JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para anggota Dewan Perwakilan rakyat memandang Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno tidak memahami visi misi dari pemerintahan Jokowi-JK. Pangkalnya Rini sangat agresif dalam mencari utangan terutama dari China sehingga bertentangan dengan visi misi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK) yaitu Nawacita dan Trisakti.

Menurut anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Pratikno, visi misi pemerintahan Jokowi-JK adalah Nawacita dan Trisakti, kedua visi misi tersebut merupakan antitesa dari kebiasaan pemerintah yang sering berutang dan sering melakukan impor. Dia menambahkan bukan hanya seorang Rini yang gemar berutang, bahkan menteri-menteri lainnya yang gemar berutang dinilai tidak memahami visi misi dari pemerintahan Jokowi-JK.

Hendrawan mengaku heran alasan Kementerian BUMN melakukan pinjaman kepada pemerintah China sebesar US$3 miliar. Padahal selama ini ketiga bank BUMN tersebut yaitu Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank BRI selalu mempublikasikan kinerja keuangannya mengalami peningkatan. Bahkan untuk rasio kecukupan modalnya sudah memadai.

"Apa alasan bank-bank BUMN itu meminjam? Ketiga bank tersebut kan terlihat glamor. Kami harus mendapatkan penjelasan yang lengkap," kata Hendrawan kepada gresnews.com, Jakarta, Sabtu (26/9).

TANPA RESTU DPR - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, dari pinjaman itu, masing-masing bank pelat merah tadi mendapat pinjaman sebesar US$1 miliar. Komposisi utangnya adalah 70 persen dalam bentuk dolar AS dan 30 persen dalam bentuk mata uang China Renminbi. Sedangkan jangka waktu pinjaman dipatok selama sepuluh tahun.

Kesepakatan pengajuan utang tersebut, kata Heri, melangkahi DPR karena diinisiasi langsung oleh Kementerian BUMN tanpa sepengetahuan DPR RI. "Keputusan itu seperti mencederai semangat pembahasan RUU BUMN yang sedang berlangsung, dimana salah satu poin pentingnya adalah penguatan kontrol DPR terhadap setiap aksi korporasi yang strategis dan berisiko besar seperti utang," ujar Heri.

Komisi VI sendiri, kata Heri, belum mendapat penjelasan resmi dari tiga perbankan dan Menteri BUMN seputar apa saja yang tertuang dalam komitmen perjanjian utang tersebut. Kekhawatiran terhadap risiko utang selalu muncul.

Indonesia, kata dia, tentu tidak ingin bila nanti tiba-tiba ketiga perbankan itu menjadi jaminan utang atau tergadai. "Tanpa kontrol DPR, semua hal bisa saja terjadi. Pemberi utang tentu tidak mau rugi. Tiba-tiba saja, misalnya, sudah terjadi share swap (tukar guling) atau tiba-tiba saja saham ketiga BUMN itu sudah dikuasai asing. Siapa yang tahu?" kata politisi Partai Gerindra tersebut.

Heri mengatakan, mestinya Kementerian BUMN berkonsultasi dahulu dengan DPR sebelum mengajukan pinjaman, karena risikonya juga sangat besar bagi keuangan negara. Saat ini, lanjut Heri, utang swasta dan BUMN sedang meroket dengan angka yang fantastis.

Totalnya di atas 80 persen dari utang luar negeri. "Cara-cara Menteri BUMN yang main putus sepihak ini akan memunculkan banyak spekulasi. Lebih-lebih alasan pinjaman itu ditujukan untuk membiayai proyek infrastruktur yang pembahasannya belum clear dan masih memiliki peluang gagal," ungkap Heri.

Risiko dari utang jangka panjang itu, jelas Heri, bisa menjalar ke mana-mana. Pertama, akan menggerus pendapatan ketiga BUMN itu, karena harus membayar cicilan pinjaman dalam jangka panjang. Otomatis profit dan dividen juga ikut menurun.

Itu artinya penerimaan negara dalam jangka panjang ikut berkurang. Kedua, proyek infrastruktur yang belum jelas hingga kini, menyimpan kegagalan. "Bila sudah gagal, bagaimana utang itu harus dibayar. Tiga bank BUMN itu akhirnya bisa dijadikan jaminan," ujarnya.

Ketiga, sambung Heri, tingkat pengembalian utang itu sangat bergantung pada proyek infrastruktur. Idealnya, dipastikan dulu proyek infrastruktur itu punya nilai ekonomis yang berimbang. Bila tidak, maka itu hanya jadi beban negara.

Politisi dari dapil Jabar IV ini mensinyalir ada dugaan kuat barter proyek dalam kesepakatan tersebut. Selama ini, realisasi proyek yang ditangani Cina banyak bermasalah, seperti proyek listrik 10 MW tahap I dan 2.

Bila kelak proyek infrastruktur itu betul-betul gagal, maka risiko pengembalian utang dari ketiga bank BUMN itu jelas membebani perekonomian negara. "Kalau pada akhirnya gagal, ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah ngutang, proyek gagal, BUMN pun tergadai," keluh Heri.

DAMPAK BERUTANG - Sementara itu, pengamat ekonomi politik Kusfiardi menilai jika perusahaan BUMN dan perbankan BUMN yang tengah dililit utang maka akan berdampak terhadap privatisasi diam-diam. Dimana jika utang tersebut tidak mampu dibayar oleh BUMN, maka pemerintah melalui Kementerian BUMN akan menyelesaikan utang tersebut dengan mekanisme Debt Equity Swap. Dimana mekanisme tersebut merubah utang menjadi saham, artinya utang-utang luar negeri tersebut akan dirubah menjadi saham sehingga akan mendominasi saham di perusahaan BUMN.

Kalau itu sampai terjadi maka sama saja memberikan kepemilikan saham BUMN kepada asing. Menurutnya hal tersebut harus diwaspadai oleh pemerintahan Jokowi dalam hal pinjaman utang yang dilakukan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. Menurutnya dampak dari pinjaman tersebut akan membuat Indonesia semakin tereksploitasi karena seluruh penerimaan negara hanya untuk memenuhi kewajiban utang.

"Belum lagi leluasanya asing untuk mendikte ekonomi kita. Utang kepada Cina sebagai bentuk privatisasi diam-diam," kata Kusfiardi kepada gresnews.com.

Namun Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Gatot Trihargo membantah pinjaman untuk ketiga bank BUMN akan berakibat terhadap dominasi kepemilikan saham asing di perbankan BUMN. Menurutnya tidak ada jaminan terkait pinjaman yang ditandatangani oleh Rini Soemarno. Dia menambahkan tidak ada perusahaan BUMN yang bisa dijual ke pihak manapun.

Dia menjelaskan pinjaman dari CDB kepada ketiga bank BUMN merupakan bentuk mekanisme business to business (B to B). Pinjaman dari CDB nantinya digunakan untuk pendanaan infrastruktur dan proyek-proyek yang terkait dengan ekspor. Menurutnya pinjaman dari CDB masih sangat kompetitif jika dibandingkan dengan global bond. Sebab pinjaman tersebut merupakan bantuan lunak dengan bunga 2,85 persen, grace period 3 tahun dan tenor pembayaran selama 10 tahun.

"Tidak ada jaminan, kita masih tetap merah putih. Tidak ada hal yang bisa dijual ke pihak manapun," kata Gatot kepada gresnews.com. (dtc)

BACA JUGA: