JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Kerja (Panja) Tax Amnesty DPR telah menyelesaikan pembahasan seluruh isi pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak. Dalam rapat konsinyering yang dilakukan beberapa waktu lalu, telah dilakukan penyusutan pasal dari draf yang telah diajukan pemerintah dari 14 bab dan 27 pasal menjadi 12 bab dan 24 pasal.

Akan tetapi dikarenakan penyelesaian yang terlalu terburu-buru dan serba mepet, RUU Pengampunan Pajak ini dinilai belum terlalu ideal dan masih mengandung banyak lubang kelemahan. Rapat konsinyering RUU Pengampunan Pajak yang dilakukan di salah satu hotel di Jakarta selama lima hari berturut-turut itu dianggap bertenggat waktu singkat. Itulah sebabnya beberapa poin yang sangat penting dalam RUU dianggap tidak selesai atau belum ideal.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, beberapa poin seharusnya dikaji lebih mendalam lagi di sela-sela waktu yang sudah terlalu mepet. Misalnya, soal perlakuan terhadap wajib pajak yang sudah tidak mampu untuk membayar tunggakannya.

Hal itu, kata Yustinus, menjadi salah satu poin yang belum jelas dalam RUU Pengampunan Pajak. Sehingga menurutnya perlu dibahas lebih lanjut tindakan untuk para wajib pajak yang tidak bisa ikut tax amnesty akibat tunggakan. "Apakah mereka akan dikenai potongan atau dikenai tarif lebih tinggi tapi bisa ikut tax amnesty? Itu kan masih belum jelas," ungkap Yustinus kepada gresnews.com, Minggu (26/6).

Selain itu, masalah hukuman yang diberikan terhadap wajib pajak yang tidak jujur dalam mengikuti pengampunan pajak ini dianggap masih terlalu ringan, sehingga belum memberikan efek jera bagi pelakunya. Penalti atau hukuman yang diberikan terhadap wajib pajak nakal adalah pemberlakuan tarif normal tanpa pengampunan pajak.

Pemberlakuan tarif normal itu baginya sama sekali tidak memberikan efek terhadap wajib pajak yang nakal. "Kalau dikenai tarif normal orang masih bisa tak jujur, jadi sanksinya harus berat sekitar 200-400% nilainya," tegas Yustinus.

Dengan sanksi yang lebih berat diharapkan para wajib pajak tersebut tidak akan main-main terhadap pengampunan pajak. Dengan memberikan efek yang menakutkan, akan memaksa wajib pajak menjadi jujur, sehingga dapat memaksa pelaku wajib pajak berpartisipasi secara optimal.

Yustinus juga menambahkan pentingnya klausul yang menyatakan bahwa audit pasca pengampunan pajak akan diarahkan kepada wajib pajak yang tidak mengikuti pengampunan pajak. Selain mendorong orang untuk berpartisipasi, klausul ini nantinya menjadi intensif bagi yang ikut untuk tidak diperiksa.

"Juga sebagai peringatan bagi yang tidak ikut pengampunan pajak untuk menerima risiko untuk diperiksa, sehingga pesan ini harus dieksplisitkan dalam undang-undang," terangnya.

Beberapa poin di atas menjadi sangat penting untuk dimasukan karena efek yang diberikan dapat membantu mengoptimalkan RUU Pengampunan Pajak. Setelah itu, dalam menerapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) harus dibuat lebih detail agar menghindari multitafsir dan mempersempit celah kecurangan pajak.

"Harus diakui, RUU ini serba terburu-buru dan mepet sehingga tidak ideal tapi memang tidak bisa ditunda lagi karena kalau ditunda lagi kita akan kehilangan momentum," tutup Yustinus

SEGERA DIRAMPUNGKAN - Sementara itu, rekomendasi yang telah diselesaikan oleh Panja Pengampunan Pajak rencananya akan dikembalikan ke pihak Panja, Senin (27/6). Anggota Tim Perumus RUU Pengampunan Pajak DPR Donny Priambodo mengatakan rekomendasi yang disepakati tim perumus (Timus) juga menghasilkan beberapa kesepakan vital yakni masa berlaku UU sampai pengisian terakhir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak 2016 pada 31 Maret 2017.

Di sisi lain, dalam penentuan tarif, Donny mengaku, terjadi perdebatan alot dan serius hingga menginjak rapat terakhir. Dalam hal ini pemerintah mengajukan tarif 1% pada triwulan pertama, 2% di triwulan kedua, dan 3% di triwulan ketiga. Namun penentuan tarif tersebut, menurut Donny, terlalu kecil, sehingga masing-masing anggota tim berargumentasi terkait besaran tarif lebih tinggi dari keinginan pemerintah.

"Hasilnya kami menyepakati, besaran tarif dibagi menjadi dua antara uang repatriasi atau uang yang mendeklarasikan," ungkap Donny Priambodo melalui pesan yang diterima gresnews.com, Sabtu (25/6).

Untuk uang repatriasi tebusannya sebesar 4% di kwartal ketiga tahun 2016, 6% di kwartal keempat, dan 10% di kwartal 1 tahun 2017. Sedangkan bagi dana yang di dalam negeri yang mau di deklarasikan tarifnya lebih rendah, 2% kwartal ketiga, 3% kwartal keempat 2016, dan 5% kwartal pertama tahun 2017.

Sedangkan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), juga dikenakan tarif tebusan. Walaupun nilainya tidak sebesar untuk dana deklarasi dan repatriasi. Tebusan untuk UMKM yang pendapatan tahunannya kurang dari Rp4,8 miliar dan harta kurang dari Rp10 miliar dikenakan tarif 0,5%. Sedangkan UMKM yang mengungkapkan harta diatas Rp10 Miliar dikenakan tarif 2%.

Terkait dana repatriasi, Donny berujar, nantinya dalam bentuk valuta asing (valas) dengan metode penghitungannya dalam rupiah. Namun dana tersebut bisa juga disimpan dalam mata uang apapun asal tetap berada di wilayah NKRI di bank persepsi yang telah ditunjuk pemerintah.

"Dana yang dikategorikan repatriasi selama tiga tahun harus diinvestasikan di dalam negeri minimum tiga tahun sejak dialihkan," ujarnya.

Adapun investasi tersebut bisa untuk membeli Surat Utang Negara, obligasi BUMN, obligasi lembaga pembiayaan milik pemerintah, investasi keuangan pada bank persepsi, obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh OJK, investasi infrastruktur melalui kerjasama antara pemerintah dan badan usaha. Selain itu bisa juga untuk melakukan investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan Pemerintah, bentuk investasi lainnya yang sah sesuai peraturan dan UU. "Intinya bebas selama didalam negeri," ungkapnya.

Rencananya RUU Pengampunan Pajak akan diparipurnakan pada Selasa, 28 Juni 2016. Panja masih ada waktu sehari untuk menyetujui atau tidak hingga akhirnya diundangkan.

SKENARIO PEMERINTAH - Lambannya pembahasan RUU Pengampunan Pajak itu sendiri sudah diantisipasi pemerintah. Dalam rapat antara Presiden Joko Widodo, Gubernur BI Agus Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Haddad, Rabu (22/6) serta menteri ekonomi, pemerintah sudah menyiapkan skenario bila kebijakan itu terlambat dilaksanakan.

Hanya saja Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution belum mau membuka skenario itu. "Memang itu agak banyak dibicarakan, tapi ya nanti lah tunggu tiga hari empat hari, hari Senin baru diceritakan," paparnya.

Alasan lain persoalan ini belum dapat diceritakan, karena banyak bersinggungan dengan kepentingan politik. "Makanya jangan banyak diceritakan dulu," imbuhnya.

Pemerintah sendiri masih optimistis pengampunan pajak bisa segera diberlakukan secepatnya setelah RUU Pengampunan Pajak disahkan sebelumnya pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016.

"APBN-P minggu ini komisi sudah selesai, Senin depan diharapkan raker, diharapkan Selasa bisa paripurna. Tax Amnesty masih berlangsung, mudah-mudahan sebelum APBN-P bisa diketok di paripurna," jelas Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Pembahasan RUU Pengampunan Pajak sekarang masih pada tingkat panitia kerja. Selanjutnya akan dibawa ke tingkat rapat kerja yang melibatkan jajaran menteri dan pimpinan komisi DPR. Terakhir adalah sidang paripurna DPR. "Kita ikuti mekanisme DPR, idealnya kan sebelum APBN-P," terangnya.

Terkait dengan tarif tebusan, Bambang mengakui masih dalam perdebatan. Diharapkan hasilnya nanti adalah tarif yang mampu untuk menarik bagi pemilik dana. "Kalau tarif tax amnesty, repatriasi tidak boleh terlalu tinggi supaya siapa saja tertarik. Selisih deklarasi dan repatriasi jangan terlalu dekat minimal dua kali," kata Bambang. (dtc)

BACA JUGA: