JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia tentang pembaharusan kerjasama dan divestasi saham terus berlanjut. Berlarut-larutnya konflik tersebut memunculkan desakan agar tambang emas itu dinasionalisasi.  

Namun pengamat Hukum Pertambangan Hendra Sinadia menegaskan, nasionalisasi perusahaan asing dinilai tak akan menyelesaikan persoalan. Menurutnya nasionalisasi memang pernah dilakukan era Bung Karno. Perusahaan-perusahaan milik Belanda diambil alih oleh pemerintah. "Namun Dinamikanya sudah berbeda," kata Hendra saat diskusi publik bertema "Mungkinkah Nasionalisasi Freeport?" yang digelar di Aula Marga Siswa I, Jalan Dr. Gssy Sam Ratulangie No 1, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/3).

Terlebih, Hendra menekankan, PT Freeport Indonesia juga merupakan perusahaan asing pertama yang berinvestasi di Indonesia pasca Soeharto naik tahta. Sebagai penglaris, Freeport memang mendapat sejumlah kemewahan dalam kontraknya. Namun dilihat dari segi bisnis, hal demikian tidak sepenuhnya merugikan negara. Terbukti, apa yang diberikan pemerintah kepada Freeport lewat Kontrak Karya (KK) jilid I tahun 1967, mampu menggaet investor asing lebih banyak lagi.

"Setelah Freeport masuk ada lebih dari 100 perusahaan yang masuk ke Indonesia, baik dengan KK maupun PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara)," kata Hendra.

Hendra pun menyebut, jumlah tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan masuknya investor yang bergerak di bidang eksplorasi. Menurut eks karyawan PT Freeport ini, hingga tahun 1980-an, jumlah investasi yang masuk untuk eksplorasi lebih dari 200. Investor yang masuk umumnya berasal dari Kanada dan Australia.

"Tapi sekarang kita lihat perusahaan eksplorasi tersisa hanya hitungan jari. Ini fakta. Mereka lari karena tidak ada kepastian hukum dan kepastian jangka panjang investasi di sini," ungkap Hendra.

Menurutnya soal ketiadaan kepastian inilah yang kemudian menjadi  salah satu titik lemah pemerintah di hadapan Freeport. Hendra menjelaskan, dalam PP Nomor 77 Tahun 2014 besaran divestasi bagi PT Freeport Indonesia adalah 30% dengan durasi waktu 15 tahun. Melalui PP Nomor 1 Tahun 2017, Freeport diwajibkan divestasi saham sebesar 51%. Perubahan semacam itulah yang dinilai Hendra tidak memberikan kepastian.

"Perubahan itu membuat hitung-hitungan perusahaan berubah. Taruhlah sebuah perusahaan tiba-tiba menemukan cadangan baru, dan mereka harus eksplorasi. Tapi di tahun ke-6 sudah harus divestasi, tahun ke-10 sebagian besar sahamnya bukan milik mereka lagi. Orang juga mikir, apa memang harus buang duit banyak sementara di tahun ke-10 kepemilikan sahamnya sudah beralih?" papar Hendra.

Hendra menyebut persoalan divestasi dampaknya bukan hanya ke Freeport. Tapi juga pada aktifitas eksplorasi tambang secara umum. Menurut Hendra, tanpa adanya kegiatan eksplorasi, wajah dunia pertambangan kita ke depan akan suram. "Eksplorasi adalah kunci. Makanya harus diberikan jaminan kepastian investasi jangka panjang" katanya.

Hendra juga mengingatkan pihak-pihak yang kerap menggunakan Pasal 33 UUD 45 sebagai dalih untuk mengecam keberadaan PT Freeport serta investor asing lainnya, agar mengingat dan melihat norma sebelumnya, yakni norma Pasal 1 UUD 45. "Pasal 1 ayat (3) UUD 45 menyebut bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Jadi pastikan dulu bahwa hukumnya memberikan kepastian dan ditaati," katanya.

Hendra juga menyebut tidak adanya ketegasan mengenai berapa lama waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk menolak atau menyetujui izin perpanjangan kontrak pasca izin perpanjangan itu disodorkan perusahaan, merupakan salah satu hal yang mesti segera dibenahi.

Pria plontos ini menjelaskan, UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) beserta turunannya hanya mengatur bahwa perusahaan bisa mengajukan perpanjangan menjelang kontraknya habis. Namun kapan atau berapa lama pemerintah memberikan keputusan—baik menolak maupun menyetujui perpanjangan—tidak ada kepastian hukumnya.

"Itu yang saya kira dibutuhkan oleh industri secara keseluruhan. Jika pemerintah tegas menyebut bahwa keputusan akan diberikan dalam waktu misalnya 3 atau 6 bulan setelah izin perpanjangan disampaikan, setidaknya pihak perusahaan tidak akan terlalu khawatir. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan," papar Hendra.

Namun demikian, terlepas dari sisi lemah pemerintah, Hendra optimis bahwa tensi panas yang kini tengah melanda hubungan pemerintah Indonesia dengan PT Freeport bakalan reda. "Saya percaya apa yang sedang dirundingkan sekarang akan menghasilkan keputusan yang terbaik. Namun nasionalisasi tidak akan menguntungkan keduanya," ujar Hendra.

SIKAP TEGAS PEMERINTAH - Sementara itu, Staf Khusus Kementerian ESDM Hadi M menyebut persoalan polemik Freeport tidak akan timbul jika saja Freeport tunduk pada aturan yang ada. Misalnya menuruti ketentuan UU Minerba untuk membangun smelter paling lambat lima tahun setelah UU itu disahkan. "Freeport menunjukkan sikap tidak serius untuk melakukan pemurnian. Jika mereka serius, persoalan tidak akan berlarut seperti sekarang," kata Hadi.

Hadi menyatakan, pemerintah saat ini memang tengah mencari jalan tengah atas kasus yang ramai dibicarakan setelah Freeport menantang akan menyeret pemerintah ke Mahkamah Arbitrase. Namun demikian, Hadi menegaskan ada tiga hal yang tidak bisa ditawar-tawar oleh investor mana pun terkait munculnya PP Nomor 1 Tahun 2017. Pertama, perubahan KK menjadi IUPK. Kedua, pembangunan smelter dalam kurun lima tahun. Terakhir, divestasi 51%.

Disinggung bahwa ketentuan divestasi saham sebesar 51% disebut Freeport sebagai ketidak-konsistenan pemerintah Indonesia, Hadi balik mempertanyakan apa keinginan Freeport sebenarnya. "Saya tanya, Freeport ini mau cari perkara atau cari bisnis. Kalau cari perkara, banyak sekali yang bisa dipersoalkan atau dipertanyakan  pemerintah. Tapi kalau cari bisnis, contoh dong PT Newmont, aman mereka. Divestasi sudah, ekspor, semuanya beres," katanya.

Hadi menegaskan bahwa pemerintah masih menghormati KK yang dipegang Freeport hingga 2021. Pemerintah pun tidak memaksa Freeport mengubah izin usahanya dari KK menjadi IUPK. Hanya, dengan berpegang teguh kepada KK, konsekuensi yang harus ditanggung Freeport adalah tidak bisa melakukan ekspor.

Adapun soal jaminan investasi, Hadi menyebut hal tersebut akan menjadi bahan pembicaraan di tahap kedua nanti. Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah tengah menggelar perundingan dengan Freeport dalam durasi maksimal 120 hari.

"Soal jaminan investasi, karena bukan ranah ESDM semata, itu akan dibicarakan nanti di dalam perundingan tahap kedua yang melibatkan Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, dan lainnya," ujarnya.

Selain itu, kata Hadi, juga akan ada pembicaraan mengenai masyarakat adat. Freeport menyebut perundingan pertama 120 hari. Tapi kita tidak berpaku pada itu. Kita usahakan lebih cepat lebih baik.

Disinggung soal kemungkinan nasionalisasi, Hadi menegaskan pemerintah tidak menggunakan istilah nasionalisasi. Istilah yang dipakai pemerintah adalah divestasi. Andai Freeport tidak memperpanjang kontraknya, tambang emas itu akan ditawarkan kepada para pihak di dalam negeri.

"Penawaran pertama diberikan kepada pemerintah pusat, lalu pemerintah daerah, baru jika keduanya menolak kita tawarkan BUMN dan BUMD. Tahapannya begitu. Kalau pun masih tidak bersedia, baru swasta nasional. Itu ada dalam PP Nomor 1 tahun 2017. Jadi jika Freeport tidak bersedia perpanjangan, ya kita tawarkan ke pihak-pihak itu," pungkasnya.
 

MASALAH LATEN — Sementara itu, aktivis HAM Jhony Nelson Simadjuntak menyebut bahwa persoalan Freeport dan persoalan usaha pertambangan lebih luas merupakan persoalan dan dilematis. Di satu sisi bisnis itu memberi keuntungan bagi negara, tapi di sisi lain menjadi masalah bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. "Bisnis tambang selalu berhadap-hadapan dengan persoalan HAM," kata Jhony.

Menanggapi pernyataan Hendra, Jhony juga mengingatkan agar Freeport bisa bertindak manusiawi manakala menjalankan bisnisnya di Tanah Papua. Bagaimanapun, fakta bahwa usaha tambang yang dijalankan Freeport sejak 50 tahun lalu sudah banyak memakan korban, tidak bisa dinafikan.

"Kita memang tidak boleh melupakan hukum. Tapi jangan pula melupakan keadilan sosial. Hak untuk masyarakat Papua untuk mendapatkan keadilan adalah bagian integral dari hak asasi manusia," tegas Jhony.

Mengenai polemik yang saat ini terjadi, Jhony menilai baik pemerintah maupun Freeport sudah semestinya memasukkan unsur-unsur kemanusiaan di dalam perundingannya. "Di luar aspek hukum, bisnis, dan keadilan, saya harap ada aspek hati nurani juga diperhatikan pemerintah dan Freeport,” pungkasnya.

Melengkapi pernyataan Jhony, Jhon MR Gobai, perwakilan Dewan Adat Masyarakat Meepago, Papua, menyebut selama ini pihaknya hanya dijadikan objek pelengkap penderita di dalam hubungan kawin kontrak pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.

Bahwa kemudian di tengah situasi yang terjadi saat ini banjir dukungan dialamatkan kepada pihak pemerintah, Jhon menyebut hal itu tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi masyarakat adat di Timika yang notabene merupakan pemilik sah atas lahan tambang PT Freeport. Jhon mengingatkan, wacana nasionalisasi yang digembar-gemborkan oleh banyak kalangan hanya akan jadi pepesan kosong selama tidak diimbangi semangat nasionalisme yang tinggi.

"Indonesia bukan hanya Jakarta. Apa artinya nasionalisasi jika kami rakyat Papua tidak juga dilibatkan pemerintah dalam mengelola bisnis di lahan kami sendiri," kata Jhon. Jhon mengaku, saat ini, di tengah perseteruan pemerintah dan Freeport, pihaknya tidak bisa memberikan dukungan kepada salah satu pihak. Pun di saat bersamaan Jhon menyebut Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan mengiming-imingi masyarakat Papua dengan laba 5% dari divestasi saham 51%.  

"Dalam polemik saat ini, kami tidak punya maksud minta saham atau mengemis. Lawan kami juga bukan Freeport. Lawan kami adalah Freeport dan pemerintah," tegasnya.

Jhon mengingatkan, lepas dari dukungan masyarakat kepada pemerintah, masyarakat tidak boleh lupa bahwa dalam polemik yang saat ini berlangsung, pemerintah Indonesia belum melakukan tindakan apa-apa selain menggelar perundingan demi perundingan. Padahal, menurut Jhon, masalah yang terjadi jelas-jelas di depan mata.

"Ini kan ada PHK, ada masalah, ada karyawan dirumahkan, ada masyarakat mengeluh karena penerimaan dari 1% berkurang, peran pemerintah di mana? Masa pemerintah membiarkan rakyatnya yang adalah karyawan Freeport terus menangis tanpa ada penyelesaian. Tidak bisa seperti ini. Pemerintah tidak bisa membiarkan rakyatnya berteriak terus dan mengeluh," paparnya.

Terakhir, Jhon berharap agar semua pihak yang saat ini berseteru bisa datang langsung ke Timika dan menggelar perundingan di sana. Membicarakan Freeport di Jakarta, selain pesertanya terbatas, dinilai Jhon tidak akan berjalan transparan dan menyelesaikan persoalan yang ada.

"Presiden Joko Widodo serta bos besar Freeport  Mcmoran Inc, Richard Adkersen, harus sesegera mungkin ke Timika. Ajak kami masyarakat pemilik lahan bicara. Kami ingin minta kepada pemerintah dan Freeport untuk tidak lagi mengorbankan kami seperti halnya kami dikorbankan dalam Kontrak Karya Jilid I dan II," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: