetap menjadi anggota OPEC dengan status observer, sehingga keinginan untuk berhubungan dengan-negara negara produsen tetap terjaga. "Disamping itu sebagai observer tidak terkena kebijakan penurunan atau penaikan tingkat produksi sebagaimana yang dikenakan kepada negara-negara full membership," ucapnya.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, keputusan pemerintah untuk keluar sementara dari keanggotaan OPEC, tidak ada pengaruhnya bagi Indonesia. "Nggak ada pengaruhnya, mau berada di luar atau di dalam OPEC, karena kita sebagai importir minyak," kata Yusri kepada gresnews.com, Minggu (4/11).

Dia mengatakan, perdagangan minyak adalah bentuk perdanggan bebas. "Pas barang dan harga terjadi deal, hukum ekonomi yang berlaku, jadi apa yang mau diharapkan dan dipersoalkan soal status Indonesia di OPEC? Itu cuma buang-buang waktu saja," paparnya.

"Jangankan di OPEC, di dalam negeri saja kita tidak mampu mengatasi bagaimana mengambil alokasi minyak bagian KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama-red) untuk kebutuhan kilang Pertamina, ironis memang," jelasnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Indonesia memutuskan untuk membekukan sementara (temporary suspend) keanggotaannya di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Presiden Joko Widodo mengatakan, kondisi seperti sekarang bukan yang pertama bagi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi bagian OPEC kemudian keluar dan masuk kembali.

"Iya, dulu kan kita pernah jadi anggota OPEC, kemudian tidak menjadi anggota, kemudian kita masuk lagi karena kita ingin informasi naik turunnya harga kemudian kondisi stok di setiap negara tahu kalau jadi anggota," ujar Jokowi di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (1/12).

Jokowi memastikan tidak ada gangguan yang kemudian muncul terhadap perekonomian Indonesia ke depannya. "Ya kalo memang kita harus keluar lagi kan gak ada masalah. Dulunya kan juga tidak," tegasnya.

Seperti diketahui, dengan pembekuan keanggotaan ini, Indonesia tercatat sudah dua kali membekukan keanggotaan di OPEC. Pembekuan pertama pada tahun 2008, efektif berlaku 2009. Indonesia memutuskan kembali aktif sebagai anggota OPEC pada awal 2016.

Pembekuan sementara ini adalah keputusan terbaik bagi seluruh anggota OPEC. Sebab dengan demikian keputusan pemotongan produksi minyak dunia sebesar 1,2 juta barel per hari bisa dijalankan, dan di sisi lain Indonesia tidak terikat dengan keputusan yang diambil, sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.

IMPOR MAKIN BANYAK - Keputusan Indonesia keluar dari OPEC dinilai tepat karena jika Indonesia mengikuti aturan memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel per hari, maka impor minyak Indonesia akan semakin bertambah. "Sekarang saya tanya Indonesia setuju nggak dengan keputusan OPEC? Kenapa nggak setuju, karena Indonesia diminta potong produksi kan, sekarang impornya banyak. Kalau diminta potong nanti itu impornya makin banyak," ujar Direktur Mega Proyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina, Rachmad Hardadi, di kantornya, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Kamis (1/12).

Saat ini, tanpa penekanan produksi, Indonesia telah mengimpor sebanyak 40% dari kapasitas pengelolaan kilang. Jika produksi ditekan, nanti akan menambah keran impor minyak mentah. "Soal penyediaan growth sama-sama kita ketahui, dengan kapasitas pengelolaan kilang, itu sekitar 850.000-900.000 barel sekitar 60% produk domestik, 40%-nya impor," kata Rachmad.

Sebelumnya, Indonesia diminta mengurangi produksi minyak sampai 37.000 barel per hari (bph). Bila Indonesia mengikuti keputusan OPEC itu, pendapatan dari minyak sebesar US$2 juta atau Rp26 miliar per hari harus dikorbankan.

Maka Indonesia memilih untuk membekukan keanggotaan supaya tidak terikat keputusan pemangkasan produksi. "Itu langkah strategis yang dilakukan Pak Jonan (Menteri ESDM) karena kalau kita ikut, produksi minyak kita terpotong 37.000 bph, itu setara dengan US$2 juta per hari," kata Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan.

Saat ini Indonesia sedang mengalami defisit APBN akibat tidak tercapainya target pendapatan negara. Pemangkasan produksi minyak nasional sebesar 37.000 bph akan sangat merugikan dalam situasi seperti ini. "Itu buat APBN kita berpengaruh," tegas Luhut.

Menkeu Sri Mulyani juga mengakui jika produksi minyak sesuai asumsi APBN yairu 815.000 barel per hari dikurangi, maka akan mempengaruhi penerimaan negara."Paling tidak dari volume produksi," ujar Sri Mulyani.

Dari sisi antisipasi perubahan anggaran, dirinya baru akan melihat jika ada lonjakan harga minyak pasca keputusan OPEC tersebut. "Yang harus kita simak kalau OPEC melakukan pemotongan dengan cukup kredibel, menyebabkan harga minyak meningkat dan dengan kenaikan harga minyak akan memberikan dampak positif ke penerimaan negara," jelas Sri.

"Saya belum komunikasi ke Menteri ESDM karena keputusan OPEC itu biasanya dilakukan pada last minute. Ini elemen surprise dari OPEC untuk bisa sama-sama menyepakati pemotongan jumlah produksi, yang diharapkan memberikan dampak ke harga minyak dunia seperti yang diharapkan OPEC. Tapi saya belum komunikasi ke ESDM," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: