JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan DPR terus mengupayakan peningkatan perlindungan bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lewat penguatan aturan. Namun upaya itu masih dirasa kurang lantaran masih banyak pula aturan lainnya yang justru tidak memberikan kesejahteraan bagi para TKI.  

Masalah jaminan perlindungan TKI memang menjadi agenda prioritas dalam sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu. Beleid yang dimaksud adalah perubahan atas Undang - Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang rencananya akan diimplementasikan tahun 2016 mendatang setelah mendapat persetujuan dan penandatanganan presiden.

Penguatan UU menjadi keharusan lantaran perlindungan negara selama ini dinilai lemah seiring banyak kasus TKI di luar negeri. Menurut data Kementerian Luar Negeri, tercatat kurang lebih ada sekitar 12.450 kasus TKI yang terjadi dalam periode 1 Januari hingga 30 September 2014 lalu. Berbagai jenis kasus yang dialami TKI diantaranya, masalah pengupahan, kecelakan kerja, beban kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (1.785 kasus).

Dari dimensi kasus yang berkaitan dengan ketenagakerjaan tersebut, pemerintah sepakat merumuskan salah satu sasaran pembenahan melalui aturan UU perlindungan TKI yang baru. Caranya melalui peningkatan pengawasan dan kontrol negara terhadap agen pengirim serta user (majikan) sebagai pengguna jasa TKI.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan, diloloskannya RUU tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri merupakan kabar baik bagi para TKI. Ia menjelaskan, pada intinya, RUU tersebut akan mengurangi peran swasta di seluruh sistem penempatan mulai dari pra-penempatan, masa penempatan hingga pasca penempatan.

"Dulu swasta diperbolehkan mengirim TKI tanpa melalui peran negara. Sekarang, dalam UU revisi yang baru saja disepakati dalam paripurna DPR, pemerintah terlibat langsung mengawasi swasta dalam hal kontrak kerja antara user dengan calon tenaga kerja," kata Dede kepada gresnews.com, Selasa (20/10).

Menurut politisi partai Demokrat itu, calon pekerja atau TKI selama ini hanya menjalani kerjasama agen dengan user di luar negeri tanpa mengetahui hak-haknya. Untuk itu, Ia menilai, segala jenis kontrak kerja dan pengupahan harus diketahui secara rinci agar ada kejelasan.

Tugas pengawasan tersebut dijalankan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Persyaratan administrasi hingga kesepakatan kontrak kerja perlu dikawal guna menjamin hak-hak pekerja sebelum diberangkatkan ke luar negeri.

Nantinya, dokumen kontrak kerja pegang oleh tenaga kerja, user dan BNP2TKI sebagai perwakilan pemerintah sehingga bisa diajukan tuntutan apabila sewaktu-waktu terjadi pelanggaran kontrak kerja.

Melalui sistem administrasi dan pola perekrutan yang transparan, Dede menilai akan tercipta hubungan saling menguntungkan tanpa ada pihak yang dirugikan. Terkait itu, keberadaan RUU dimaksud untuk memberikan pembagian tugas yang jelas antar instansi pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.

"User atau pengguna jasa akan semakin mudah merekrut calon pekerja, akan jelas keterampilan dan keahlian pekerja hingga tujuan penempatan," ungkapnya.

Kondisi tersebut akan berlaku untuk seluruh perekrutan TKI diberbagai jenis pekerjaan baik di sektor formal (industri) dan non formal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Selain itu, pemerintah pun menjamin pengiriman TKI ke negara yang memiliki kepastian hukum. Tujuan penempatan diprioritaskan menuju negara yang memiliki aturan perlindungan pekerja buruh migran. Dengan kata lain, negara tidak bisa mengirim tenaga kerja ke negara yang tidak memiliki jaminan perangkat hukum.

PENGUATAN HUKUM DAN SANKSI TERHADAP AGEN - Dalam rangka menjamin perlindungan TKI, pemerintah mempertegas sanksi terhadap agen yang selama ini bertindak sebagai media penyalur tenaga kerja ke luar negeri.

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani menyebut, pemerintah melalui lembaga legislatif perlu mendorong perlindungan dan keselamatan TKI dalam RUU TKI kali ini. Salah satu poin dimaksud terkait kejelasan hukum terhadap agen penyalur.

"Dengan adanya UU TKI nanti, jelas kriteria agen yang layak diberikan izin oleh pemerintah. Agen atau penyalur TKI akan diberikan otoritas sekaligus sanksi," ucap Irma kepada gresnews.com.

Irma menuturkan, keterlibatan agen nantinya harus bertanggung jawab kepada para TKI. Seandainya, amanah tidak dilaksanakan, Irma menegaskan agen bersangkutan akan ditutup atau dicabut izin operasinya.

Disamping itu, hal terpenting lainnya adalah akses hukum dalam penyelesaian kasus TKI di luar negeri. Tidak adanya payung hukum dan aturan tegas telah membuat hak-hak para TKI sering terabaikan.

Dengan begitu, Irma menilai, susunan RUU perlu menyasar pada penguatan kerangka hukum dan sanksi-sanksi pidana pada pelaku yang melanggar hak-hak TKI. Selama ini, jalur penyelesaian kasus TKI seringkali ditempuh dengan cara yang tak wajar dan terjadi umpang tindih aturan terkait klasifikasi hukum pidana dan perdata. Penegakan hukum perlu dijalankan dengan adil agar pemenuhan hak hukum pekerja dapat terwujud.

REVISI SETENGAH HATI - Namun revisi aturan perlindungan yang baru saja diloloskan dalam Paripurna DPR justru mendapat kritikan keras. Ketua Aliansi TKI Menggugat (ATKIM) Yusri Albima menilai upaya yang dilakukan pemerintah salah langkah. Seharusnya sebelum pemerintah merevisi aturan perlindungan TKI yang baru, perlu meninjau ulang peraturan lainnya juga agar jangan bertabrakan.

Yusri menyampaikan, masalah TKI kerap dipolitisasi sementara pengelolaan PRT dalam negeri pun tidak jelas. Dalam hal pengupahan saja,  harus lebih adil sesuai standar yang ditentukan. Khusus untuk PRT dalam negeri harus disesuaikan dengan Upah Minimum Regional yang selama ini masih bermasalah. Sementara pengupahan TKI dan pekerja migran harus disesuaikan dengan standar upah internasional dan negara penempatan.

Dengan belum diperhatikan masalah pengupahan itu, Ia menilai pemerintah belum benar-benar hadir mengatur segala aspek ketenagakerjaan dari hulu sampai hilir. "Jangan lagi pemerintah dan legislatif membuat atau merevisi UU setengah hati dengan tafsiran sesuka hati demi kepentingan tertentu," kata Yusri kepada gresnews.com, Rabu (21/10).

Menurutnya, hal penting yang perlu dilakukan pemerintah terlebih dahulu adalah memperbaiki nasib buruh dan PRT dalam negeri dengan merevisi UU 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. "Setelah itu barulah merivisi UU 39/2004," ungkapnya.

BACA JUGA: