JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Pelindo II (Persero), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digoyang masalah dugaan korupsi pengadaan crane. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun bereaksi dan menyatakan transaksi pengadaan mobil crane oleh PT Pelindo II (Persero) sudah dinyatakan tidak ada masalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal pengadaan mobil crane dinilai yang dilakukan oleh Pelindo II dinilai tidak sesuai aturan yang berlaku sehingga merugikan negara sebesar Rp54 miliar oleh Bareskrim Polri.

Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan wajar saja Richard Joost Lino sampai meminta mundur akibat penggeledahan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri. Akibat dari penggeledahan tersebut berakibat banyaknya direksi BUMN menjadi khawatir dalam menjalankan perusahaan sebab jika dalam menjalankan perusahaan dirasa oleh Direksi BUMN tidak ada kasus, tiba-tiba pihak kepolisian langsung melakukan penggeledahan.

Menurutnya saat ini kasus pengadaan mobil crane tersebut sudah ada ditangan kepolisian. Oleh sebab itu Kementerian BUMN menyerahkan sepenuhnya kepada Kepolisian. Namun Rini mengharapkan adanya komunikasi antara Bareskrim dan perusahaan BUMN agar kasus tersebut tidak terulang kembali serta tidak menimbulkan rasa khawatir bagi direksi BUMN.

"Semua kan ada ranah-ranahnya. Ini sekarang kan ada di ranah kepolisian. Jadi kita tunggu saja hasilnya," kata Rini, Jakarta, Senin (31/8).

Sementara itu, berdasarkan sumber yang tidak mau disebutkan namanya yaitu orang dalam Pelindo II. Dia menyebutkan pengadaan mobil crane tersebut sudah ada sejak 2013. Namun sejak pengadaan tersebut, mobil crane tersebut tidak pernah digunakan oleh perusahaan. Awalnya tujuan pengadaan mobil crane tersebut untuk kantor cabang Pelindo II, namun pada perjalanannya hingga saat ini mobil crane tersebut masih tetap di pelabuhan Tanjung Priok.

TANGAN BESI - Sumber tersebut mengatakan Lino memiliki kekuatan penuh untuk mengatur bawahannya. Seluruh perintah Lino harus diikuti seluruh bawahannya, jika tidak mengikuti maka Lino tidak segan-segan memecatnya. Namun ketika perintahnya tersebut menimbulkan masalah, Lino tidak bersedia bertanggung jawab malah bawahannya tersebut menjadi kambing hitam.

Sumber tersebut mengungkapkan permasalahan pengadaan mobil crane sebenarnya merupakan akumulasi kekesalan seluruh karyawan Pelindo II terhadap kepemimpinan Lino. Awal mulanya sejak Lino memecat puluhan karyawan di tahun 2013. Pemecatan puluhan karyawan tersebut diduga karena tidak menjalankan perintah dari Lino.

"Pak Lino ga bisa ditentang. Semua harus nurut atas perintahnya. Kalau tidak ya dipecat semuanya," kata sumber tersebut kepada gresnews.com, Senin (31/8).

Berdasarkan data yang dimiliki oleh gresnews.com, polemik Pelindo II sudah terjadi sejak akhir tahun 2013, dimana RJ Lino melakukan pemecatan kepada puluhan karyawan Pelindo II. Berdasarkan keterangan, mantan Kepala Unit P2K PT Pelindo II (Persero), Hendra Budi, selama kepemimpinan RJ Lino telah melakukan banyak pelanggaran dan menabrak peraturan korporasi yang ada. Menurutnya Lino memiliki karakter emosi tinggi serta meledak-meledak sehingga menggunakan jabatannya untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada anak buahnya.

Hendra mengatakan kepemimpinan Lino tidak memenuhi prosedur hukum baik perusahaan maupun produk hukum yang lebih tinggi. Menurutnya pola kepemimpinan yang dikembangkan RJ Lino di Pelindo sudah ketinggalan jaman. Ditambah lagi dengan perilaku Lino yang kerap melanggar peraturan yang ada. Misalnya, pada saat para pekerja ingin memperbaiki prosedur hukum, menurut Lino itu diterjemahkan sebagai menghambat.

"Kesewenang-wenangan inilah yang dianggap jika menghambat maka akan langsung diganti oleh Lino," kata Hendra.


BOBROK DI DALAM -
Kemudian, berdasarkan sumber yang terpercaya di PT Pelindo II mengatakan bahwa kebijakan Lino seperti penunjukkan konsultan pelabuhan tanpa melalui mekanisme tender. Menurut sumber tersebut ada enam konsultan pelabuhan yang langsung ditunjuk oleh Direktur Utama PT Pelindo II (Persero).

Bahkan, menurut sumber tersebut, perusahaan dalam menggunakan jasa konsultan tersebut telah menghabiskan lebih dari Rp10 miliar, hal itu diwajarkan oleh para pegawai karena para konsultan-konsultan tersebut memiliki rating 10 besar di dunia. Namun sangat disayangkan jasa-jasa konsultan tersebut sangat sedikit yang diterapkan di pelabuhan karena basic konsultan tersebut mengacu kepada negara maju.

Sumber tersebut mengaku akibat sedikitnya rekomendasi jasa konsultan yang bisa diterapkan, Lino justru memaksa agar rekomendasi jasa konsultan dapat dilaksanakan secara penuh padahal menurut para pegawai rekomendasi jasa konsultan tersebut dapat diterapkan secara bertahap.

"Akhirnya mentah semua. Padahal menggunakan jasa konsultan tersebut perusahaan telah mengeluarkan uang puluhan miliar. Akhirnya kita menjadi bahan ejekan para konsultan," kata sumber kepada gresnews.com.

Kemudian sumber tersebut mengungkapkan kebijakan Lino yang mengundang polemik yaitu investasi alat-alat bongkar muat yang diimpor dari Cina. Alat bongkat muat tersebut pada akhirnya tidak dipergunakan karena tidak sesuai dengan kondisi spesifikasi teknis di pelabuhan.

Menurutnya akibat banyak alat yang tidak dapat dipergunakan perolehan produktifitas menjadi menipis. Biaya kembali modal yang diharapkan perusahaan akhirnya menjadi tidak sesuai dengan hasil produktifitas.

Kemudian, sumber tersebut mengungkapkan posisi banyaknya anak usaha yang dibentuk oleh Direktur Utama PT Pelindo II tersebut hingga saat ini belum memberikan kontribusi kepada induk usahanya. Padahal induk usaha sudah memberikan gaji yang besar kepada direksi anak usaha tersebut, bahkan perusahaan hingga saat ini menggaji para karyawan berasal dari utang yang diperoleh dari perbankan.

Akibat tidak memberikan kontribusi, sumber tersebut menambahkan Pelindo II sebagai induk usaha menegaskan agar anak usaha harus memberikan kontribusi yang besar kepada induk usaha dengan cara merancang proyeksi keuntungan. Alhasil langkah yang dilakukan anak usaha malah menaikkan tarif tetapi tingkat pelayanan sama saja, pelayanan bongkar muat malah menjadi antri yang panjang.

"Kalau menaikkan tarif tapi tingkat pelayanan masih sama itu sih tidak usah mikir, anak kecil juga bisa," kata sumber.

Sumber tersebut mengatakan bahwa saat ini pihak manajemen perusahaan sangat lemah dalam perencanaan hingga tahap eksekusi. Terbukti hingga sekarang pembangunan pelabuhan di Sorong, Papua Barat mangkrak, tidak ada kelanjutan pembangunannya. Padahal pembangunan pelabuhan Sorong sudah menghabiskan dana puluhan miliar.

Sumber tersebut meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk segera mengaudit kinerja keuangan agar para direksi serta manajemen sadar sudah banyak kekeliruan yang dilakukan selama ini terhadap perusahaan. Kalau tidak sadar, menurut sumber, keuangan perusahaan akan ambruk sehingga berdampak perusahaan akan gulung tikar.

Sumber tersebut mengatakan bahwa saat ini kondisi keuangan lebih banyak utang ketimbang keuntungan yang diperoleh perusahaan. "BPK harus masuk bahkan KPK juga lebih bagus bisa masuk," kata sumber.

BACA JUGA: