JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tak ada hujan, tak ada angin, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu)  menaikkan tarif bea masuk barang-barang impor berupa barang konsumsi seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lainnya. Para pengusaha seperti mendapatkan "hadiah" seusai lebaran dari pemerintah. Dalih pemerintah mengeluarkan kebijakan dadakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 itu adalah untuk memproteksi produk dalam negeri. Benarkah?

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, kenaikan tarif tersebut sangat baik untuk mendorong industri dalam negeri. Apalagi mulai ada kenaikan konsumsi barang impor di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip gresnews.com, Selasa (28/7/2015), impor barang konsumsi bulan Juni sudah mencapai US$ 1,03 miliar. Bahkan akumulasi impor selama Januari hingga Juni 2015 adalah US$ 5,42 miliar.

"Tarif bea masuk rata-rata kita salah satu yang terendah di dunia hanya 7,3 persen saja, kemudian sekarang naik 8,3 persen rata-ratanya," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Senin (27/7/2015).

Namun, angka kenaikan rata-rata tersebut, lanjut Bambang, masih tergolong rendah jadi belum dapat disebut naik secara signifikan. Bambang pun menepis kenaikan tarif bea impor itu sebagai langkah proteksi industri dalam negeri.

Edy Putra Irawady, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri, Kemenko Perekonomian menyatakan, nilai impor barang konsumsi tergolong besar. Kondisi ini membuat produk dalam negeri semakin sulit untuk bersaing. "Sekarang yang dikhawatirkan, produk seperti miras tekstil, produk otomotif itu impornya masih tinggi," ungkapnya kepada detikFinance.

Memang bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, ada penurunan impor konsumsi karena penurunan daya beli masyarakat Indonesia. Secara year on year terjadi kontraksi 13,83persen. "Tapi bila terus dibiarkan, tetap akhirnya merugikan produksi dalam negeri. Karena orang tetap akan memilih mengonsumsi produk impor," terang Edy.

Sebelumnya, pemerintah telah melakukan kenaikan bea masuk yang diatur dalam PMK Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor yang telah diundangkan pada 9 Juli 2015 lalu, berlaku 14 hari setelah tanggal diundangkan per 23 Juli 2015.

Berikut di antaranya barang yang bea masuknya naik:

1. Kopi impor dengan tarif bea masuk menjadi 20 persen
2. Teh impor dikenakan bea masuk menjadi 20 persen
3. Sosis impor menjadi 30 persen
4. Daging-dagingan yang diolah atau diawetkan dengan bea masuk 30 persen
5. Ikan-ikanan dengan rata-rata bea masuk 15 persen-20 persen. Ikan sarden dan salmon 15 persen, sementara ikan tuna 20 persen
6. Kembang gula tidak mengandung kakao rata-rata bea masuk 15 persen-20 persen. Contohnya permen karet impor 20 persen
7. Roti, kue-kue kering, biskuit impor 20 persen
8. Sayuran yang diawetkan 20 persen
9. Es krim dan es lain yang dapat dimakan mengandung kakao maupun tidak 15 persen
10. Minuman fermentasi dari buah anggur segar termasuk minuman fermentasi yang diperkuat menjadi 90 persen
11. Piano termasuk piano otomatis, piano tegak, grand piano 15 persen
12. Alat kecantikan tubuh tarif bea masuk impornya menjadi 10-15 persen
13. Perlengkapan dapur, peralatan makan, peralatan rumah tangga lain dan peralatan toilet dari plastik menjadi 20 persen-22,5 persen
14. Tas dan aksesoris tas 15-20 persen
15. Pakaian dan aksesoris pakaian dari kulit samak 12,5 persen-15 persen, sedangkan dari kulit berbulu 15 persen-20 persen
16. T-Shirt, singlet, kaus kutang rajutan dan lainnya menjadi 25 persen
17. Pakaian bekas dan barang bekas lainnya menjadi 35 persen
18. Kutang, korset rajutan atau tidak bea impor menjadi 22,5 persen-25 persen
19. Wig, jenggot, alis, bulu mata palsu dan sejenisnya dari rambut manusia atau bulu hewan 15 persen
20. Barang higienis atau farmasi (termasuk dot) dari karet seperti kondom dan dot botol minuman impor menjadi 10 persen
21. Barang perhiasan dan bagiannya dari logam mulia atau dari logam yang dipalut dengan logam mulia impor dikenakan bea masuk menjadi 15 persen
22. Lemari pendingin, lemari pembeku impor menjadi 15 persen
23. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang atau lebih dikenakan bea masuk impor menjadi 20 persen-50 persen
24. Mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang dirancang untuk pengangkutan orang dikenakan tarif bea masuk impor menjadi 50 persen

KURANGI IMPOR DORONG PRODUK DALAM NEGERI - Kenaikan tarif bea masuk impor ini segera diterapkan karena sudah beberapa tahun, industri Indonesia tak juga berkembang. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menyatakan kebijakan tersebut digunakan untuk mendorong industri tersebut.

Menurut Suahasil terakhir harmonisasi tarif bea masuk impor tahun 2010. Berarti sekarang ini sudah lima tahun tarif kita sama. "Sudah saatnya kita melakukan proses harmonisasi tarif selanjutnya," ujar Suahasil.

Ia menyatakan, peningkatan tarif bea masuk umum (most favoured nation /MFN) dapat menarik investasi sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor. Daya neraca perdagangan menunjukkan, dalam periode 2012-3014, Indonesia mengalami defisit mencapai US$40,5 juta.

Namun, tarif tersebut dikatakan Suahasil, dapat menjadi berbeda jika Indonesia memiliki kerjasama ekonomi tertentu dengan negara lain. Misalnya Indonesia dengan Korea bila ada kerjasama maka yang berlaku tarif kerjasama, bukan yang MFN.

Selain itu, Suahasil juga menyatakan, sebanyak 1.151 pos tarif produk-produk konsumsi dinaikkan tarif bea masuknya dengan tarif baru berkisar antara 5 hingga 50 persen. Sedangkan untuk minuman beralkohol berubah tarif spesifik menjadi advalorum dengan tarif 90 persen dan 150 persen.

Kemudian, dalam PMK tersebut juga diatur mengenai penetapan tarif bea masuk atas empat pos tarif komponen pesawat terbang yang sebelumnya dikenakan tarif bea masuk lima persen diturunkan menjadi nol persen. Sehingga, rata-rata kenaikan tarif bea masuk sebesar delapan persen.

Suahasil mengungkapkan dari kenaikan tarif bea masuk impor disebut menyumbang penambahan penerimaan negara sekitar Rp800 miliar hingga akhir tahun. Ia pun menegaskan penerapan peningkatan tarif bea impor itu bukanlah dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara.

"Estimasi penerimaan negara untuk 5-6 bulan berikutnya, hanya Rp800 miliar. Ini tambahan ya bukan keseluruhan. Karena tujuannya memang bukan untuk menggenjot penerimaan," katanya.

Ia menjelaskan minimnya penerimaan negara itu karena daftar seluruh barang konsumsi yang terjadi kenaikan tarif bea masuk impor hanya sebesar satu persen dari total impor yang dilakukan Indonesia. Sehingga, angka penerimaan negara tidak naik secara signifikan. Sejauh ini, rata-rata penerimaan negara per tahunnya dari bea masuk impor, sekitar Rp35 triliun hingga Rp38 triliun per tahun.

"Harusnya kesempatan ini ditangkap sama teman-teman produsen dalam negeri karena permintaannya ada. Yang ada di dalam sini adalah satu persen dalam impor kita. Makanya diyakini dampak inflasinya relatif kecil. Jadi enggak serta merta harga barang akan naik begitu saja," ungkapnya.

INDUSTRI OTOMOTIF TERPUKUL - Bagi para pengusaha makanan dan minuman lokal kebijakan ini tentu menggembirakan. Produk mereka akan lebih murah dari produk impor sehingga diharapkan pembeli akan memilih produk lokal. Namun kenaikan tarif bea masuk impor ini telak memukul industri otomotif. Apalagi ditengah kondisi perekonomian yang sedang melemah ini penjualan otomotif juga sedang lesu darah. Kini tarif bea masuk impor produk otomotif menjadi 50 persen dari sebelumnya 40 persen.

Menurut CEO PT Garasindo Inter Global Muhammad Al Abdullah, sebenarnya industri dalam negeri yang tadinya harusnya terlindungi dengan kenaikan bea masuk bisa terkena dampak juga. Mobil yang katanya kandungan lokalnya mencapai 80 persen sekalipun, tetap saja suku cadangnya ada yang diimpor dari luar negeri. Jadi tidak hanya mengganggu perusahaan mobil yang masih mengimpor secara utuh saja.

"Peraturan ini aneh bin ajaib, tujuannya apa, setelah saya berdiskusi dengan pelaku industri otomotif yang lain, tidak ada positifnya, kebanyakan mudharatnya. Penjualan mobil sudah turun belum ada tanda-tanda kenaikan," ujarnya keras.

Kalau tidak direvisi maka bahan baku untuk kendaraan yang dibuat di Indonesia justru mengalami kenaikan karena sebagian besar masih impor. "Yang tidak naik adalah dari free trade," ujarnya.

Dengan adanya kenaikan bea masuk untuk negara-negara yang tidak memiliki kerja sama perdagangan bebas dengan Indonesia, maka di sisi sebaliknya, laju impor dari negara-negara ASEAN, seperti Thailand tidak akan terbendung. Jadi langkah pemerintah untuk menekan defisit menjadi sia-sia saja.

Kebijakan yang baru dirilis Menkeu ini pun dinilainya kontraproduktif dengan semangat Presiden Joko Widodo yang ingin membuka Indonesia untuk pabrikan mobil. "Hilang kesempatan prinsipal untuk investasi, karena mereka melihat pemerintah tidak membuat regulasi yang jelas," ujarnya.

Kenaikan bea masuk di saat seperti ini, tidak tepat karena pasar sedang mengalami penurunan. "Beda kalau misalnya pasar lagi naik, lagi bagus , kita kenakan kenaikan harga Rp 100 juta pun orang bakal beli. Sekarang ini orang-orang, sudah takut beli mobil, ditakut-takuti lagi dengan adanya bea masuk, pasarnya nanti malah mengecil," ujarnya.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie D. Sugiarto mengatakan, kebijakan bea masuk akan berlaku untuk impor mobil dari negara yang belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area). "FTA itu kan tidak hanya otomotif, tapi mencakup semuanya. Dan itu sudah diatur di perjanjian itu (tarif perpajakan). Kita tunggu dulu deh sampai jelas. Gaikindo belum bisa berkomentar banyak-banyak. Tungguin saja keputusannya. Apa dan bagaimana keputusannya kita masih belum tahu,"," kata Jongkie. 

Ketua Umum Asosiasi Importir Kendaraan Bermotor Indonesia (AIKI) Tommy R. Dwiandana menjelaskan uraian pemerintah salah satu alasan kenaikan bea masuk kendaraan impor ini adalah untuk menekan ketergantungan mata uang dolar. "Terutama dari provider importir umum (IU) dan APM (agen pemegang merek). Jumlahnya menurut beliau masih signifikan, daya belinya masih bagus. Artinya uang kita yang ke luar negeri masih sangat demanding terhadap barang impor. Akibatnya ketergantungan terhadap dolar masih tinggi," jelas Tommy.

Jika salah satu alasannya adalah untuk menekan ketergantungan penggunaan mata uang dolar Amerika, Tommy menganggap bahwa hal itu kurang tepat sasaran. Sebab, sebagian besar kendaraan yang dijual oleh IU diimpor dari Jepang harus menggunakan mata uang Jepang (yen).

"Saya sebagai IU, bisa saya katakan bahwa produk impor kita itu 80 persen dari mobil Jepang yang belinya menggunakan yen. Tidak ada hubungan sama sekali dengan dolar. Dan anggota saya, coba deh cek di bea cukai, 80 persen itu dari Jepang. Jepang itu budayanya ketat, dia harus transaksi pakai yen," kata Tommy.

Jadi, menurut Tommy untuk menekan ketergantungan dolar Amerika bukan dari sektor otomotif. Masih banyak sektor lain yang melakukan transaksi menggunakan dolar Amerika.

"Belanja dolar bukan hanya di sektor otomotif. Salah satunya BBM (bahan bakar minyak) itu nomor satu. Pengolahan kita yang masih di luar negeri, setahu saya masih mengolah BBM di Singapura yang transaksinya masih pakai dolar Australia. Artinya yang dicurigai tidak kena sasaran. Banyak ketergantungan kita terhadap barang lain yang bahan baku dasarnya pakai dolar," ucap Tommy. (dtc)

 

BACA JUGA: