JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali akan mengurangi jumlah perusahaan BUMN dari 119 perusahaan menjadi 85 perusahaan. Perampingan (rightsizing) perusahaan BUMN itu akan direalisasikan secara bertahap  dalam kurun 2015 sampai 2019.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis dan Media Fajar Harry Sampurno mengatakan terdapat 25 perusahaan yang akan dikurangi menjadi 9 perusahaan sampai 10 perusahaan. Salah satunya, penyatuan perusahaan BUMN di bidang galangan kapal, energi dan industri berbasis teknologi.

Dijelaskan Fajar, untuk BUMN galangan kapal yang tersebar dari wilayah Indonesia Barat dan Timur akan ditingkatkan produktivitasnya dan operasional dengan memanfaatkan potensi wilayah industri berat dan perkapalan.

Wilayah yang dinilai bisa disatukan,  diantaranya kekuatan industri berat di Sabang, Batam, Jakarta, Banjarmasin, Semarang, Cirebon, Makassar, Bitung dan Ambon. Artinya, penyatuan kekuatan tersebut bisa berpotensi untuk holding.

"Wilayah-wilayah tersebut bisa disatukan kekuatannya untuk industri berat dan perkapalan," kata Fajar, Jakarta, Senin (23/11).

Selain itu, terdapat potensi pembentukan induk usaha BUMN di sektor tambang seperti PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Inalum (Persero) dan PT Timah (Persero). Fajar mengungkapkan kekuatan BUMN sektor pertambangan memang memiliki aset yang sangat besar, tetapi jika dibandingkan dengan perusahaan tambang luar negeri masih sangat kecil.

Menurutnya perusahaan-perusahaan tersebut berpotensi membentuk holding di sektor pertambangan. Dengan pembentukan holding perusahaan dapat meningkatkan sektor emas, nikel dan aluminium.

Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survey dan lainnya Gatot Trihargo juga mengungkapkan Kementerian BUMN berencana membentuk holding ventura, dimana terdapat PT Perusahaan Nasional Madani/PNM (Persero), PT Bahana Ventura dan PT Pertamina Ventura. Menurutnya pembentukan holding ventura tersebut untuk mengakselerasi nasabah menjadi naik kelas pembiayaan kreditnya.

Menurutnya jika modal ventura kuat maka dapat terbentuk pembiayaan kredit usaha rakyat (KUR). Hal itu bertujuan agar 10 persen sampai 15 persen nasabah KUR dapat meningkat untuk pembiayaan kreditnya, saat ini pembiayaan kreditnya hanya Rp7,7 juta. Harapannya dapat meningkat menjadi Rp10 juta. "Kita ingin besar agar nasabah menjadi naik kelas," kata Gatot.

BENTUK VIRTUAL HOLDING - Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana Perhubungan Pontas Tambunan mengatakan pembentukan holding juga akan diterapkan di sektor transportasi perhubungan. Menurutnya sebelum pembentukan holding, Kementerian BUMN membentuk virtual holding yang diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui persetujuan Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Menurutnya  virtual holding dibentuk dengan anak usaha yang fokus di Indonesia Barat dan Timur. Untuk fungsi anak perusahaan hanya mengatur manajemen, sementara kebijakan juga ditetapkan oleh virtual holding. Rencananya model virtual holding akan dipersiapkan bulan ini.

Dengan pembentukan virtual holding, menurut Pontas,  dapat memudahkan pembentukan holding pelabuhan. Sebab saat ini pemerintah membutuhkan satu kekuatan di industri pelabuhan, dimana saat ini masing-masing kekuatan pelabuhan yang berbeda-beda.

Kendati demikian, program ini menurut Pontas masih menghadapi beberapa hambatan,  diantaranya masih terganjal adanya UU Pelabuhan. Dimana dalam UU Pelabuhan pengatur pelabuhan adalah Pelindo bukan holding pelabuhan. Oleh karena itu, anak usaha hasil pembentukan virtual holding hanya untuk membangun dan mengembangkan pelabuhan. Untuk itu, Kementerian BUMN akan melakukan harmonisasi keuangan, operasional, pengadaan barang, rekrutmen dan lain-lainnya. "Kita harus hati-hati agar tidak bertentangan dengan UU Pelayaran," kata Pontas.

PERAMPINGAN SEJAK 2005 - Rencana Kementerian BUMN untuk merampingkan jumlah perusahaan BUMN telah berlangsung sejak tahun 2005 silam, saat Kementerian masih dipimpim Menteri Sugiharto. Kala itu pemerintah dalam program Master Plan Revitalisasi BUMN 2005-2009 menargetkan akan merampingkan jumlah perusahaan BUMN dari 154 menjadi haya 80 perusahaan selama empat tahun.

Saat itu Menteri Negara BUMN Sugiharto beralasan perampingan perusahaan BUMN dalam rangka efisiensi. Selain itu perampingan  juga terkait ketidakmampuan pemerintah sebagai pemegang saham untuk menambah modal, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan sinergi sesama BUMN.

Menurutnya ada tiga kategori proses perombakan BUMN yaitu dengan cara mempertahankan beberapa BUMN (stand alone), melakukan merger sesama BUMN sejenis (roll up), dan membentuk perusahaan induk (holding).

Namun program perampingan tersebut sepertinya tak sepenuhnya berhasil. Sebab hingga 2012 jumlah perusahaan BUMN masih  sekitar 140 perusahaan. Sehingga pemerintah kembali menargetkan program perampingan (rightsizing) dengan target pada tahun 2014 menjadi hanya 95 perusahaan.

Kala itu Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN, Pandu Djajanto mengatakan program perampingan perusahaan BUMN memang dilakukan bertahap. Sehingga jika program tersebut tak terealiasi sesuai target waktu, akan dialihkan  ke periode berikutnya. Sehingga program terus berlanjut.

Menurutnya program perampingan memiliki beberapa manfaat, di antaranya memperbaiki struktur permodalan dan membuka peluang pendanaan untuk ekspansi bisnis, serta meningkatkan kemampuan pendanaan untuk pengembangan usaha.

Selain itu, juga untuk meningkatkan skala ekonomis perusahaan dengan daya saing , meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha, terciptanya sinergi di antara perusahaan asal seperti penciptaan industri hilir baru. Selain untuk meningkatkan daya saing dan posisi tawar perusahaan.

Namun demikian, menurut dia, ada beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi program perampingan BUMN, di antaranya adanya peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron. Ketidaksinkronan itu,  baik secara langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan BUMN dan kebijakan sektoral dari berbagai instansi atau lembaga. Sehingga prosedur mendapatkan persetujuan pelaksanaan restrukturisasi membutuhkan waktu yang relatif panjang.

Kendala lainnya, belum adanya visi yang sama antarinstansi atau lembaga yang terkait tentang program restrukturisasi BUMN. Juga  adanya resistensi dari berbagai kalangan baik internal maupun eksternal. Program perampingan BUMN itu tidak hanya berada di bawah kendali Kementerian BUMN, tetapi juga melibatkan instansi lain.


BACA JUGA: