JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2015 yang diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (15/4) kemarin, kembali mengungkapkan sebuah temuan mengejutkan. BPK menemukan, pendapatan negara sebesar Rp4 triliun hilang di sektor migas akibat banyaknya biaya-biaya yang diklaim sebagai cost recovery oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor migas. Padahal biaya-biaya itu seharusnya tidak masuk cost recovery.

BPK melaporkan adanya pembebanan cost recovery yang tidak seharusnya dibebankan KKKS kepada pemerintah di tujuh wilayah kerja (WK). Ketujuh WK yang disebut adalah Blok South Natuna Sea"B" yang dikelola oleh Conoco Philips Indonesia Inc. Ltd, Blok Corridor (Grissik) Ltd, Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia, Blok Eks Pertamina yang dioperatori oleh PT Pertamina EP.

Selanjutnya, ada pula Blom South East Sumatera yang digarap CNOOC SES LTD, Blok Mahakam yang dikola Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation serta Blok Natuna Sea A KelolaanPremier Oil Natuna Sea B.V.

Dalam sistem Profit Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) migas yang dianut Indonesia, perusahaan-perusahaan migas yang berperan sebagai KKKS mendapat bagian migas sebesar 15% ditambah biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk memproduksi minyak (cost recovery) sedangkan sisanya adalah bagian negara.

Artinya, semakin besar cost recovery yang diklaim maka pendapatan migas negara akan semakin kecil, dan sebaliknya bagian milik KKKS menjadi semakin besar. Rata-rata bagian KKKS ditambah cost recovery adalah 43%, sedangkan bagian negara rata-rata 57%.

Atas temuan ini, Energy Wacth Indonesia (EWI) menilai hilangnya duit negara sebesar Rp4 triliun untuk cost recovery itu harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Penegak hukum anti rasuah ini harus menindaklanjuti temuan tersebut. KPK jangan cuma jadi selebritis nangkapin suap ratusan juta tapi membiarkan raksasa korupsi tanpa tindak lanjut," kata Ferdinand Hutahaean, kepada gresnews.com, Sabtu ( 16/4).

Ferdinand mengatakan dari biaya-biaya yang diklaim sebagai cost recovery itu ada yang dibayarkan diantaranya kepada Conoco Philips, Chevron, Total dan lain-lain. Pembayaran model begini, kata dia, bukan perkara biasa dan harus ditindaklanjuti. "Kami menduga kejadian yang sama sudah berlangsung puluhan tahun dan banyak poin-poin yang tidak layak bayar dalam cost recovery tapi dibayarkan oleh pemerintah," jelasnya.

Ferdinand menyebutkan, temuan BPK ini merupakan temuan serius dengan jumlah fantastis. Terlebih jika BPK melakukan audit menyeluruh atas pembayaran cost recovery minimal dalam rentang sepuluh tahun terakhir . "Maka kami yakin uang ratusan triliun telah diambil secara tidak sah oleh KKKS dalam bentuk cost recovery. Chevron sebagai KKKS terbesar di negara ini dan diyakini paling banyak melakukan hal tidak baik, dalam perhitungan cost recovery," ujarnya.

Selain itu, kata dia, EWI juga telah berulang kali mendesak pemerintah untuk membongkar pembayaran cost recovery ini. Berdasarkan penelitian EWI, banyak permainan dalam pembayaran cost recovery. "Kami duga sekitar US$3 miliar (Rp39,5 triliun) sampai US$5 miliar (Rp65 triliun) setiap tahun cost recovery yang dibayarkan patut dipertanyakan," jelasnya.

Menanggapi temuan BPK terkait kelebihan bayar cost recovery itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan verifikasi.

"Jadi SKK Migas yang harus bertanggung jawab untuk melakukan verifikasi, karena lembaga ini dibentuk salah satunya untuk mengecek beban cost recovery dalam rangka memaksimalkan pendapatan negara," kata Satya saat dikonfimasi gresnews.com.

BUKAN AUDIT FINAL - Pendapat berbeda disampaikan Indonesia Petroleum Association (IPA) terkait masalah ini. Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menilai temuan BPK terkait pembebanan cost recovery beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang dinilai tidak sesuai itu bukanlah audit final. Marjolijn mengatakan proses audit cost recovery membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sebab ongkos produksi yang diaudit oleh auditor eksternal perlu diklarifikasi oleh KKKS.

Dalam prosesnya, waktu audit oleh auditor eksternal itu, kerap tidak sesuai dengan kerangka waktu (time frame) masa audit BPK. "Di dalam audit pertama pasti ada perbedaan bagian mana yang harus kena cost recovery, kemudian setelah penemuan pertama tersebut, nanti ada beberapa klarifikasi izin data-data maupun bisnis prosesnya dan dalam proses agak panjang," kata Marjolijn di Jakarta, Jumat (15/4).

Dia menuturkan, di dalam perjanjian bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) juga sudah disetujui pembebanan apa saja yang berhak dimasukkan sebagai unsur cost recovery. Menurutnya dalam menentukan pengeluaran operasi yang dilakukan KKKS, pemerintah selalu diikutsertakan.

Marjolijn menegaskan, sistem penyusunan anggaran permohonan izin pengeluaran, hingga proses tender selalu diawasi pemerintah. Tak hanya itu, sistemnya juga sangat ketat, sehingga KKKS hampir semuanya tidak memiliki celah untuk melakukan kecurangan dalam cost recovery.

"Bahkan di dalam setiap step pengeluaran, kami selalu komunikasi dengan pemerintah dimana selalu ada approval resmi dalam mengeluarkan biaya, dalam proyek juga ada dialog, sehingga apabila ada penggelembungan beban cost recovery yang murni itu akan sulit," ujarnya.


BELUM TENTU HILANG - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga berpendapat, temuan BPK tersebut belum tentu benar dan belum bisa disimpulkan bahwa ada penerimaan negara sebesar Rp4 triliun yang hilang. Alasannya, interpretasi BPK soal biaya apa saja yang termasuk dan tidak termasuk cost recovery mungkin berbeda dengan penafsiran KKKS, SKK Migas, dan Kementerian ESDM.

"Bisa saja auditor punya penafsiran berbeda. Belum tentu merupakan suatu penyimpangan, bisa saja salah interpretasi," kata Sudirman.

Dia menambahkan, SKK Migas sudah memiliki aturan jelas terkait biaya-biaya yang dapat dibebankan oleh KKKS ke negara sebagai cost recovery. "Sebetulnya di aturannya SKK Migas sudah ada pedoman mana yang bisa diklaim sebagai cost recovery, mana yang tidak. Nggak sembarang KKKS bisa mengklaim semua biaya, ada aturannya hal-hal yang diperbolehkan dan yang tidak," ujarnya.

Bila memang temuan BPK benar, negara bisa meminta kompensasi dengan memotong minyak bagian KKKS dalam bagi hasil selanjutnya. "Kalau nanti ternyata ada kelebihan tentu bisa diperhitungkan, bisa dikompensasi," tukas dia.

Sampai saat ini, Sudirman mengaku belum mendapatkan rincian hasil temuan BPK tersebut. Dirinya berjanji akan segera menindaklanjuti temuan tersebut supaya penerimaan negara bisa dimaksimalkan. "Saya belum mendapat laporan detail, tapi tentu semua laporan BPK akan kita tindak lanjuti. Nanti kita lihat," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: